Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Maret 2010

Ahlul Hadits

Siapakah Ulama Ahlul Hadits?

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Begitu banyaknya perselisihan di kalangan umat islam. Demikian banyaknya manhaj (metode dalam berpikir, beramal dan berdakwah) dari kelompok-kelompok yang hendak memperbaiki umat ini dan semuanya mengklaim diatas kebenaran, membuat umat islam semakin bingung siapakah sesungguhnya yang bisa dijadikan rujukan, tempat bertanya dan mencari pemecahan masalah dan problematika umat ini.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan tentang sekelompok orang dari umat ini yang beliau memujinya dan merekomendasikannya, dengan sabdanya:

“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menampakkan di atas al haq (kebenaran), tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka dan tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya, dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah (wafat tahun 181 H) berkata, “Menurutku mereka adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al-Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullah (wafat tahun 234 H) berkata, “Mereka itu adalah ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, At-Tirmidzi, As-Sunan, 4/485)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat tahun 241 H) berkata, “Jika golongan yang mendapat pertolongan itu bukan ulama ahlul hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu” (maksudnya tidak mungkin yang lain lagi, pen). (Atsar Shahih, Al-Hakim, Ma’rifah Ulumul Hadits, 3)

Al-Imam Ahmad bin Sinan rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Mereka adalah ahlul ilmu dan ulama atsar.” (Atsar Shahih, Abu Hatim, Qiwamus Sunnah fil Hujjah, 1/246)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) berkata, “Yakni (mereka tersebut, pen) ulama ahlul hadits.” (Atsar Shahih, Al- Khothib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, 62)

Sejarah Ulama Ahlul Hadits

Sesungguhnya sudah cukup jelas dan terang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i, bahwa ulama ahlul hadits adalah golongan yang sudah ada semenjak zaman kenabian. Awal mula mereka adalah para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) berkata: “Ulama ahlul hadits telah sepakat bahwa shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.” (Al Ishabah, 12/68)

Al-Imam Asy-Sya’bi rahimahullah (seorang imam besar tabi’in/murid shahabat, wafat tahun 110 H) berkata: “Apa yang akan aku hadapi dan apa yang akan aku tinggalkan, tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits.” (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh, 1/83)

Al-Imam Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Didalamnya terdapat dalil yang jelas dan terang bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan generasi yang pertama kali digelari dengan ulama ahlul hadits, karena Asy-Sya’bi rahimahullah telah menjumpai lima ratus orang shahabat radhiyallahu ‘anhum dan mengambil ilmu (hadits) dari mereka. Oleh karena itulah, ia menyebut mereka dengan gelar tersebut dengan ucapannya, “Tidaklah aku berbicara kecuali dengan apa yang telah disepakati ulama ahlul hadits (para shahabat radhiyallahu ‘anhum).” (Tarikh Ahli Hadits, 25)

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah diketahui bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum generasi yang pertama kali dijuluki sebagai “ulama ahlul hadits”. Para tabi’in dan para pengikutnya pun menyebut mereka sebagai ulama ahlul hadits. Senantiasa nama yang
mulia ini dilekatkan pada ulama ahlul hadits dari generasi ke generasi sampai masa kita ini. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamïn…

Keutamaan-keutamaan Ulama Ahlul Hadits

1. Ulama Ahlul Hadits adalah Al-Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan)

Ini berdasarkan hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu di atas, hadits ini menguatkan keberadaan satu golongan yang akan tertolong sepanjang masa. Golongan ini adalah para ulama ahlul hadits (sebagaimana keterangan diatas) yang selamat dari perpecahan, perselisihan, dan kerugian di dunia, serta selamat dari panasnya api neraka yang merupakan tempat kembalinya tujuh puluh dua golongan yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“…Umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk An-Nar (neraka), kecuali satu.” Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan kondisi para shahabatku pada hari ini” (yakni kondisi keberagamaan mereka atau cara memahami agama mereka, pen). (HR. At-Thabarani, Ash-Shaghir, 1/256) karena semua kelompok tersebut (kecuali satu) telah keluar dari jalan Al-Haq, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Ulama ahlul hadits adalah golongan yang selamat, orang-orang yang berdiri diatas kebenaran.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/237)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H)

berkata: “Jika sifat golongan yang selamat itu (adalah) mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dan itu merupakan syi’ar Ahlus Sunnah-, maka golongan yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah, 3/457)

2. Imam Ulama Ahlul Hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat bersama pemimpin mereka.” (Al-Isra`: 71)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774 H) berkata: “Sebagian salaf mengomentari ayat diatas: “Ini adalah sebesar-besar kemuliaan untuk ashabul hadits (ulama ahlul hadits), karena imam mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al- Qur`an, 2/56)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seseorang dari ulama ahlul hadits seakan-akan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.” (Atsar Shahih Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i, 1/477)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Aqidah ulama ahlul hadits adalah sunnah yang murni, karena itu merupakan keyakinan yang benar yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhajus Sunnah, 4/59-60)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Ciri-ciri paling minimal yang terdapat pada ulama ahlul hadits ialah mencintai Al-Qur`an dan Hadits, membahas dan mendalami makna-makna keduanya, beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari keduanya. Dan fuqaha` hadits lebih mengerti dan berpengalaman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari fuqaha` selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 4/95)

3. Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memuliakan, menghormati dan mencintai Ulama Ahlul Hadits 
Dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, apabila melihat seorang penuntut ilmu -yakni ulama ahlul hadits- ia berkata: “Marhaban! Selamat bergembira dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar Hasan, riwayat At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya)

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga berkata: “Marhaban dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Adalah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati kami tentang kalian.” (Atsar Hasan, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/88)

Amir bin Ibrohim rahimahullah berkata: “Adalah shahabat Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu apabila melihat penuntut ilmu ia mengatakan, “Marhaban dengan penuntut ilmu! Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kalian.” (Atsar Hasan, Ad-Darimi dalam Al-Musnad, 1/99)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengagungkan ulama ahlul hadits, maka ia akan menjadi besar di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barang siapa yang merendahkan mereka, maka ia akan jatuh dan hina di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ulama ahlul hadits adalah para penyampai berita beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Manaqib Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 180)

4. Kebenaran bersama Ulama Ahlul Hadits

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Wajib bagi kalian mengikuti ulama ahlul hadits karena merekalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Atsar Shahih, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, 14/197)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur`an, maka besarlah nilainya. Dan barangsiapa yang memperhatikan ilmu fiqih, maka mulialah kedudukannya. Dan barangsiapa yang menulis hadits, maka kuatlah hujjah-nya.” (AtsarShahih, Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 324, dan Manaqib Al-Imam Asy- Syafi’i, 1/281)

Al-Walid Al-Karabisi rahimahullah berkata: “Wajib atas kalian berpegang dengan apa yang dipegang ulama ahlul hadits. Sesungguhnya aku melihat kebenaran itu selalu bersama mereka.”

Ad-Dahlawi rahimahullah berkata: “Kebenaran itu bersama ulama ahlul hadits dan mereka adalah golongan yang selamat.” (Tarikh Ulama ahlul hadits, 130)

5. Ulama Ahlul Hadits adalah Pengayom dan Penjaga Agama Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (salah seorang ulama tabi’ut tabi’in, wafat tahun 161 H) berkata: “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan ulama ahlul hadits adalah para penjaga bumi.”

Yazid bin Zura’i rahimahullah berkata: “Setiap agama memiliki para penjaga, dan penjaga agama ini adalah ulama asanid (yakni ulama ahlul hadits).” (Atsar Hasan, dinukil oleh Al-Imam Al-Khathib Al- Baghdadi rahimahullah dalam Syarafu Ashabil Hadits, 91)

6. Kecintaan terhadap Ulama ahlul hadits sebagai Tolok Ukur seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah berkata: “Apabila kamu menjumpai seseorang yang mencintai ahul hadits, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada diatas sunnah. Dan barangsiapa menyelisihi hal ini, ketahuilah bahwa ia adalah seorang ahli bid’ah.” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 1/67)

Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah (wafat 277 H) berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah ialah membenci ahlul atsar (ulama ahlul 
hadits -pen).” (Atsar Shahih, Al-Lalikai dalam Al-I’tiqad, 2/179)

Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah (wafat 256 H) berkata: “Tidak ada di dunia seorang ahlul bid’ah pun kecuali ia membenci ulama ahlul hadits, maka apabila seseorang telah terjerumus kedalam perbuatan bid’ah, maka dicabutlah manisnya hadits dari hatinya.” (Atsar Shahih, Al-Hakim dalam Ma’rifah ‘Ulumul Hadits, hal. 5)

Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah sangatlah nyata, dan yang paling nampak ialah kebencian dan permusuhan mereka terhadap ulama ahlul hadits, serta pelecehan mereka terhadap ulama ahlul hadits.” (Al-I’tiqad, hal. 116)

Penutup

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa merahmati para ulama ahlul hadits dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan yang setelah mereka hingga yang ada pada masa kini; mengampuni kekurangan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga-Nya. Amïn…

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.

sumber : situs ma'had As Salafy Jember
baca seterusnya ....

Senin, 22 Maret 2010

Penjelasan Hadits 2

 3 Perkara Kebaikan dan Keburukan

Rasulullah s.a.w bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan , yaitu takut pada Allah ketika bersendirian dan di khalayak ramai, berlaku adil pada saat suka dan marah, berlaku cermat ketika susah dan senang, dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikut hawa nafsu, terlampau bakhil dan kagum dengan dirinya sendiri.” Riwayat Abu Syeikh Huraian



Penjelasan :
Tiga perkara yang memberikan keselamatan kepada manusia yaitu :
  1. Sentiasa menjaga tingkahlaku karena sesungguhnya Allah S.W.T Maha Melihat dan Mendengar apa jua yang dilakukan oleh hamba-Nya. Bahkan setiap amalan itulah yang akan menentukan, seseorang manusia itu diberi kebahagiaan atau ditimpa celaka dalam hidupnya.
  2. Berlaku adil yang bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa ada diskriminasi dan beremosi. Ini termasuk memberikan hak kepada yang berhak, pada hubungan antara sesama makhluk dan dalam menjaga hubungan dengan Tuhan. Sifat adil akan menghidupkan suasana berkasih sayang dalam masyarakat.
  3. Bertindak cermat ketika susah dan senang karena ini akan menyelamatkan seseorang itu daripada menyesal di kemudian hari.
Tiga perkara yang akan membinasakan manusia yaitu:
  1. Mengikut petunjuk syaitan yang senantiasa mendorong kepada kehendak hawa nafsu yang mengakibatkan kebinasaan diri.
  2. Bersifat bakhil sehingga menyebabkan orang lain membenci dan menjauhinya.
  3. Kagum dengan diri sendiri yaitu ujub dengan kelebihan diri sehingga menjadikan seseorang itu bersikap angkuh dan sombong serta suka menghina orang lain menyebabkan dia akhirnya disisihkan daripada masyarakat.
Sesungguhnya setiap perkara yang dilarang itu ada hikmahnya begitu juga dengan perkara yang baik itu pasti ada kemuliaannya. Oleh itu kita hendaklah sentiasa berhati-hati agak tidak melakukan kesilapan hingga terjerumus ke lambah kebinasaan.

oleh :   Abdurahmantoyib Fastabikhul Khairat
baca seterusnya ....

Jumat, 12 Maret 2010

Penjelasan Hadits 1

Taqwa dan Akhlak yang Baik

Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih. Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi di dalam [Al Bir Wash Shilah/1987] dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Al Misykat [5083])

Penjelasan:

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bertakwalah kepada Allah” adalah fi’il ‘amr (kata perintah) dari kata at taqwa. Takwa adalah membuat perlindungan dari siksa Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya. Inilah yang disebut takwa. Dan ini adalah batasan yang terbaik untuk mengartikan kata “takwa”.
(Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada), yakni di tempat di mana pun engkau berada. Engkau tidak hanya bertakwa kepada Allah di tempat yang di sana orang-orang melihatmu saja. Dan tidak hanya bertakwa kepadaNya di tempat-tempat yang engkau tidak dilihat oleh seorang pun, karena Allah senantiasa melihatmu, di tempat manapun engkau berada. Oleh karena itu, bertakwalah di mana pun engkau berada.

(Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya), yakni jadikanlah kebaikan itu mengiringi kejelekan. Jadi, jika engkau melakukan kejelekan, maka iringilah dengan kebaikan. Dan termasuk dalam hal itu –yakni mengiringi kejelekan dengan kebaikan-, adalah engkau bertaubat kepada Allah dari kejelekan tersebut, karena taubat adalah suatu kebaikan.

Dan sabdanya, “Niscaya akan menghapuskan”, yakni kebaikan itu jika dilakukan setelah kejelekan, maka ia akan menghapuskannya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)

Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya adalah:
  1. Perhatian yang besar dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
  2. Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
  3. Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang sedikit pun. Dan jika( amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa’:47)

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik.” Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya.
baca seterusnya ....