Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Senin, 04 Januari 2010

keutamaan sahabat SAW


oleh : Faiz Djafar Alamri

Sejak lebih seribu tahun, umat Islam memandang para sahabat Nabi saw. sebagai generasi terbaik yang dilahirkan peradaban Islam. Dasarnya jelas, Al-Qur’an berkali-kali memuji mereka, baik dalam kapasitas individu maupun genarasi yang utuh. Merekalah yang paling pantas menyandang predikat umat terbaik (khayr ummah) yang dikeluarkan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia.
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali `Imran: 110).

Predikat yang sama diberikan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,

“Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari seluruh sahabat Nabi saw., para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Merekalah al-sabiqun al-awwalun yang telah dipastikan meraih keridhaan Allah swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (al-Taubah: 100).

Kedudukan sangat istimewa juga diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu,

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan setara dengan satu mudd atau setengahnya dari sedekah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah kedudukan para sahabat Nabi saw. yang telah digariskan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Karya-karya besar mereka mendapat penghargaan abadi dari dua sumber yang sedikit pun tidak diragui kebenarannya. Perjalanan hidup mereka, dengan segala keragaman kondisi dan dinamikanya sebagai manusia yang terbatas, adalah teladan yang paling ideal bagi seluruh manusia dan sepanjang masa. Karena itulah, Allah swt. menggariskan takdir mereka harus mengalami berbagai kondisi yang lazim dialami oleh seluruh manusia baik dalam skala individu maupun masyarakat. Fenomena kaya dan miskin, krisis ekonomi dan kemajuannya, suhu politik yang normal dan kekacauan pun mereka alami semuanya. Namun yang pasti, dalam semua kondisi tersebut mereka menunjukkan kapasitas individu dan masyarakat ideal yang berusaha sekuat tenaga menggabungkan antara idealisme wahyu dan realitas.

Keutuhan keteladanan ini dipahami betul oleh sosok Abdullah ibn Umar ra., seorang sahabat utama yang banyak mengalami peristiwa besar hingga periode Bani Umayyah (wafat 73H). Kepada murid-muridnya dari generasi Tabi`in, Ibn Umar ra. berpesan,

“Siapa yang mencari teladan, hendaklah meneladani orang-orang yang telah meninggal, yaitu sahabat-sahabat Muhammad saw. Merekalah genarasi terbaik umat ini, hati mereka lebih bersih, ilmu mereka lebih dalam, dan mereka sangat jauh dari sikap berlebihan. Merekalah generasi yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya saw. dan menyampaikan agama-Nya. Maka teladanilah akhlaq dan jejak hidupnya, karena mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad saw. dan telah mendapat petunjuk yang lurus”.

Demikianlah pemahaman umat Islam tentang masalah ini. Namun seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan Islam, pemahaman ini perlu penyegaran kembali. Kredibilitas para sahabat sebagai fundamen aktif peradaban Islam, tidak hanya dipertanyakan, melainkan sedang diruntuhkan dengan cara yang sistematis. Seandainya langkah-langkah destruktif ini dilakukan oleh non muslim (baca: orientalis), barangkali akan lebih mudah disikapi. Tapi ketika pelakunya adalah orang Islam sendiri maka tak pelak akan menimbulkan dampak yang luar biasa besar. Setidaknya, umat menjadi bingung dan mulai meragukan kebenaran sejarahnya sendiri. Akhirnya, umat akan mengidap amnesia sejarah dan kehilangan jati diri, karena tidak lagi dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari model generasi paling ideal sepanjang zaman.

Tidak ada komentar: