Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Rabu, 31 Maret 2010

FATWA MUI Tentang ARAH KIBLAT


Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musala agar mengarah ke kiblat.



Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA.

Diktum Fatwa

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa:
  1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah).
  2. Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah).
  3. Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap kea rah barat.
Rekomendasi. 

MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya. (ws)


Abdurrohim Ats-Tsauriy 
baca seterusnya ....

Senin, 29 Maret 2010

Berkhidmat Pada Suami


Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.


Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu 'anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
 
Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
 
Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya padaku:
“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,” jawabku.
“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan janda,” jawabku.
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.
Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
 
Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun
“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,” jawabku.
“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)
 
Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu 'anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:
“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumah?”
Aisyah radhiallahu 'anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu 'anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:
“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)
 
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil
 
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
http://darussalaf.or.id/

baca seterusnya ....

Minggu, 28 Maret 2010

Sikap Pengusaha Muslim


Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah mengaruniakan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.


Pendahuluan

Bumi beserta isinya yang demikian luas dan besar, tidaklah terwujud begitu saja.Tidaklah langit dan bumi beserta seluruh makhluq yang berada diantara keduanya diciptakan begitu saja alias sia-sia.

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Qs. Ad Dukhan: 38-39)

Saudaraku! Tahukah anda bahwa bumi beserta isinya adalah milik anda. Bumi beserta segala isinya adalah karunia Allah untuk anda.
Bila anda adalah seorang yang benar-benar beriman, niscaya anda benar-benar merasakan karunia Allah ini. Di mata anda, bumi beserta isinya ada untuk anda bukan sebaliknya, anda ada untuk bumi beserta isinya.

"Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (Qs. Al Baqarah: 29)

Imam para ahli tafsir, yaitu Ibnu Jarir At Thabari menafsirkan ayat ini dengan berkata:

"Allah Ta'ala Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Ia menciptakan segala yang ada di bumi hanyalah untuk kepentingan umat manusia. Karena bumi beserta isinya berfungsi untuk memenuhi kepentingan umat manusia. Adapun dalam urusan agama, maka bumi beserta isinya merupakan bukti nyata akan ke-Esaan Allah. Sedangkan dalam urusan dunia, maka padanya terdapat sumber-sumber kehidupan dan bekal mereka untuk menjalankan ketataan kepada Allah. Oleh karena itu Allah Ta'ala menegaskan bahwa: Dialah Yang telah menciptakan segala isi bumi demi kepentinganmu." (Tafsir At Thabari 1/426)

Tujuan Hidup Seorang Muslim

Allahu Akbar! Bumi beserta isinya diciptakan demi kemaslahatan kita; umat manusia. Tidakkah anda bertanya: Bumi yang begitu luas, beserta isinya yang begitu beraneka ragam, diciptakan untuk kepentingan saya? Mengapa demikian besar karunia Allah kepada saya?
Saudaraku, ketahuilah bahwa jawaban pertanyaan anda ini hanya ada satu, yaitu yang termaktub pada firman Allah Ta'ala berikut:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Qs. Az Dzariyat: 56)

Sikap ini tentu berbeda dengan sikap sebagian kita yang silau oleh gemerlap kehidupan dunia, hingga mengalahkan akal sehat dan imannya. Perhiasan hidup dunia lebih ia cintai dibanding lainnya, sehingga segala aktifitasnya bertujuan untuk menumpuk keuntungan dunia.

"Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir." (Qs. An Nahl: 107)

Ia mengorbankan jiwa, raga dan bahkan agamanya guna mendapatkan keuntungan dunia. Dunia adalah cita-cita dan tujuan hidupnya, kemewahan harta benda adalah harapan tertingginya:

"Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong." (Qs. Al Baqarah : 86)

Saudaraku! Mungkin anda akan berkata bahwa anda pasti bahagia dengan harta benda yang melimpah, istana yang megah dan kendaraan yang mewah. Demikianlah persepsi banyak orang, dan demikianlah impian mereka.
Ketahuilah, saudaraku! Sesungguhnya masing-masing kita adalah hamba sahaya bagi rasa cintanya. Bila anda mencintai wanita, maka anda pasti rela untuk mengabdi dan berkorban dengan apa saja demi menuruti keinginan wanita idaman anda. Bila anda adalah pencinta harta benda, maka andapun pasti rela mengorbankan segala yang anda punya demi mendapatkan dan menjaganya. Inilah yang mendasari nenek moyang kita untuk berpetuah: cinta adalah pengorbanan.
Tatkala anda mencintai sesuatu dari apa yang telah saya sebutkan di atas, dan berkorban untuknya, pasti anda meyakini bahwa kebahagiaan anda akan terwujud dengannya. Akan tetapi apakah keyakinan anda ini benar-benar nyata? Coba renungkan baik-baik.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang kaitan kebahagian dengan kecintaan seseorang terhadap hal-hal tersebut: "Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Azza wa Jalla, pasti ia merasakan penderitaan karenanya. Baik ia berhasil mendapatkan hal yang ia cintai atau tidak. Bila ia tidak berhasil mendapatkannya, pasti ia tersiksa dan menderita, Sebesar rasa cintanyalah siksa dan derita yang ia rasakan. Dan bila ia berhasil mendapatkannya, maka sebelum berhasil mendapatkannya ia pasti terlebih dahulu menderita, setelah ia mendapatkannya penderitaanya pun terus berlanjut hingga setelah sesuatu yang ia cintai itu sirna, derita dan penyesalan tetap merudung hidupnya. Dengan demikian, derita dan lara yang menderanya melebihi kesenangan yang berhasil ia rasakan. Dinyatakan oleh seorang penyair:

Tiada manusia yang lebih nestapa dibanding orang yang sedang dirundung asmara. Ia mabuk kepayang karna mengharap manisnya asmara.Tangis dan duka tak kunjung berpisah darinya takut akan perpisahan atau rindu yang slalu melandanya.Ia menangis bila jauh karena rindu kepayang. Ia menangis bila dekat, karna perpisahan yang akan datang menghadang.Panas slalu matanya tatkala berjumpa dan panas slalu matanya karna perpisahan telah menerpa. (Ighatsatul Lahafan 1/39-40)

Demikianlah gambarannya anak manusia yang dilanda asmara dan cinta terhadap sesuatu dari kehidupan dunia.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Qs. Ali Imran: 14)

Saudaraku! sudikah kiranya anda aku tunjukkan terhadap cinta yang pasti mendatangkan kebahagiaan yang abadi dan tak akan pernah sirna? Cinta yang pasti mewujudkan kedamaian dan riang gembira sepanjang masa? Walau badai kehidupan datang menerpa, walau cobaan dunia silih berganti, kebahagiaan anda tidak akan lekang karenanya dan juga tak kan pernah padam olehnya.Itulah cinta kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya.

"Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sungguh seluruh urusannya baik, dan hal itu tidak mungkin dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya." (Riwayat Muslim)

Cinta kepada Allah yang senantiasa membangkitkan rasa syukur dan kesabaran.

"Sesungguhnya besarnya pahala bersama besarnya ujian, dan sesungguhnya bila Allah Azza wa Jalla bila mencintai suatu kaum, maka Ia akan menguji mereka, barang siapa yang ridha (lapang dada) niscaya ia mendapatkan keridhaan pula, dan barang siapa yang benci, niscaya iapun mendapatkan kebencian." (Riwayat Ahmad, At Tirmizi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Hanya dengan kedua amalan inilah anda akan benar-benar merasakan nimatnya hidup dan indahnya dunia.

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, ia meriwayatkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tiga perangai, barang siapa yang ketiga-tiganya telah terealisasi pada dirinya, niscaya ia merasakan manisnya keimanan: Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain keduanya, ia mencintai orang lain, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia membenci untuk kembali kepada kekufuran, bagaikan kebenciannya bila akan dicampakkan ke dalam kobaran api." (Muttafaqun 'alaih)

Saudaraku! Dalam mengarungi kehidupan dunia ini, anda pasti melalui dua jenis kejadian; yaitu kesenangan atau kesusahan. Agar kedua hal ini tidak merusak kedamaian dan kebahagiaan anda, maka dalam menghadapinya, anda membutuhkan kepada dua hal:

1. Syukur.
2. Kesabaran.

Bila anda sedang mendapatkan karunia dari Allah Ta'ala berupa kesenangan dan kenikmatan, maka dengan bersyukur berarti anda sedang menjaga dan mengupayakannya agar terus bertambah.

Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrahim: 7)

Dan dengan bersabar, berarti ketabahan anda dalam menghindarkan segala hal yang dapat membinasakan kenikmatan anda, serta mewujudkan segala hal yang dapat menjaga keutuhannya.
Bila anda sedang dalam kesusahan, maka anda bersabar untuk tidak berkeluh kesah, karena kesusahan sebenarnya diwujudkan demi kemaslahatan anda. Betapa tidak, anda merasa susah dengan panasnya terik matahari, akan tetapi betapa banyak kemaslahatan yang anda peroleh darinya. Betapa banyak kemaslahatan yang dapat anda petik dari berbagai musibah dan kesusahan lainnya.
Coba renungkan, dengan seksama, pelajaran dan pengalaman berharga dalam hidup anda lebih banyak didapatkan dari kegagalan atau kesusahan yang pernah menimpa anda atau orang lain daripada dari keberhasilan dan kemudahan. Karenanya, dahulu orang-orang tua kita berpetuah: kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
Dengan demikian, walaupun awalnya adalah pedih dan susah, akan tetapi akhirnya adalah manis dan keberhasilan, dengan demikian kesusahan dan musibah di dunia dapat berubah menjadi kenikmatan yang patut disyukuri. Oleh karena itu, 'Aisyah mengisahkan kepada kita sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi dua keadaan ini dengan berkata:

Dahulu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendapatkan sesuatu yang beliau senangi, beliau segera berucap: "Segala puji syukur hanya milik Allah yang atas karunia-Nyalah segala kebaikan dapat terwujud", dan bila mendapatkan sesuatu yang beliau benci, beliau berucap: "Segala puji syukur hanya milik Allah dalam segala keadaan yang menimpa." (Riwayat Ibnu Majah, Ibnu As Sunni, At Thabrani dan dinyatakan sebagai hadits shohih oleh Al Albani)

Dengan senantiasa menyandingkan syukur dan sabar yang merupakan aplikasi langsung dari kecintaan kepada Allah demikian inilah, kebahagian hidup dan kedamaian cinta akan terwujud dalam hidup anda.
Inilah hikmah dijadikannya kecintaan kepada Allah sebagai inti dari seluruh syari'at Isalam, bahkan syari'at seluruh nabi yang pernah diutus ke dunia.

Ibnul Qayyim berkata: "Inti ajaran kitab-kitab Allah Ta'ala yang pernah diturunkan dari yang pertama hingga yang terakhir adalah perintah untuk mencintai Allah dan segala konsekwensinya serta larangan dari mencintai yang menyelisihi kecintaan kepada Allah dan segala yang menjadi konsekwensinya." (Ighatsatul Lahafan 2/133)

Saudaraku! apapun aktifitas dan profesi anda di dunia ini, bila kecintaan kepada Allah telah tumbuh-subur dalam jiwa anda, niscaya anda menjadi ringan hati dalam menjalankan setiap ketataan dan menjauhi setiap kemaksiatan.

"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Qs. Ali Imran: 31-32)

Bila kecintaan kepada Allah telah tumbuh subur dalam jiwa anda, maka kecintaan ini akan tercermin pada setiap aktifitas anda:

"Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan mencegahpun karena Allah, berarti ia telah mencapai kesempurnaan iman." (Riwayat Abu Dawud, At Thabrani dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Peranan Cinta Kepada Allah Dalam Kehidupan Pengusaha Muslim

Telah disinggung di atas bahwa kecintaan kepada Allah yang telah tertanam dalam jiwa seorang muslim akan menjadi asas setiap aktifitasnya. Bila dia adalah seorang negarawan, maka kecintaan kepada Allah akan terpancar pada setiap kebijaksanaan dan keputusan yang ia lahirkan. Bila ia adalah seorang petani, maka kecintaan kepada Allah-pun akan terpancar pada kegiatan pertaniannya. Dan bila ia adalah seorang pengusaha alias pedagang, maka perdagangannya pasti mencerminkan akan kecintaanya kepada Allah.

Berikut beberapa cerminan nyata dalam kehidupan seorang pengusaha yang benar-benar mencintai Allah Ta'ala:

CERMINAN PERTAMA: Perniagaannya tidak menjadikannya melalaikan Allah.

Ini adalah cerminan utama seorang yang beriman dan cinta kepada Allah. Perniagaan baginya adalah sarana penunjang untuk melancarkan amalannya berzikir dan beribadah kepada Allah.

"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (Qs. An Nur: 37)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat in dengan berkata: "Mereka tidak disibukkan oleh urusan, perhiasan, kenikmatan dan keuntungan dunia dari mengingat Tuhan mereka yang telah menciptakan dan melimpahkan rizki kepada mereka. Mereka senantiasa sadar bahwa kenikmatan di sisi Allah lebih baik dan berguna dibanding segala kekayan yang ada padanya. Yangd demikian itu karena kekayan yang mereka miliki akan sirna sedangkan kenikmatan di sisi Allah kekal abadi." (Tafsir Ibnu katsir 6/68)

Keuntungan dunia bagi seorang mukmin adalah modal untuk menggapai keuntungan di sisi Allah. Betapa meruginya bila keuntungan dunia digapai dengan mengorbankan keuntungan akhirat.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Qs. Al Munafiqun: 9)

CERMINAN KEDUA: Tujuan perniagaan yang luhur.

Setiap manusia yang berakal sehat pasti memiliki tujuan dari setiap aktifitas yang ia lakukan. Hanya orang yang kurang sempurna akalnya sajalah yang beraktifitas tanpa tujuan yang jelas. Karena perbuatan yang tidak memiliki tujuan yang jelas adalah perbuatan sia-sia. Dan perbuatan yang sia-sia adalah kebiasan orang-orang yang jahil alias bodoh:

Sebagai seorang muslim yang cinta kepada Allah pasti memiliki tujuan-tujuan yang luhur dari setiap perniagaannya. Berikut beberapa tujuan terpuji nan luhur yang seyogyanya dimiliki oleh seorang pengusaha muslim:

1. Dapat hidup layak dan terhormat.

"Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah." Dikatakan kepada beliau: "Bagaimana bila ia tidak mampu?" Beliau menjawab: "Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan (dengannya ia dapat) bersedekah." Dikatakan lagi kepadanya: "Bagaimana bila ia tidak mampu juga?" Beliau menjawab: "Ia dapat membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan." Dikatakan lagi kepada beliau: "Bagaimana bila ia tidak mampu juga?" Beliau menjawab: "Ia memerintahkan yang ma'ruf atau kebaikan." Penanya kembali berkata: "Bagaimana bila ia tetap saja tidak (mampu) melakukannya?" Beliau menjawab: "Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah." (Muttafaqun 'alaih)

Pada suatu hari Al Fudhail bin 'Iyaadh berkata kepada Abdullah bin Al Mubarak: "Engkau menganjurkan kami untuk berzuhud, hidup sederhana, dan hanya mencukupkan diri dengan sedikit harta, sedangkan kami menyaksikanmu terus-menerus berniaga, bagaimana ini?" Abdullah bin Al Mubarak menjawab: "Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan ini semua hanyalah untuk menjaga kehormatan dan harga diriku, dan sebagai bekal untuk menjalankan keta'atan kepada Allah." Mendengar jawaban ini Al Fudhail berkata: "Betapa indahnya hal ini wahai Ibnul Mubarak bila benar-benar dapat terwujud." (Siyar A'alam An Nubala' 8/387).

Saudaraku! bila anda sedikit merenung lalu bertanya kepada diri sendiri? Mengapa saya harus capek-capek bekerja, bating tulang dan peras keringat? Saya kira jawaban pertama yang akan terbetik di benak anda ialah: "Ya agar dapat mencukupi kebutuhan sendiri dan kalo bisa agar dapat makan enak, tidur nyenyak, berpakaian layak dan memiliki tabungan banyak, alias hidup kaya raya."

Saudaraku! tahukah anda bahwa Allah Ta'ala telah menjanjikan hal itu kepada anda bila anda memusatkan perhatian dan pikiran anda pada kecintaan kepada Allah?

"Barang siapa yang pikirannya terpusat pada urusan akhirat, niscaya Allah akan menyatukan urusannya, menjadikan kekayaannya ada pada hatinya, dan kekayaan dunia akan menghampirinya dengan tunduk lagi mudah. Sedangkan barang siapa yang pikirannya terpusat pada urusan dunia, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, kemiskinan selalu berada di depan matanya, dan tidak ada dari kekayaan dunia yang menghampirinya selain yang telah Allah tuliskan untuknya." (Riwayat Al Hannad dalam kitab Az Zuhud dan dinyatakan oleh Al Albani sebagai hadits shahih)

Nuruddin bin Abdul Hadi As Sindy mengomentari hadits ini dengan berkata: "Kesimpulannya, setiap rizqi yang telah dituliskan untuk seorang hamba pasti akan datang menghampirinya. Hanya saja barang siapa yang berjuang membangun kehidupan akhirat, niscaya rizkinya akan menghampirinya dengan begitu mudah. Sedangkan orang yang hanya berpikir mengejar keuntungan dunia, rizkinya hanya akan ia peroleh dengan penuh susah payah. Dengan demikian orang yang berjuang membina kehidupan akhirat berhasil menggabung keuntungan dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan utama dari mencari rizki adalah untuk dapat hidup dengan nyaman, dan itu benar-benar berhasil digapai oleh pejuang akhirat. Sedangkan pejuang dunia ditimpa kerugian di dunia dan akhirat, karena selama di dunia ia senantiasa menanggung kesusahan dalam upaya mencari harta. Bila demikian adanya, maka apalah gunanya harta benda bila pemiliknya tidak pernah merasakan kenyamanan?"

2. Memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Nafkah yang kita berikan kepada anak dan istri serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab anda merupakan infak yang paling utama.

"(Perbandingan pahala antara) uang satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah (jihad di jalan Allah), satu dinar yang engkau belanjakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu, yang paling besar pahalanya ialah yang engkau infakkan untuk menafkahi keluargamu." (Riwayat Muslim)

Pada riwayat lain nabi berpesan kepada sahabat Sa'ad bin Abi Waqqaas radhiallahu 'anhu dengan sabdanya:

"Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Dan sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah yang engkau mengharap dengannya keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya, sampaipun suapan makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu." (Muttafaqun 'alaih)

Sebaliknya, menterlantarkan orang-orang yang wajib anda nafkahi, adalah perbuatan dosa yang sangat besar:

"Cukuplah sebagi dosa (yang akan membinakan-pen) seseorang, bila ia menterlantarkan nafkah orang-orang yang wajib ia nafkahi." (HR. Ahmad, dan Al Baihaqy dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan kisah sebelumnya)

Imam Al Khatthabi menjelaskan: "Hadits ini adalah suatu isyarat bahwa tidak sepantasnya seseorang itu bersedekah dengan hartanya, sehingga menjadikan nafkah keluarganya tidak tercukupi. Bila ia melakukan hal ini, maka bukannya pahala yang ia peroleh, akan tetapi dosa besar yang ia sandang." ('Aunul Ma'bud 5/76)

3. Keuntungan dunia adalah ladang untuk menyemai bekal bagi kehidupan di akhirat.

Sebagai anggota masyarakat, tentunya anda beritikad untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dan diantara bentuk jasa yang dapat anda berikan kepada masyarakat anda ialah dengan banyak-banyak memberikan uluran tangan kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya

Dengan cara ini kita dapat menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang untuk menyemai bekal

"Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. Al Qashash: 77)

"Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah." Dikatakan kepada beliau: "Bagaimana bila ia tidak mampu?" Beliau menjawab: "Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan (dengannya ia dapat) bersedekah." Dikatakan lagi kepadanya: "Bagaiman bila ia tidak mampu juga?" Beliau menjawab: "Ia dapat membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan." Dikatakan lagi kepada beliau: "Bagaimana bila ia tidak mampu juga?" Beliau menjawab: "Ia memerintahkan yang ma'ruf atau kebaikan." Penanya kembali berkata: "Bagaimana bila ia tetap saja tidak (mampu) melakukannya?" Beliau menjawab: "Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah." (Muttafaqun 'alaih)

Pada riwayat lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidaklah ada seorang muslim yang menanam pepohonan, atau tanaman lalu ada seekor burung atau manusia atau binatang ternak yang memakannya, melainkan apa yang dimakan itu akan menjadi pahala sedekah bagi penanamnya." (Muttafaqun 'alaih)

Penjelasan ini membuktikan kepada anda bahwa begitu pentingnya peranan niat dan seluk-beluknya dalam kehidupan anda. Dahulu sebagian orang bijak menyatakan:

Amal ibadah orang bodoh itu hanya sekedar adat kebiasaan, sedangkan kegiatan rutinitas orang yang berilmu itu adalah ibadah.

Saudaraku! Tidakkah anda merasa tertarik untuk menjadi orang-orang yang berilmu, sehingga apapun aktifitas anda semuanya bermaknakan ibadah? Anda di pasar, di kantor, di pabrik, di ladang di rumah atau di masjid, semuanya bermakna ibadah dan mendatangkan pahala serta keberkahan bagi hidup anda, di dunia dan di akhirat.

Coba anda bayangkan: semasa hidup di dunia anda adalah seorang pengusaha sukses, sehingga hidup kecukupan, kaya raya dan ketika mati dimasukkan ke surga.

Ini adalah sebagian dari makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Sebaik-baik harta yang berharga ialah yang dimiliki oleh orang yang sholeh." (Riwayat Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan dinyatakan sebagai hadits yang shahih oleh Al Albani)

Kisah berikut adalah gambaran para pengusaha sukses yang beriman dan berilmu: Pada suatu hari sekelompok fakir-miskin dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui beliau dan mengeluhkan perihal hidup mereka:

"Orang-orang yang kaya raya telah berhasil menggapai kedudukan yang tinggi dan kenikmatan yang kekal abadi." Mendengar keluhan sahabatnya itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Mengapa demikian?" Para sahabat menjawab: "Mereka (orang-orang kaya) menunaikan sholat, sebagaimana kita juga sholat, mereka berpuasa sebagaimana kita berpuasa, dan mereka bersedekah, sedangkan kita tidak mampu untuk bersedekah, mereka memerdekakan budak, sedangkan kami tidak mampu melakukannya." Menanggapi keluha sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah kalian mau aku ajari suatu amalan yang dengannya kalian mampu menyusul orang-orang yang mendahului kalian, mendahului orang-orang yang datang setelah kalian, dan tidak akan ada orang yang melebih keutamaan kalian, selain orang yang turut mengamalkan amalan kalian?" Spontan seluruh sahabat itu menjawab tawaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berkata: "Tentu kami semua mau ya Rasulullah!" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Betasbih, bertakbir, bertahmidlah setiap kali usai mendirikan sholat sebanyak 33 kali. Tak selang berapa lama, orang-orang fakir-miskin itu kembali menjumpai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan melapor kepada beliau: "Saudara-saudara kita yang kaya raya mengetahui apa yang kami amalkan, lalu merekapun turut mengamalkannya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: "Itu adalah kemurahan dari Allah yang dikaruniakan kepada orang-orang yang Ia kehendaki." (Muttafaqun 'alaih)

Demikianlah gambaran lehidupan seorang pengusaha muslim sukses, kaya harta dan pahala. Bagaimana pendapatmu wahai saudaraku? Anda ingin seperti mereka? Selamat mencoba.

Hikmah Bersedekah

Saudaraku, mungkin setelah menyimak pemaparan di atas, anda akan berkata: "Mengapa syari'at Islam menganjurkan umatnya untuk banyak-banyak bersedekah, terlebih-lebih kepada fakir miskin?"
Ketahuilah saudaraku, anjuran bersedekah, terutama kepada fakir dan miskin memiliki banyak hikmah:

Hikmah pertama: Sebagai wujud nyata dari penghargaan atas hak kepemilikan.

Anda pasti telah merasakan betapa lelah dan susah untuk mendapatkan harta benda. Pengorbanan demi pengorbanan anda lakukan demi mendapatkan harta benda, maka Islam mengarahkan agar jerih payah anda ini tidak sia-sia. Islam menghendaki agar anda yang telah bersusah payah benar-benar merasakan kegunaan dan manfaat harta benda anda. Islam menginginkan agar anda benar-benar diuntungkan oleh harta benda anda dan tidak bertambah sengsara setelah mendapatkan harta.
Saudaraku! Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menemui sahabatnya dan bertanya kepada mereka:

"Siapakah yang lebih mencintai harta ahli warisnya dibanding hartanya sendiri?" Spontan seluruh sahabat menjawab pertanyaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berkata: "Ya Rasulullah, setiap kita pasti lebih mencintai harta bendanya sendiri dibanding harta benda ahli warisnya." Mendengar jawaban sahabatnya ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda: "Sesungguhnya harta-bendamu ialah seluruh harta-benda yang telah engkau infakkan, sedangkan harta ahli-warimu ialah seluruh harta-benda yang ia sisakan (tabungkan)." (Riwayat Al Bukhari)

Pada hadits lain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan fakta umat manusia dengan harta kekayaan mereka:

"Anak keturunan Adam (senantiasa) berkata: Hartaku, hartaku! Apakah engkau wahai anak Adam mendapatkan bagian dari hartamu selain yang engkau makan sehingga engkau habiskan, atau engkau pakai sehingga engkau rusakkan atau yang engkau shadaqohkan sehingga engkau sisakan (untuk kehidupan akhirat)" (Riwayat Muslim)

Saudaraku! Hanya dengan cara inilah anda benar-benar dapat menikmati harta bendamu, maka perbanyaklah infak di jalan-jalan yang dicintai Allah, niscaya anda akan menemukan nikmatnya memiliki harta-benda.

Tidak heran bila anda mendapatkan pada biografi para ulama' dan tokoh zaman dahulu, mereka sangat dermawan dalam urusan sedekah.

Dikisahkan bahwa penghasilan Al Laits bin Saad setiap tahun berkisar antara 20 hingga 25 ribu dinar, walau demikian ia tidak pernah berkewajiban membayar zakat. Bila anda menghitung penghasilannya maka akan anda temukan angka yang sangat besar:
20.000 x 3,75 gram (berat satu dinar) = 75.000 gram atau 75 Kg emas
25.000 x 3,75 gram = 93.750 gram atau 93,75 Kg emas
Bila harga 1 gram emas adalah Rp.100.000,-, maka penghasilan beliau berkisar antara:
7,5 miliar rupiah s/d 9,375 miliar rupiah. Sedemikian besar penghasilan beliau setiap tahun, akan tetapi beliau tidak pernah berkewajiban membayar zakat. Kemanakah uang sebanyak itu ia belanjakan? Semuanya dibelanjakan di jalan-jalan Allah.

Adapun membelanjakan harta benda dengan sesuka-hati, sering kali menjadi sumber petaka dan bencana, sebagaiman yang dialami oleh orang yang membelanjakan hartanya pada khomer, makanan haram, dan perbuatan haram. Berbagai azab Allah Ta'ala baik di dunia atau di akhir berdatangan silih berganti. Sehingga pada akhirnya terbukti bahwa ia tidak dapat menikmati harta kekayaannya, dan hanya petaka serta bencanalah yang ia tunai.

Hikmah kedua: Sebagai upaya melipatgandakan kekayaan.

Bila anda telah menempuh segala cara untuk melipatgandakan harta kekayaan anda dan ternyata tak juga kunjung berhasil, maka masih ada satu jalan yang mungkin belum anda tempuh. Tahukah anda, apa jalan itu? Jalan itu adalah jalan sedekah.

Mengherankan bukan? Mungkin selama ini anda berpikiran bahwa sedekah hanya akan menguras harta kekayaan belaka? Betapa tidak, anda memberi, akan tetapi tidak boleh ada pamprih dari pemberian tersebut.

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)

Akan tetapi demikianlah fakta dan kenyataannya. Tidak pernah ada orang kaya atau pengusaha yang menjadi rugi atau bangkrut gara-gara sedekah atau zakat. Yang terjadi malah sebaliknya, yang kaya semakin kaya sebagai akibat dari keberkahan sedekahnya.
Anda tidak percaya? Simaklah janji Allah dan rasul-Nya berikut:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Qs. Al Baqarah: 276)

Pada ayat lain, Allah Ta'ala berfirman:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tidap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan bagi orang yang Ia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 261)

"Tidaklah shodaqoh itu akan mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu'/merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya." (Riwayat Muslim)

Anda tidak percaya? Silahkan dibuktikan, bila anda takut membuktikan, maka silahkan anda menyaksikan buktinya yang banyak anda temui di masyarakat.

CERMINAN KETIGA: Bersikap baik dan tidak melanggar batasan Allah.

Sebagai bagian dari aplikasi keimanan anda kepada Allah Ta'ala Yang Maha Kuasa atas penciptaan dan pengaturan alam semesta, ialah dengan meyakini bahwa Allah-lah yang mengatur dan membagi rizqi hamba-Nya.

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Qs. Az Zukhruf: 32)

Saudaraku! Bila Allah Ta'ala telah menentukan jatah rizki anda, maka tidak ada gunanya anda memaksakan diri dengan melanggar syari'at Allah dalam mencari rizki. Bekerja dan berusahalah tanpa harus melalaikan ibadah kepada Allah dan tanpa melanggar syari'at-Nya.

"Janganlah kamu merasa bahwa rizqimu telat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga telah datang kepadanya rizqi terakhir (yang telah ditentukan) untuknya, maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram." (Riwayat Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, serta dishohihkan oleh Al Albani)

Penutup

Saudaraku, mungkin hitungan harta kekayaan pada zaman sekarang yang begitu besar menjadikan anda tergiur dan lalai akan kehidupan akhirat. Ketahuilah saudaraku, bahwa dunia beserta isinya ini walau nampak di mata kita begitu besar dan berharga, akan tetapi di sisi Allah tidaklah lebih berat bila dibanding sehelai sayap seekor nyamuk.

"Andai dunia ini di sisi Allah senilai sehelai sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir walau hanya seteguk air." (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah)

Demikianlah nilai dunia dan segala isinya di sisi Allah. Bila anda telah mengetahui itu, layakkah anda mempertaruhkan segala yang anda miliki demi mendapatkan kehidupan dunia ini?
Bahkan bila anda semakin jauh mengkaji dalil-dalil yang berkaitan dengan dunia, maka anda akan dapatkan bahwa nilai dunia sangat tergantung dengan kecintaan kepada Allah. Apabila suatu bagian dari kehidupan dunia mendukung terwujudnya kecintaan anda kepada Allah, maka hal tersebut menjadi terpuji. Sebaliknya bila malah menjadi penghalang atau menyibukkan anda dari merealisasikan kecintan kepada Allah, maka hal itu menjadi tercela. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dunia itu terlaknat (jauh dari Allah) dan seluruh isinya terlaknat pula, kecuali sesuatu yang dilakukan demi mencari keridhaan Allah Ta'ala." (Riwayat At Thabrani dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Pada riwayat lain, beliau bersabda:
"Dunia itu terlaknat (jauh dari Allah) dan seluruh isinya terlaknat pula, kecuali dzikir kepada Allah, atau yang semakna dengannya atau seorang yang berilmu (ulama') atau penuntut ilmu." (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hadits ini dengan berkata: "Dikarenakan dunia itu tiada harganya di sisi Allah, sampai-sampai lebih remeh dibanding sehelai sayap nyamuk, maka ini adalah bukti bahwa dunia dan seluruh isinya benar-benar jauh dari Allah, dan inilah hakekat dari makna laknat. Allah Yang Maha Suci hanyalah menciptakannya agar menjadi tempat menyemai benih-benih kehidupan akhirat dan sebagai jembatan menuju kepadanya. Pada kehidupan dunia inilah umat manusia mengumpulkan bekal berupa amal ibadah untuk meniti perjalanan menuju ke akhirat. Dengan demikian, tidak ada suatu apapun dari urusan dunia yang dapat mendekatkan manusia dari kehidupan akhirat selain yang mengandung dzikir kepada Allah dan bermuara pada kecintaan-Nya, yaitu ilmu; dengannya anda mengenal, beribadah, berzikir, memuji dan menyanjung Allah. Untuk tujuan inilah Allah menciptakan dunia dan penghuninya, sebagaimana ditegaskan pada firman-Nya:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Qs. Az Dzariyat: 56)" (Miftah Darissa'adah 1/69-70)

Saudaraku: Pada suatu hari Ibnu As Simaak menemui Harun Ar Rasyid di dalam istananya. Tak berapa lama, Harun Ar Rasyid merasa haus, sehingga iapun segera minta agar diambilkan air minum. Tanpa pikir panjang seorang pelayan segera membawa bejana yang berisi air yang sebelumnya telah didinginkan. Sebelum Harun Ar Rasyid meminum air itu, ia berkata kepada Ibnu As Simaak: "Berilah aku petuah!" Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan Ibnu As Simaak pun segera berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin! Berapakah engkau akan menghargai air minum itu bila engkau sedang kehausan dan ternyata aku menghalangimu darinya?" Harun pun menjawab: "Dengan separoh kerajaanku." Selanjutnya Ibnu As Simaak berkata: "Silahkan engkau menikmati air minummu." Dan seusai Harun Ar Rasyid meminum air itu, Ibnu As Simaak kembali bertanya: "Bayangkan andai aku menghalang-halangi air minum yang telah engkau minum untuk keluar dari tubuhmu (menyumbat saluran air senimu), berapakah biaya yang akan engkau keluarkan agar air senimu dapat keluar?" Harun Ar Rasyid pun kembali menjawab: "Sebesar sisa kerajaanku." Mendengar jawaban ini, Ibnu As Simak pun menimpalinya dengan berkata: "Suatu kerajaan yang separohnya dihargai dengan seteguk air, dan sisanya dihargai dengan air seni, tidaklah pantas untuk diperebutkan." Mendengar petuah ini, spontan Harun Ar Rasyid pun menangis tersendu-sendu. (Tarikh At Thobary 6/538 & Al Bidayah wa An Nihayah 10234)

"Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kecintaan kepada keimanan dan jadikanlah keimanan itu indah dalam hati kami. Limpahkanlah kepada kami kebencian kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Ya Allah wafatkanlah kami dalam keadaan muslim, dan hidupkanlah kami dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah kami dengan orang-orang sholeh tidak dalam keadaan hina, tidak juga tertimpa fitnah." Amiin.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
baca seterusnya ....

Kamis, 25 Maret 2010

GHIBAH [dosa besar yang banyak dinikmati]

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak. Syaithan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”
Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Hati adalah laksana periuk yang mendidihkan isi yang ada didalamnya. Lisan laksana gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang sedang berbicara. Karena lisannya akan menuangkan isi hatinya, manis, masam, segar, sangat asin ataukah rasa yang lain. Akan jelas bagi kita rasa hatinya dengan gayung lisannya.”[1]

Memakan Bangkai Saudara Sendiri

Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

“’Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’ Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi bersabda: ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim (XVI/142)]

Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]


Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan. Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]

‘Aisyah berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata, “Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223), lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]

Ghibah adalah Dosa Besar

Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata, “Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]

Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]

Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah,

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “’Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.” [Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]

Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul Jami’ (VI/308 no. 3549)]

Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin. Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa billah...[7]

Sikap Ketika Mendengar Ghibah

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang telah dijelaskan di atas.[8]

Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan.” [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271) dan Ahmad dalam Musnad-nya (IV/30). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/160)]

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.” [Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/450) dan Tirmidzi (IV/327). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/295)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barang siapa membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah pasti akan membebaskannya dari Neraka.”[Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/461). Lihat juga Shahihul Jami’ (V/290 no. 6116)]

Ghibah yang Diperbolehkan

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan[9], “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i, yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya, yakni dengan enam perkara:

  1. Ketika terzhalimi. Orang yang dizhalimi (dianiaya) boleh mengadukan orang yang menzhaliminya kepada qadhi, hakim, penguasa, atau pihak berwajib.
  2. Meminta bantuan untuk merubah dan menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan pelaku maksiat agar kembali ke jalan yang benar.
  3. Meminta fatwa kepada mufti dengan menjelaskan kondisi atau keadaan orang lain dengan maksud agar mufti memahami keadaan dan duduk perkara yang sebenarnya terjadi.
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya. Contoh ghibah yang diperbolehkan dalam hal ini adalah kritik terhadap perawi hadits (jarh wat ta’dil); menceritakan kekurangan seseorang ketika dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting (seperti pernikahan); jika melihat barang yang cacat atau budak yang suka mencuri atau suka mabuk, kita mengingatkan pembeli dengan maksud memberi nasihat dan bukan untuk mengacaukan transaksi jual beli dan merugikan pihak penjual; menasihati orang yang menimba ilmu kepada orang fasiq atau ahli bid’ah dan dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh, maka kita menasihatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya yang sebenarnya; apabila kita melihat seseorang yang tidak amanah dalam memegang jabatannya atau tugasnya dan selalu melanggar aturan agama, maka kita dapat melaporkannya kepada atasannya dengan menjelaskan keadaaan yang sebenarnya.
  5. Orang-orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Dalam hal ini, boleh menceritakan kejelekan yang dilakukannya dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang dilakukannya secara terang-terangan. Namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang selain itu kecuali berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan.
  6. Memanggil seseorang yang masyhur (populer) dengan sebutan semacam itu, seperti misalnya memanggil seseorang yang terkenal dengan julukan ‘si buta’, ‘si pincang’, ‘si pendek’, dsb. Dan sebutan ini hanya diperbolehkan untuk memberikan penjelasan keadaan orang tersebut, adapun jika maksudnya adalah untuk mencela orang tersebut, maka hal tersebut tidak boleh. Akan tetapi, akan sangat lebih baik apabila memberikan penjelasan tanpa menggunakan julukan seperti itu.
Solusi Untuk Terlepas Dari Ghibah

Agar terhindar dari ghibah, maka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1. Hendaklah kita menyadari bahwa apabila kita menggunjing seseorang, berarti kita akan mendapat kemurkaan dan kemarahan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai riwayat sebelumnya. Hendaknya kita juga menyadari bahwa pahala dan segala bentuk kebaikan yang telah susah payah kita kumpulkan pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, akan dilimpahkan kepada orang yang kita ghibahi pada Hari Kiamat nanti sebagai bentuk ‘ganti rugi’ terhadap perampasan kehormatan orang lain. Dan ketika kita tidak memiliki sedikit kebaikan pun untuk diberikan kepadanya, maka kejelekannyalah yang akan ditambahkan kepada kita, sehingga memberatkan timbangan keburukan kita[10]. Maka bagaimana kesudahan kita apabila timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan kebaikan..?
  2. Telitilah dan perbaikilah faktor-faktor yang mendorong kita untuk berbuat ghibah. Apakah faktor-faktor yang membuat kita ‘menyukai’ ghibah akan memberi manfaat untuk kita atau orang yang kita gunjing atau terlebih untuk orang lain yang ikut mendengarkan..? Jika tidak, maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/ 184 no.6475) dan Muslim (I/68 no. 74), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
baca seterusnya ....

Ahlul Hadits

Siapakah Ulama Ahlul Hadits?

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Begitu banyaknya perselisihan di kalangan umat islam. Demikian banyaknya manhaj (metode dalam berpikir, beramal dan berdakwah) dari kelompok-kelompok yang hendak memperbaiki umat ini dan semuanya mengklaim diatas kebenaran, membuat umat islam semakin bingung siapakah sesungguhnya yang bisa dijadikan rujukan, tempat bertanya dan mencari pemecahan masalah dan problematika umat ini.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan tentang sekelompok orang dari umat ini yang beliau memujinya dan merekomendasikannya, dengan sabdanya:

“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menampakkan di atas al haq (kebenaran), tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka dan tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya, dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah (wafat tahun 181 H) berkata, “Menurutku mereka adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullah (wafat tahun 234 H) berkata, “Mereka itu adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, At-Tirmidzi, As-Sunan, 4/485)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat tahun 241 H) berkata, “Jika golongan yang mendapat pertolongan itu bukan ulama ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (maksudnya tidak mungkin yang lain lagi, pen). (Atsar Shahih, Al-Hakim, Ma’rifah Ulumul Hadits, 3)

Al-Imam Ahmad bin Sinan rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Mereka adalah ahlul ilmu dan ulama atsar.” (Atsar Shahih, Abu Hatim, Qiwamus Sunnah fil Hujjah, 1/246)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Yakni (mereka tersebut, pen) ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al- Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Sejarah Ulama Ahlul Hadits

Sesungguhnya sudah cukup jelas dan terang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i, bahwa ulama ahlul hadits adalah golongan yang sudah ada semenjak zaman kenabian. Awal mula mereka adalah para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) berkata: “Ulama ahlul hadits telah sepakat bahwa shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.” (Al Ishabah, 12/68)

Al-Imam Asy-Sya’bi rahimahullah (seorang imam besar tabi’in/murid shahabat, wafat tahun 110 H) berkata: “Apa yang akan aku hadapi dan apa yang akan aku tinggalkan, tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits.” (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh, 1/83)

Al-Imam Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Didalamnya terdapat dalil yang jelas dan terang bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan generasi yang pertama kali digelari dengan ulama ahlul hadits, karena Asy-Sya’bi rahimahullah telah menjumpai lima ratus orang shahabat radhiyallahu ‘anhum dan mengambil ilmu (hadits) dari mereka. Oleh karena itulah, ia menyebut mereka dengan gelar tersebut dengan ucapannya, “Tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits (para shahabat radhiyallahu ‘anhum).” (Tarikh Ahli Hadits, 25)

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah diketahui bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum generasi yang pertama kali dijuluki sebagai “ulama ahlul hadits”. Para tabi’in dan para pengikutnya pun menyebut mereka sebagai ulama ahlul hadits. Senantiasa nama yang
mulia ini dilekatkan pada ulama ahlul hadits dari generasi ke generasi sampai masa kita ini. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamïn…

Keutamaan-keutamaan Ulama Ahlul Hadits

1. Ulama Ahlul Hadits adalah Al-Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan)

Ini berdasarkan hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu di atas, hadits ini menguatkan keberadaan satu golongan yang akan tertolong sepanjang masa. Golongan ini adalah para ulama ahlul hadits (sebagaimana keterangan diatas) yang selamat dari perpecahan, perselisihan, dan kerugian di dunia, serta selamat dari panasnya api neraka yang merupakan tempat kembalinya tujuh puluh dua golongan yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“…Umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk An-Nar (neraka), kecuali satu.” Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan kondisi para shahabatku pada hari ini” (yakni kondisi keberagamaan mereka atau cara memahami agama mereka, pen). (HR. At-Thabarani, Ash-Shaghir, 1/256) karena semua kelompok tersebut (kecuali satu) telah keluar dari jalan Al-Haq, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Ulama ahlul hadits adalah golongan yang selamat, orang-orang yang berdiri diatas kebenaran.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/237)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H)

berkata: “Jika sifat golongan yang selamat itu (adalah) mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dan itu merupakan syi’ar Ahlus Sunnah-, maka golongan yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah, 3/457)

2. Imam Ulama Ahlul Hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat bersama pemimpin mereka.” (Al-Isra`: 71)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata: “Sebagian salaf mengomentari ayat diatas: “Ini adalah sebesar-besar kemuliaan untuk ashabul hadits (ulama ahlul hadits), karena imam mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al- Qur`an, 2/56)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seseorang dari ulama ahlul hadits seakan-akan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.” (Atsar Shahih Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/477)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Aqidah ulama ahlul hadits adalah sunnah yang murni, karena itu merupakan keyakinan yang benar yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhajus Sunnah, 4/59-60)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Ciri-ciri paling minimal yang terdapat pada ulama ahlul hadits ialah mencintai Al-Qur`an dan Hadits, membahas dan mendalami makna-makna keduanya, beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari keduanya. Dan fuqaha` hadits lebih mengerti dan berpengalaman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari fuqaha` selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 4/95)

3. Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memuliakan, menghormati dan mencintai Ulama Ahlul Hadits 
Dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, apabila melihat seorang penuntut ilmu -yakni ulama ahlul hadits- ia berkata: “Marhaban! Selamat bergembira dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar Hasan, riwayat At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya)

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga berkata: “Marhaban dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Adalah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati kami tentang kalian.” (Atsar Hasan, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/88)

Amir bin Ibrohim rahimahullah berkata: “Adalah shahabat Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu apabila melihat penuntut ilmu ia mengatakan, “Marhaban dengan penuntut ilmu! Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kalian.” (Atsar Hasan, Ad-Darimi dalam Al-Musnad, 1/99)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengagungkan ulama ahlul hadits, maka ia akan menjadi besar di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barang siapa yang merendahkan mereka, maka ia akan jatuh dan hina di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ulama ahlul hadits adalah para penyampai berita beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Manaqib Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 180)

4. Kebenaran bersama Ulama Ahlul Hadits

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Wajib bagi kalian mengikuti ulama ahlul hadits karena merekalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Atsar Shahih, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, 14/197)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur`an, maka besarlah nilainya. Dan barangsiapa yang memperhatikan ilmu fiqih, maka mulialah kedudukannya. Dan barangsiapa yang menulis hadits, maka kuatlah hujjah-nya.” (AtsarShahih, Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 324, dan Manaqib Al-Imam Asy- Syafi’i, 1/281)

Al-Walid Al-Karabisi rahimahullah berkata: “Wajib atas kalian berpegang dengan apa yang dipegang ulama ahlul hadits. Sesungguhnya aku melihat kebenaran itu selalu bersama mereka.”

Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Kebenaran itu bersama ulama ahlul hadits dan mereka adalah golongan yang selamat.” (Tarikh Ulama ahlul hadits, 130)

5. Ulama Ahlul Hadits adalah Pengayom dan Penjaga Agama Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (salah seorang ulama tabi’ut tabi’in, wafat tahun 161 H) berkata: “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan ulama ahlul hadits adalah para penjaga bumi.”

Yazid bin Zura’i rahimahullah berkata: “Setiap agama memiliki para penjaga, dan penjaga agama ini adalah ulama asanid (yakni ulama ahlul hadits).” (Atsar Hasan, dinukil oleh Al-Imam Al-Khathib Al- Baghdadi rahimahullah dalam Syarafu Ashabil Hadits, 91)

6. Kecintaan terhadap Ulama ahlul hadits sebagai Tolok Ukur seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah berkata: “Apabila kamu menjumpai seseorang yang mencintai ahul hadits, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada diatas sunnah. Dan barangsiapa menyelisihi hal ini, ketahuilah bahwa ia adalah seorang ahli bid’ah.” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 1/67)

Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah (wafat 277 H) berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah ialah membenci ahlul atsar (ulama ahlul 
hadits -pen).” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 2/179)

Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah (wafat 256 H) berkata: “Tidak ada di dunia seorang ahlul bid’ah pun kecuali ia membenci ulama ahlul hadits, maka apabila seseorang telah terjerumus kedalam perbuatan bid’ah, maka dicabutlah manisnya hadits dari hatinya.” (Atsar Shahih, Al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulumul Hadits, hal. 5)

Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah sangatlah nyata, dan yang paling nampak ialah kebencian dan permusuhan mereka terhadap ulama ahlul hadits, serta pelecehan mereka terhadap ulama ahlul hadits.” (Al-I’tiqad, hal. 116)

Penutup

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa merahmati para ulama ahlul hadits dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan yang setelah mereka hingga yang ada pada masa kini; mengampuni kekurangan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga-Nya. Amïn…

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.

sumber : situs ma'had As Salafy Jember
baca seterusnya ....

Senin, 22 Maret 2010

Penjelasan Hadits 2

 3 Perkara Kebaikan dan Keburukan

Rasulullah s.a.w bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan , yaitu takut pada Allah ketika bersendirian dan di khalayak ramai, berlaku adil pada saat suka dan marah, berlaku cermat ketika susah dan senang, dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikut hawa nafsu, terlampau bakhil dan kagum dengan dirinya sendiri.” Riwayat Abu Syeikh Huraian



Penjelasan :
Tiga perkara yang memberikan keselamatan kepada manusia yaitu :
  1. Sentiasa menjaga tingkahlaku karena sesungguhnya Allah S.W.T Maha Melihat dan Mendengar apa jua yang dilakukan oleh hamba-Nya. Bahkan setiap amalan itulah yang akan menentukan, seseorang manusia itu diberi kebahagiaan atau ditimpa celaka dalam hidupnya.
  2. Berlaku adil yang bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa ada diskriminasi dan beremosi. Ini termasuk memberikan hak kepada yang berhak, pada hubungan antara sesama makhluk dan dalam menjaga hubungan dengan Tuhan. Sifat adil akan menghidupkan suasana berkasih sayang dalam masyarakat.
  3. Bertindak cermat ketika susah dan senang karena ini akan menyelamatkan seseorang itu daripada menyesal di kemudian hari.
Tiga perkara yang akan membinasakan manusia yaitu:
  1. Mengikut petunjuk syaitan yang senantiasa mendorong kepada kehendak hawa nafsu yang mengakibatkan kebinasaan diri.
  2. Bersifat bakhil sehingga menyebabkan orang lain membenci dan menjauhinya.
  3. Kagum dengan diri sendiri yaitu ujub dengan kelebihan diri sehingga menjadikan seseorang itu bersikap angkuh dan sombong serta suka menghina orang lain menyebabkan dia akhirnya disisihkan daripada masyarakat.
Sesungguhnya setiap perkara yang dilarang itu ada hikmahnya begitu juga dengan perkara yang baik itu pasti ada kemuliaannya. Oleh itu kita hendaklah sentiasa berhati-hati agak tidak melakukan kesilapan hingga terjerumus ke lambah kebinasaan.

oleh :   Abdurahmantoyib Fastabikhul Khairat
baca seterusnya ....

Beberapa Aliran Sesat

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161)
Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:

  • Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka 
  • Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
  • Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)
Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah :
Pertama
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53, pent)
Kedua
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallahul musta’an.
Ketiga
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36, pent)
Keempat
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Kelima
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Keenam
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Ketujuh
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Kedelapan
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163)

Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan) al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
baca seterusnya ....

Kiat-kiat SABAR

Ketika sabar diperintahkan Allah kepada kita semua, maka Diapun adakan sebab-sebab yang membantu dan memudahkan seseorang untuk sabar. Demikian juga tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali membantu dan mengadakan sebab-sebab yang memudahkan dan membantu pelaksanaannya sebagaimana Ia tidak mentaqdirkan adanya penyakit kecuali menetapkan obatnya.
Sabar walaupun sulit dan tidak disukai jiwa, apalagi bila disebabkan kelakuan dan tindakan orang lain. Akan tetapi kesabaran harus ada dan diwujudkan. Ada beberapa kiat yang dapat membantu kita dalam bersabar dengan ketiga jenisnya, diantaranya:

  1. Mengetahui tabiat kehidupan dunia dan kesulitan dan kesusahan yang ada disana, sebab manusia memang diciptakan berada dalam susah payah, sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS. 90:4)
  2. Beriman bahwa dunia seluruhnya adalah milik Allah dan Dia memberinya kepada orang yang Dia sukai dan menahannya dari orang yang disukaiNya juga.
  3. Mengetahui besarnya balasan dan pahala atas kesabaran tersebut. Diantaranya:    # Mendapatkan pertolongan Allah, sebagaimana firmanNya: Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. 2:249) # Mendapatkan sholawat, rahmat dan petunjuk Allah, sebagaimana firmanNya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 2:155-157) # Sabar adalah kunci kesuksesan seorang hamba, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya: Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (QS. 3:200).
  4. Yakin dan percaya akan mendapatkan pemecahan dan kemudahan sebab Allah telah menjadikan dua kemudahan dalam satu kesulitan sebagai rahmat dariNya. Inilah yang difirmankan Allah: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. 94:5-6)
  5.  Memohon pertolongan kepada Allah dan berlindung kepadaNya, karena Allah satu-satunya yang dapat memberikan kemudahan dan kesabaran.
  6. Beriman kepada ketetapan dan takdir Allah dengan meyakini semuanya yang terjadi sudah merupakan suratan takdir. Sehingga dapat bersabar menghadapi musibah yang ada.
  7. Ikhlas dan mengharapkan keridhoan Allah dalam bersabar. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (QS.Al Ra’d 13:22)
  8. Mengetahui kebaikan dan manfaat yang ada dalam perintah dan keburukan yang ada dalam larangan. Ibnul Qayyim menyatakan: Apabila seorang mengetahui kebaikan yang ada pada amalan yang diperintahkan dan akibat buruk dan kejelekan yang ada pada amalan yang dilarang sebagaimana mestinya. Kemudian ditambah dengan tekad kuat dan motivasi tinggi serta harga diri maka insya Allah akan dapat bersabar dan semua kesulitan dan kesusahan menjadi mudah baginya.
  9. Menguatkan factor pendukung agama dalam setiap kali menghadapi perintah, larangan dan musibah yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan empat perkara:
  • Mengagungkan Allah yang maha mendengar dan meilhat. Seorang yang senantiasa ada di hartinya pengagungan terhadap Allah, tentunya dapat bersabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Bagaimana Dzat yang maha agung dimaksiati padahal Dia maha melihat dan mendengar?
  •  Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, sehingga ia melaksanakan perintah dan meninggalkan kemaksiatan karen mencintai Allah. Demikian juga akan bersabar atas ujian kekasihnya. Hal ini disebabkan orang yang mencintai tentu akan menaati kekasihnya dan tidak ingin dimurkai serta dapat menahan diri atas semua ujian yang diberikan kepadanya.
  • Menampakkan dan mengingat nikmat dan kebaikan Allah, sebab orang yang mulia tidak akan membalas kebaikan orang lain dengan kejelekan. Oleh karena itu mengingat nikmat dan karunia Allah dapat mencegah seseorang dari bermaksiat karena malu denganNya dan memotivasi melaksanakan perintahNya serta merasa semua musibah yang menimpanya merupakan kebaikan yang Allah karuniakan kepadanya.
  • Mengingat kemarahan, kemurkaan dan balasan Allah, karena Allah akan marah bila hambaNya dan bila murka tidak ada seorangpun yang dapat menahan amarahNya. Sehingga dengan melihat sepuluh kiat dari kiat-kiat bersabar dalam tiga jenis kesabaran ini, mudah-mudahan dapat menjadikan diri kita termasuk orang-orang yang bersabar.

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah
(Pimpinan Ma’had Ibnu Abbas, Sragen)
baca seterusnya ....