Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Kamis, 25 Maret 2010

GHIBAH [dosa besar yang banyak dinikmati]

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak. Syaithan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”
Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Hati adalah laksana periuk yang mendidihkan isi yang ada didalamnya. Lisan laksana gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang sedang berbicara. Karena lisannya akan menuangkan isi hatinya, manis, masam, segar, sangat asin ataukah rasa yang lain. Akan jelas bagi kita rasa hatinya dengan gayung lisannya.”[1]

Memakan Bangkai Saudara Sendiri

Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

“’Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’ Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi bersabda: ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim (XVI/142)]

Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]


Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan. Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]

‘Aisyah berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata, “Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223), lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]

Ghibah adalah Dosa Besar

Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata, “Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]

Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]

Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah,

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “’Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.” [Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]

Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul Jami’ (VI/308 no. 3549)]

Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin. Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa billah...[7]

Sikap Ketika Mendengar Ghibah

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang telah dijelaskan di atas.[8]

Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan.” [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271) dan Ahmad dalam Musnad-nya (IV/30). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/160)]

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.” [Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/450) dan Tirmidzi (IV/327). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/295)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barang siapa membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah pasti akan membebaskannya dari Neraka.”[Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/461). Lihat juga Shahihul Jami’ (V/290 no. 6116)]

Ghibah yang Diperbolehkan

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan[9], “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i, yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya, yakni dengan enam perkara:

  1. Ketika terzhalimi. Orang yang dizhalimi (dianiaya) boleh mengadukan orang yang menzhaliminya kepada qadhi, hakim, penguasa, atau pihak berwajib.
  2. Meminta bantuan untuk merubah dan menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan pelaku maksiat agar kembali ke jalan yang benar.
  3. Meminta fatwa kepada mufti dengan menjelaskan kondisi atau keadaan orang lain dengan maksud agar mufti memahami keadaan dan duduk perkara yang sebenarnya terjadi.
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya. Contoh ghibah yang diperbolehkan dalam hal ini adalah kritik terhadap perawi hadits (jarh wat ta’dil); menceritakan kekurangan seseorang ketika dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting (seperti pernikahan); jika melihat barang yang cacat atau budak yang suka mencuri atau suka mabuk, kita mengingatkan pembeli dengan maksud memberi nasihat dan bukan untuk mengacaukan transaksi jual beli dan merugikan pihak penjual; menasihati orang yang menimba ilmu kepada orang fasiq atau ahli bid’ah dan dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh, maka kita menasihatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya yang sebenarnya; apabila kita melihat seseorang yang tidak amanah dalam memegang jabatannya atau tugasnya dan selalu melanggar aturan agama, maka kita dapat melaporkannya kepada atasannya dengan menjelaskan keadaaan yang sebenarnya.
  5. Orang-orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Dalam hal ini, boleh menceritakan kejelekan yang dilakukannya dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang dilakukannya secara terang-terangan. Namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang selain itu kecuali berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan.
  6. Memanggil seseorang yang masyhur (populer) dengan sebutan semacam itu, seperti misalnya memanggil seseorang yang terkenal dengan julukan ‘si buta’, ‘si pincang’, ‘si pendek’, dsb. Dan sebutan ini hanya diperbolehkan untuk memberikan penjelasan keadaan orang tersebut, adapun jika maksudnya adalah untuk mencela orang tersebut, maka hal tersebut tidak boleh. Akan tetapi, akan sangat lebih baik apabila memberikan penjelasan tanpa menggunakan julukan seperti itu.
Solusi Untuk Terlepas Dari Ghibah

Agar terhindar dari ghibah, maka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1. Hendaklah kita menyadari bahwa apabila kita menggunjing seseorang, berarti kita akan mendapat kemurkaan dan kemarahan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai riwayat sebelumnya. Hendaknya kita juga menyadari bahwa pahala dan segala bentuk kebaikan yang telah susah payah kita kumpulkan pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, akan dilimpahkan kepada orang yang kita ghibahi pada Hari Kiamat nanti sebagai bentuk ‘ganti rugi’ terhadap perampasan kehormatan orang lain. Dan ketika kita tidak memiliki sedikit kebaikan pun untuk diberikan kepadanya, maka kejelekannyalah yang akan ditambahkan kepada kita, sehingga memberatkan timbangan keburukan kita[10]. Maka bagaimana kesudahan kita apabila timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan kebaikan..?
  2. Telitilah dan perbaikilah faktor-faktor yang mendorong kita untuk berbuat ghibah. Apakah faktor-faktor yang membuat kita ‘menyukai’ ghibah akan memberi manfaat untuk kita atau orang yang kita gunjing atau terlebih untuk orang lain yang ikut mendengarkan..? Jika tidak, maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/ 184 no.6475) dan Muslim (I/68 no. 74), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

Tidak ada komentar: