Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Kamis, 30 Oktober 2008

Fatimah Az Zahra

"Siapa yang membuatnya sedih, berarti juga membuat aku sedih, dan barang siapa menyenangkannya, berarti menyenangkanku pula."


Ungkapan itu diucapkan Rasulullah saw pada satu kesempatan bersama para sahabat. Ungkapan Rasul saw itu menunjukkan betapa besar kasih sayang sang Nabi saw kepada putrinya, Fatimah Az Zahra. Dalam kesempatan lain, bahkan Nabi saw pernah berucap, "O... Fatimah, Allah tidak suka orang yang membuat kamu tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi."

Soal rasa sayang dan perlakuan agak istimewa Rasul saw kepada puteri yang kelak menjadi isteri dari sahabat sekaligus khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib ra, ini tak diragukan lagi. Hal ini pun diakui istri Nabi, Aisyah. Satu saat, Aisyah pernah berujar, "Fatimahlah yang paling disayang oleh Nabi."
Sosok Fatimah yang diakui para sahabat sebagai mirip ayahnya, khususnya wajahnya ini, terlahir delapan tahun sebelum Hijriyah di Mekkah, sebagai anak pertama dari isteri pertama Nabi, Siti Khadijah. Sedang puteri Nabi lainnya adalah Zainab, Ruqaiyah, dan Ummu Kalsum.

Bagi Rasulullah saw, kelahiran Fatimah merupakan rahmat dan berkah tersendiri. Ketika mendapat kabar gembira dengan kelahiran puterinya, tampak di wajah Rasul kebahagiaan yang tiada tara. Itu pula yang menyebabkan Rasul memberinya julukan dengan "Az Zahra" (bunga). Dalam maknanya, bunga berarti simbol kesegaran, keceriaan dan kebahagiaan. Kelak julukan itu mengilhami penamaan institusi pendidikan Islam tertua dan terbesar, Al Azhar, Mesir.

Fatimah tumbuh dan berkembang dalam rumah tangga Nabawi dengan sifat yang baik, lemah lembut, dan terpuji. Dengan sifat-sifat inilah Az Zahra kecil tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan, dan akhlak yang baik dengan mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah SAW dalam seluruh tindak-tanduknya.

Ketika usianya menginjak lima tahun, terlihat suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada Nabi SAW. Sejak itu, Fatimah merasakan betul bagaimana awal mula ujian dakwah. Ia misalnya menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap bahaya. Fatimah juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap Rasulullah, sehingga dirinya sampai pernah berangan-angan seandainya saja dia mampu, akan ditebusnya dengan nyawanya untuk menjaga Rasul dari gangguan orang-orang musyrik.

Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum Muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Akibat aksi pemboikotan, banyak terjadi kelaparan. Hal ini pula yang berpengaruh kepada kesehatan Nabi. Oleh karena itu, sisa umurnya yang panjang dilaluinya dengan fisik yang lemah.

Belum lagi Az Zahra kecil lepas dari ujian pemboikotan, tiba-tiba (ibunya) Khadijah wafat yang menyebabkan jiwa Rasul penuh dengan kesedihan, penderitaan, dan kesusahan. Pasca-wafatnya sang ibunda, Az Zahra merasakan tanggung jawab dan pengorbanan yang besar untuk membantu ayahnya yang sedang meniti jalan dakwah, menyeru perintah Allah pada masyarakat Arab Jahiliyah, ketika itu. Dalam kondisi demikian, Allah kembali memberi ujian kepada Rasul-Nya, yakni wafatnya paman yang tercinta, Abu Thalib. Fatimah praktis mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya. Dengan sebab itulah Fatimah diberi gelar "Ibu dari ayahnya."

Bagai baja, Fatimah tak kenal lelah mendampingi Rasul. Ketika Rasulullah saw mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, ia menjaga rumah yang agung. Tinggal di dalamnya Ali bin Abu Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah saw. Ali ra kemudian tidur di tempat Rasulullah biasa tidur untuk mengelabui orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka, Nabi belum keluar). Selanjutnya, Ali ra menangguhkan hijrahnya selama tiga hari di Mekkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasullah saw yang telah berhijrah.

Setelah hijrahnya Ali, hanya Fatimah dan saudara wanitanya, Ummu Kulsum, yang masih tinggal di Mekkah, sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya pada tahun ketiga sebelum hijrah. Ketika itu, umur Fatimah 18 tahun. Fatimah melihat di Madinah para Muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah saw kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sementara Rasul saw mengambil Ali ra sebagai saudara.

Setelah menikahnya Rasulullah saw dengan sayyidah 'Aisyah Ra, sebenarnya banyak orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar Az Zahra', tak terkecuali sahabat Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Semula, mereka yang mencoba melamar ini malu-malu, menahan diri disebabkan keberadaan dan tugas mulia Fatimah di sisi Rasulullah. Sayang, lamaran para sahabat itu dengan halus ditolak Rasulullah.

Kemudian Ali bin Abu Thalib mendatangi Nabi untuk meminang Fatimah. Ali bercerita: "Aku ingin mendatangi Rasulullah untuk meminang putri beliau, yaitu Fatimah. Aku berkata, 'Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku ingat kebaikan Rasulullah, maka aku beranikan diri untuk meminangnya.' Nabi saw bersabda kepadaku, "Apakah kamu memiliki sesuatu?" Aku berkata, "Tidak, ya Rasulullah." Nabi saw bertanya lagi, "Lalu, di manakah baju besi Al Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?'' "Masih aku bawa, ya Rasulullah," jawabku. Selanjutnya Nabi saw bersabda, "Berikanlah baju tersebut kepada Fatimah sebagai mahar''.

Dari pernikahannya dengan Ali ra, Fatimah dianugerahi tiga orang putera: Hasan, Husein, dan Muhsin, serta dua puteri Zainab dan Ummu Kulsum.

Fatimah, Ratu Surga


Satu hari, isteri Rasul, Aisyah, bercerita tentang perlakuan Nabi kepada Fatimah di depan para isterinya. Ketika isteri-isteri Nabi saw berkumpul di tempat Nabi saw, lalu datang Fatimah ra sambil berjalan, mirip jalannya Rasulullah saw.

Ketika melihat puterinya itu, Rasulullah saw menyambutnya seraya berkata: "Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi saw berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum.

Ketika Nabi saw pergi, Aisyah bertanya kepadanya: "Apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu?" Fatimah menjawab: "Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasulullah saw." Aisyah berkata: "Ketika Rasulullah asw wafat, aku berkata kepadanya: "Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu itu?" Fatimah pun menjawab: "Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Quran sekali dalam setahun, dan sekarang dia memeriksa bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu."

Fatimah berkata: "Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata: 'Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mukmin atau umat ini?' Fatimah berkata: 'Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat.”

Seperti halnya sang ibu, kemana pun Fatimah setia merawat Rasul saw. Termasuk ketika Nabi saw sakit sepulang dari Perang Uhud. Ketika dalam perjalanan haji terakhir tahun 11 Hijriyah, Nabi saw jatuh sakit. Saat itulah Nabi saw membisikkan sesuatu ke telinga puterinya. Bisikan pertama membuatnya sedih, dan kedua berupa kabar gembira. Kabar tak sedap yang diterimanya, yakni Rasul membisikkan kepada puterinya ihwal kematian sang Rasul saw yang tak akan lama lagi. Tapi saat Nabi membisikkan kabar bahwa Fatimahlah orang pertama yang akan berkumpul dengan Rasul saw di alam baka, sontak Fatimah bahagia. Soal dua kali bisikan ini, ia ceritakan kepada ibu kandungnya.

Tak lama setelah wafatnya Nabi asw, Fatimah meninggal dunia, pada tahun itu juga, persis enam bulan pasca-wafatnya Nabi saw. Saat itu, usia Fatimah 28 tahun, dan dimakamkan oleh Ali bin Abi Thalib di Janat Al Baqih (Madinah). Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dari kaum hawa, juga pada konsepsi manusia yang paling mulia. Karenanya, Nabi pernah menyatakan bahwa Fatimah akan menjadi "Ratu segenap wanita yang berada di surga."

Sumber bacaan : Republika
baca seterusnya ....

Minggu, 26 Oktober 2008

Memelihara Diri dari Api Neraka

Allah swt telah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)

“......... peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS Al Baqarah : 24)

Ayat di atas memperingatkan kita untuk memelihara diri dari api Neraka karena jika di akhirat nanti seseorang dimasukkan ke Nereka, maka tidak ada lagi jalan keselamatan dan tidak akan diterima segala macam tebusan. Suatu hari yang tiada berguna lagi harta benda dan anak cucu, kecuali orang yang menghadap Allah dengan membawa hati yang salim, selamat dari kemusyrikan, bid’ah dan aneka macam perbuatan dosa.

Sedikit Gambaran tentang Neraka

Dia adalah penjara yang penuh dengan siksaan yang pedih, jurang amat dalam yang di dalamnya berkobar api yang menyala dan bergejolak. Panasnya tujuh puluh kali lipat dibandingkan panas api yang ada di dunia saat ini, Nabi saw bersabda,

” Api yang biasa kalian nyalakan adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api Jahannam.” (HR . Al-Bukhari)

Hawa paling panas yang ada di dunia ini tak lain adalah sedikit hembusan dari Neraka Jahannam. Sabda Nabi saw,

“Tunggulah hingga agak dingin untuk shalat (Zhuhur), karena panas yang berlebihan adalah sebagian dari hembusan Jahannam.” (HR. Al-Bukhari)

Berkata Ka’ab al-Akhbar, “Demi Dzat yang jiwa Ka’ab ada ditangan-Nya, andaikan engkau ada di ujung timur dan Neraka ada di ujung barat, kemudian Neraka itu di singkap, maka otak kalian akan ke luar meleleh dari kedua lobang hidung, karena panasnya yang dahsyat. Wahai manusia, apakah kalian merasa tentram dengan ini? Ataukah kalian akan mampu bersabar terhadapnya? Wahai manusia, berbuat taat kepada Allah lebih ringan bagi kalian dari pada menanggung siksa seperti ini, maka taatlah kalian semua kepada-Nya! (At-Tadzkirah fi ahwalil mauta wa umur al akhirah 2/145).

Tentang luasnya Neraka, Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tahukah kalian apa ini? Kami semua menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui”. Beliau bersabda, “Ini adalah batu, jika dilemparkan ke dalam Neraka semenjak tujuh puluh tahun, maka ia masih melayang di Neraka sampai saat ini (belum menyentuh dasarnya, pent).”(HR. Muslim)

Api Neraka meyiksa manusia sesuai dengan tingkat dosa yang diperbuat. Sabda Nabi saw, “Sebagian orang ada yang dilalap api Neraka hingga kedua mata kakinya, sebagian lagi ada yang hingga kedua lututnya, sebagian lagi ada yang dilalap hingga pinggangnya dan ada juga yang disiksa hingga tengkuk lehernya.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw juga telah bersabda, “Pada Hari Kiamat didatangkan penghuni neraka yakni seorang yang ketika di dunia mendapatkan kenikmatan paling besar, kemudian ia dicelupkan ke dalam Neraka sekali celupan lalu ditanya, “Wahai anak Adam adakah engkau masih melihat karunia yang tersisa? Apakah kini engkau merasakan sedikit kenikmatan? Maka ia menjawab, “Demi Allah tidak sama sekali wahai Rabb.” (HR Muslim)

Di antara Penghuni Neraka

1. Orang-orang musyrik, termasuk Yahudi, Nashrani, Majusi, mulhidin (pembangkang) dan secara umum semua orang yang menyekutukan Allah atau melakukan syirik akbar. Firman Allah Subhannaahu wa Ta’ala , artinya,

“Sesungguhnya telah kafirlah orang- orang yang berkata,”Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah : 72)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)

2. Sedangkan ahlul ma’shiyah (pelaku maksiat) dari orang muslim, maka dia di bawah kehendak Allah, jika menghendaki, maka Dia akan mengampuni dan jika menghendaki, maka Dia akan menyiksa.

Nabi saw bersabda tentang penghuni Neraka,
“Maukah kalian aku beritahu penduduk neraka? (Yaitu) Setiap orang yang besar kepala, angkuh lagi sombong.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)

3. Nabi saw memberitahukan bahwa wanita yang bertabarruj (mengumbar aurat dan kecantikannya) termasuk penghuni Neraka. Sabda beliau Shallallaahu Alaihi wa Sallam,

“Ada dua golongan penghuni Neraka yang belum pernah aku lihat; Yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli orang-orang dengannya. Dan wanita-wanita yang memakai baju tapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, padahal sungguh wangi Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR . Muslim)

4. Meninggalkan shalat, merupakan penyebab terjerumusnya seseorang masuk Neraka. Allah berfirman,

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka) Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya dan adalah kami mendustakan hari pembalasan” (QS. Al Mudatsir : 42 - 46)

Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, maka barang siapa meninggalkannya ia telah kafir.”

Rasulullah saw pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam Neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan Kemaluan.” (HR. At-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan). Hadits ini mengisyaratkan kepada kita semua agar senantiasa menjaga dua anggota badan tersebut agar termasuk orang-orang yang selamat dari api Neraka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menyebutkan sejumlah dosa secara global yang merupakan penyebab dari masuknya seseorang ke dalam Neraka, yaitu: Menyekutukan Allah Ta’ala; Mendustakan para rasul; hasad (dengki); Dusta; Khianat; Berbuat aniaya, kekejian; Ingkar janji; Memutuskan silaturrahmi; Pengecut dalam berjihad; Bakhil; Munafik; Berputus asa dari rahmat Allah; Merasa aman dari makar Allah; Berkeluh kesah terhadap musibah; Angkuh; Sombong atas nikmat yang diterima; Meninggalkan hal-hal yang wajib; Melanggar hudud (batasan dari Allah); Menerjang keharaman-Nya, takut kepada makhluk bukan kepada Allah; Beramal karena riya’ dan sum’ah; Menyelisihi Al-Qur’an dan as-Sunnah baik dalam perbuatan atau pun keyakinan; Taat kepada manusia dalam rangka maksiat kepada Allah; Fanatik terhadap kebatilan; Mengolok-olok ayat-ayat Allah, menentang kebenaran; Menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disampaikan baik ilmu maupun kesaksian; Sihir; Durhaka kepada kedua orang tua; Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali secara haq; Memakan harta anak yatim; Riba; Lari dari medan pertempuran; Menuduh berzina wanita baik-baik dan terjaga kehormatannya; Melakukan zina atau liwath; Ghibah dan namimah dan lain-lain yang telah di jelaskan keharamannya di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Barang siapa yang menjauhinya, maka berarti ia telah menempuh jalan keselamatan, dan barang siapa yang menerjangnya, maka berarti ia telah menjatuhkan dirinya ke dalam kehinaan dan penyesalan.


Cara Menyelamatkan Diri dari Neraka

Allah karena rahmat-Nya menjelaskan jalan-jalan keselamatan dari siksa Neraka. Allah menunjukkan jalan yang harus ditempuh agar seseorang tidak terjerumus ke dalamnya. Cara yang paling penting adalah sbb.

1. Memurnikan Tauhid kepada Allah

Mari kita perhatikan sabda Nabi saw berikut ini,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan “La ilaha illallah,” karena semata-mata mengharap wajah Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan dalam hadits yang lain Nabi saw juga telah bersabda,
“Allah berfirman :”Wahai anak Adam, sesungguhnya selagi kalian mau berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu. Wahai anak Adam meskipun dosamu itu sampai ke awan di langit kemudian kamu mau minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam kalaupun engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi dan engkau menjumpai-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, maka Aku akan mendatangkan kepadamu sepenuh bumi ampunan.” (HR. At-Tirmidzi dan dia berkata hadits hasan shahih).

Itulah jaminan ampunan bagi yang menauhidkan (mengesakan-Nya). Tidak menyekutukan-Nya dalam ber-do’a, ibadah, nadzar, raja’ (berharap), istighatsah, tawakkal, pengharapan dan ketakutan, juga di dalam memutuskan perkara, padahal ia tahu akan tuntutan tauhid berupa mengesakan Allah dalam seluruh ibadah serta menjauhi segala kemusyrikan dengan berbagai macam dan bentuknya.

Allah swt telah berfirman,
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al Anam : 162-163)

Maka tauhid yang murni yang tidak tercampuri dengan kemusyrikan, baik yang besar maupun yang kecil adalah syarat mutlak untuk keselamatan seseorang dari Neraka.
Tauhid yang murni membuahkan ketaatan kepada Allah dan ketundukan terhadap-Nya. Karena tauhid dan iman tempatnya di hati. Apabila tauhidnya bagus, maka seluruh perbuatan anggota badan akan ikut bagus pula. Maka apa yang diperintahkan oleh Allah akan segera dilaksanakannya, selalu taat, mengikuti dan takut kepada-Nya.

2. Senantiasa Bertaubat

Allah telah menjadikan taubat sebagai kunci kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dia berfirman,

“...... Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nur : 31)

Dalam ayat ini Allah mengaitkan antara keberuntungan dengan taubat. Artinya bertaubat dari perbuatan yang tidak baik adalah salah satu jalan keselamatan dari api Neraka. Manusia meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk berbuat kebaikan, tetap saja ia memiliki sisi kekurangan dan kelemahan, baik yang disadari atau tidak, hal ini merupakan sunnatullah. Maka jalan yang terbaik adalah selalu membiasakan bertaubat dan mohon ampun kepada Allah.

Sumber bacaan : Kutaib, “Kaila Tuhsyaru fil Jahim” al-Qism al-Ilmi Darul Wathan
baca seterusnya ....

Sabtu, 25 Oktober 2008

Rusaknya Syahadatain dan Amal

Merusak Janji dengan Allah mengakibatkan seseorang menjadi fasiq.

Allah berfirman :

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. An Nahl : 91 )

........ Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al Baqarah : 26-27)

Makna Syahadatain
  1. Memerdekakan diri dari penghambaan kepada selain Allah menjadi hanya kepada Allah.
  2. Hijrah dari semua bentuk larangan Allah kepada perintah-Nya.
  3. Hijrah dari sistem pemerintahan jahiliyyah kepada pemerintahan (Din) Islam.
  4. Sumpah / pernyataan / statement diri menerima kedaulatan Allah dan hukumnya.
Maka perbuatan yang bertentangan dengan 4 poin di atas, termasuk kategori berlawanan, merusak atau membatalkan syahadat itu.

Hal Hal Yang Membatalkan Syahadatain

1. Menerima Sebagian hukum Allah dan meninggalkan sebagian yang lain

Kemudian kamu (Bani Israel) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah : 85)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. An Nisa : 150-151)

2. Syirik kepada Allah

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS. Al An’am : 88)

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az Zumar : 65)

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun. (QS. Al Maidah : 72)

3. Ragu terhadap kebenaran Al Quran

Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku lalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. An Nur : 50)

4. Mengangkat orang-orang yahudi, nasrani, munafikin sebagai pemimpin

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. Al Maidah : 51-53)

5. Kafir atau ingkar kepada ayat Allah, membunuh para Nabi, membunuh orang-orang yang melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. (QS. Ali Imron : 21)

6. Mendustakan ayat Allah dan hari akhir

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al Araf : 147)

Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (QS. Al Kahfi : 105)


7. Menghalagi orang untuk berjihad

Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya: "Marilah kepada kami." Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar.
Mereka bakhil terhadapmu apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Ahzab : 18-19)

8. Menghalangi manusia dari jalan Allah, Kafir kepada Allah, Menghalangi memasuki Masjidil Haram, Mengusir penduduknya, Membuat fitnah, Mengajak orang jadi kafir

Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah : 217)

9. Murtad

Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (QS. Muhammad : 25)

10. Mengerjakan apa yang dimurkai Allah, Menjauhi yang Allah ridhoi

....... karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 28)

11. Menjadikan Allah dan Rasul sebagai Olok-olok

Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al Kahfi : 106)

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam. (QS. An Nisa : 140)


12. Menjadikan orang kafir sebagai wali/pemimpin

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS. An Nisa : 144)

Hal-Hal Yang Membatalkan Amal

Yang dimaksud dengan pengertian "batal amal" ialah bahwa amal tersebut tidak ditulis sebagai amal hasanah / baik, tetapi ditulis sebagai amal sayyiat / buruk. Adapun yang dimaksud hapus amal ialah bahwa amal yang sudah dikerjakan akan hapus.

Hal-Hal Yang Dapat Menghapus Pahala Amal :

1. Benci kepada yang diridhoi Allah

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 28)

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah : 216)

2. Benci kepada yang diturunkan oleh Allah

Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka.
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 8-9)

3. Meninggikan suara di hadapan Nabi dan Mengeluarkan pendapat dengan berbantah-bantah kepada wali/pemimpin

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al Hujarat :2 )

4. Mencintai kehidupan dunia lebih dari pada akhirat

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (QS. Hud : 15-16)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron : 14)

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. Al Kahfi : 7)

Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Az Zukhruf : 35)

5. Sedekah yang diiringi dengan riya dan menyakiti

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian ...... (QS. Al Baqarah : 264)

6. Bakhil dalam melaksanakan kebaikan

Mereka bakhil terhadapmu apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Ahzab : 19)

7. Kufur nikmat dengan menyangka bahwa nikmat diperoleh dengan kemampuan dirinya saja

Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,
siapa yang akan mendapat siksa yang menghinakannya dan lagi ditimpa oleh azab yang kekal". (QS. Az Zumar : 49-50)

8. Takabbur / sombong

Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan (nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kelaliman.
Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata: "Hijraan mahjuuraa.
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al Furqon : 21-23)

sumber bacaan : Al Qur'an dan Berbagai sumber

baca seterusnya ....

Kamis, 09 Oktober 2008

Budaya Prasangka

Budaya prasangka adalah orang-orang yang pendapatnya hanya berdasarkan prasangka, bukan berdasarkan dalil-dalil yang shahih yaitu Al qur’an dan Hadits.

Sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa dengan mengikuti banyak orang, dengan mendasarkan penilaian kebenaran kepada ukuran banyaknya orang yang datang, dengan menganggap bahwa semakin banyak yang mengikuti berarti semakin benar, maka kita lalu merasa tenang dan yakin bahwa inilah jalan yang benar.

Budaya prasangka menciptakan ilusi semata bagi pengikutnya. Jumlah yang banyak bukanlah ukuran suatu kebenaran. Misalnya, bila dihitung jumlah penduduk di bumi ini antara yang Islam dan yang non-Islam, sudah pasti lebih banyak yang non-Islam. Lantas apa itu bisa dijadikan ukuran kebenaran bahwa non-Islamlah yang benar karena mereka lebih banyak ? Sungguh mendasarkan ukuran kebenaran pada jumlah itu sangat jauh dari kebenaran.

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (QS. Al An’aam: 116)

Adapula golongan yang menyangka bahwa setiap perbuatan ibadah sepanjang ditujukan kepada Allah dan bertujuan baik, pasti Allah menerima karena Allah Maha Bijaksana. Mereka tidak peduli lagi apakah itu berdasarkan suatu dalil ataukah tidak, mereka tidak peduli apakah ada tuntunannya atau tidak.
Mereka menyangka sepanjang baik dan ditujukan kepada Allah, pasti diterima. Persangkaan yang seperti ini sebenarnya hanyalah angan-angan kosong yang dihembus-hembuskan oleh setan untuk orang-orang yang putus asa. Bagaimana mungkin bisa menyangka seperti ini sedangkan ibadah itu hanyalah Allah yang berhak menentukan yang dituangkan melalui lisan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa menyangka akan diterima Allah sedangkan ibadahnya bukan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan bagaimana mungkin bisa menyangka Allah menerima sedangkan Nabi saw saja bersabda tidak diterima?

"Barang siap beramal suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dari kami (apapun tujuannya) maka ia tertolak." (Muslim)

Diantara kita ada pula yang menyangka bahwa agama islam itu bisa berbeda-beda sesuai dengan budaya dan keadaan masyarakat sekitarnya. Ada Islam yang pas untuk bangsa arab karena sesuai dengan daerahnya. Ada Islam Indonesia yang sesuai dengan lingkungan dan alam Indonesia, ada Islam Jawa yang disesuaikan dengan adat dan budaya Jawa, dan sebagainya.
Maka dikembangkanlah dan dikreasikanlah Islam menjadi banyak bagian dan banyak campurannya.

Padahal persangkaan ini hanyalah persangkaan yang kosong tanpa landasan dan asal kira-kira saja. Padahal pula yang sesungguhnya hanyalah keengganannya untuk tunduk kepada aturan Allah secara pasrah dan menyeluruh. Lalu menyangka-nyangka yang menurutnya benar dan bisa diterima, agar diakui sebagai Islam sementara budaya dan adat yang disenanginya bisa diterima dan berjalan pula.

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqarah : 170)

Bukankah Nabi SAW diutus tidak hanya untuk bangsa Arab saja ? atau untuk membedakan islam Arab, Indonesia, Amerika dan Jawa?

"Dan tidaklah Kami utus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat seluruh alam."(QS. Al Anbyaa : 107)

Diantara kita ada yang menyangka bahwa dengan mengikut saja panutannya maka ia akan ikut selamat, karena tidak mungkin panutannya akan mengajari sesuatu yang buruk, tidak mungkin seorang guru mengajari kesesatan. Kalau ia mengajari sesat berarti ia masuk neraka, masak orang mau masuk neraka ? Lalu merekapun menyangka bahwa jika ia sesat maka dosanya ditanggung yang menyesatkan.

Padahal masih segar diingatan kita betapa banyak Islam-islam sempalan, aliran-aliran sesat dan kelompok-kelompok menyimpang. Ada yang menganggap syekhnya seorang Nabi, ada yang sholatnya berbahasa Indonesia, ada yang sukanya menyembah dan meminta-minta kuburan, dan masih banyak lagi. Lalu siapakah yang mengajari mereka begitu ? Apakah belajar dengan sendirinya ataukah ada guru yang mengajarinya dan mencontohinya ?
Setiap manusia itu (kecuali Nabi) pasti pada suatu saat mengalami kebodohan dan kekhilafan. Jika pada suatu ketika para guru dan panutan kita mengalami hal demikian dan kita tidak mengadakan chek dan rechek, bahkan kita masih menyangka tidak mungkin mereka mengajari yang salah, dan masih menyangka pula nanti jika salah yang bertanggung jawab gurunya atau panutannya. Maka sungguh kita tertipu oleh persangkaan kita, karena bagi Allah baik yang menyesatkan maupun yang disesatkan hukumnya sama, sama-sama sesat.

“Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dari kanan". Pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak beriman. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu). Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat.” Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab.” (QS. Ash Shaaffaat : 28-33)

Kebenaran itu tidak bisa diraih berdasar prasangka atau perkiraan, kebenaran itu ada burhannya, ada dalil dan penjelasannya yang sangat gamblang, yang semuanya tertuang dalam Qur'an yang agung, sunah Nabi yang sahih, dan aplikasi para sahabat dalam menjalaninya.

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 36)

"Barang siapa diberi umur panjang, maka kelak ia akan melihat perpecahan yang banyak. Maka pada saat itu wajib bagimu hidup dengan cara sunahku (contohku) dan yang dicontohkan oleh para sahabat yang diberi petunjuk." (Abu Daud)


Sumber bacaan (diolah) : M. Bogi Santoso, Budaya Salah Sangka, Qonsis

baca seterusnya ....

Pemuda Teladan

Seorang pemuda, yang sejak kanak-kanak telah diasuh oleh Rasulullah menjadi contoh dari pemuda teladan yang patut kita tiru, sejak kecil ia tak pernah sekalipun menyembah berhala, ia juga tak lelah untuk meminta pendidikan budi pekerti kepada Rasulullah, bahkan Beliau tahu sendiri, betapa akhlak mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah.

Semenjak dewasa, akhlak Rasulullah itu tersimpan di dalam dadanya, ia adalah seorang pemuda yang pertama kali masuk Islam di saat pemuda-pemuda lain tenggelam dalam kemaksiatan, ia telah bertauhid kepada Allah, tidak hanya itu, keberaniannya juga tak patut diragukan. Pada saat Kafir Quraisy ingin menangkap Rasulullah, Ali yang menjadi tameng dengan tidur di tempat tidur yang biasa di pakai oleh Rasulullah. Beliau menyamar dengan menyelimutkan seluruh tubuhnya agar orangorang mengira dirinya Rasulullah. Pada saat orang-orang kafir tersebut menyingkap selimutnya, kagetlah mereka sebab yang tidur di tempat tidur itu bukan Rasulullah, melainkan Ali bin Abi Thalib, anak muda yang dianggap remeh itu.

Ya, sosok Ali memang fenomenal, ia adalah cerminan dari seorang pemuda yang mendapatkan naungan di hari kiamat, ketika manusia lain ditimpa oleh huru-hara yang tak pernah dijumpai sebelumnya. Lantas apa resepnya untuk mendapatkan derajat seperti itu? Tak lain keimanan yang nyata kepada Allah, bangun tengah malam untuk melakukan shalat tahajud hingga bercucuran air mata karena teringat akan dosa-dosa yang telah kita lakukan sepanjang hayat.

Seseorang akan dianggap beriman jika dia benar-benar menghayati apa yang ia yakini, tentu hal ini juga perlu dilandasi pula dengan ilmu. Mengapa jiwa kita bergetar begitu menyebut namanya, atau mendengarkan kalam-kalam Allah dibacakan? Itu tak lain kita benar-benar meresapi isi kandungan Al Qur'an satu demi satu. Mengetahui terjemahan Al Qur'an dan menghayati seandainya neraka dan surga berada di tangan kita, apakah kita termasuk dalam golongan yang selamat ataukah golongan yang terlaknat, betapa mengerikan siksa di yaumil akhir kelak, bukan karena terhanyut oleh kemerduan alunan suara.

Al Quran mencatat dengan baik, bagaimana suasana hati dari orang-orang yang beriman kepada Allah. Allah berfirman di dalam Al Qur'an,
“Sesungguhnya orangorang yang beriman ini apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhannyalah mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka" (QS. Al Anfal : 2)

Dari ayat di atas bahwa ujud nyata keimanan ini bukanlah hal-hal yang berhubungan dengan sikap fatalistik, atau berpasrah tetapi seseorang dikatakan beriman jika mampu melapangkan rezekinya yang halal dan terbaik, baik dalam keadaan sempit ataupun lapang, sanggup bersabar apabila ditimpa musibah dan bersyukur bila diberikan kelapangan rezeki, dan lain-lain kepatuhan terhadap perintah Allah.

Sumber bacaan : Qonsis

baca seterusnya ....

Senin, 06 Oktober 2008

Dasar-dasar Memahami Tauhid

Pendahuluan

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kelurusan ajaran Nabi Ibrahim as adalah beribadah kepada Allah secara ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Allah berfirman : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyaat : 56)

Dan bila Anda telah tahu bahwasanya Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah disebut shalat bila tidak disertai dengan bersuci.

Bila ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila disertai adanya hadatz (tidak suci). Allah berfirman : “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka" (QS. At-Taubah : 17)

Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa ibadah yang bercampur dengan kesyirikan akan merusak ibadah itu sendiri. Dan ibadah yang bercampur dengan syirik itu akan menggugurkan amal sehingga pelakunya menjadi penghuni neraka, Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisaa : 48)

Kemurnian ibadah akan mampu dicapai bila memahami 4 kaidah yang telah Allah nyatakan dalam firman-Nya:

Kaidah Pertama

Engkau harus mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah saw, mereka meyakini bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi manfa'at, Yang memberi madzarat, Yang mengatur segala urusan (tauhid rububiyah). Tetapi semuanya itu tidak menyebabkan mereka sebagai muslim, Allah berfirman: "Katakanlah: “Siapa yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab : “Allah”. Maka katakanlah : “Mengapa kamu tidak bertakwa [kepada-Nya]." (QS. Yunus : 31)

Kaidah Kedua

Dalil tentang mendekatkan diri yaitu firman Allah : "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar". (QS. Az-Zumar : 3)

Adapun dalil tentang syafa'at yaitu firman Allah : "Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata : "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah : "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak [pula] di bumi". Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan [itu]." (QS. Yuunus: 18)

Syafa'at itu ada 2 macam:
• Syafa'at munfiyah (yang ditolak)
• Syafa'at mutsbitah (yang diterima)

Syafa'at munfiyah adalah syafa'at yang dicari dari selain Allah. Sebab tidak seorangpun yang berkuasa dan berhak untuk memberikannya kecuali Allah, Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah [di jalan Allah] sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah : 254)

Adapun syafa'at mutsbitah adalah syafa'at yang dicari dari Allah. Pemberi syafa'at itu dimuliakan dengan syafa'at, sedangkan yang diberi hak untuk memberikan syafa'at adalah orang yang diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatannya setelah memperoleh izin-Nya. Allah berfirman : "Siapakah yang mampu memberi syafa'at di samping Allah tanpa izin-Nya?" (QS. Al-Baqarah : 255)

Kaidah Ketiga

Sesungguhnya Nabi saw menerangkan kepada manusia tentang macam-macam sistem peribadatan yang dilakukan oleh manusia. Di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan, di antara mereka ada pula yang menyembah orang-orang shaleh, para malaikat, para wali, pepohonan, dan bebatuan.

Mereka semua diperangi oleh Rasulullah saw, dalilnya adalah firman Allah : "Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan dien ini menjadi milik Allah semuanya." (QS. Al-Baqarah:193)

Sedangkan dalil larangan beribadah kepada matahari dan bulan adalah firman Allah : "Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah [pula] kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah." (QS. Fushilat:37)

Dan dalil larangan beribadah kepada orang-orang shaleh adalah: "Katakanlah : “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat [kepada Allah] dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang [harus] ditakuti.” (QS. Al-Ishra : 56-57)

Adapun dalil tentang larangan beribadah kepada para malaikat adalah: "Dan [ingatlah] hari [yang di waktu itu] Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat : "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?" Malaikat-malaikat itu menjawab : "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". Maka pada hari ini sebahagian kamu tidak berkuasa [untuk memberikan] kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan kepada sebahagian yang lain. Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim : "Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu". (QS. Sabaa': 40-42)

Larangan beribadah kepada para Nabi dalilnya : "Dan [ingatlah] ketika Allah berfirman : "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Ilah selain Allah". Isa menjawab : "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku [mengatakannya]. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku [mengatakannya] yaitu : "Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Meyaksikan atas segala sesuatu. Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah : 116-118)

Adapun dalil tentang larangan penyembahan terhadap pepohonan, bebatuan adalah hadits Abi Waqid Al-Laitsi, dia berkata: "Kami keluar bersama Rasulullah saw menuju Hunain. Kami adalah para pemuda yang telah mengenal bentuk-bentuk kesyirikan. Orang-orang musyrik mempunyai tempat duduk untuk beristirahat dan menggantungkan senjata. Tempat itu dikenal sebagai Dzatu Anwath. Lalu kami melalui pohon bidara dan [sebagian] kami mengatakan: "Wahai Rasulullah, buatlah bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka (musyrikin) miliki. Maka Nabi saw: "Allahu Akbar, itu adalah assunnan (jalan), kamu kamu telah mengatakan -demi dzat yang menguasai diriku-sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa, "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab : "Patutkah aku mencari Ilah untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat." (QS. Al-A'raf : 138-140)

Kaidah Keempat

Sesungguhnya kaum musyrik zaman kita labih parah kesyirikannya dibanding musyrikin zaman dahulu, sebab musyrikin zaman dahulu, mereka berdo'a secara ikhlas kepada Allah ketika mereka ditimpa bahaya, akan tetapi mereka berbuat syirik ketika mereka dalam keadaan senang.
Sedangkan orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka terus menerus melakukan perbuatan syirik, baik dalam bahaya maupun ketika sedang senang, hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam Al-Qur'an : "Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah], agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang [dalam kekafiran]. Kelak mereka akan mengetahui [akibat perbuatannya]." (QS. Al-Ankabut : 65-66)

Sumber bacaan : Syaikh Muhammad At-Tamimi (www.perpustaakan-islam.com)
baca seterusnya ....

Jumat, 03 Oktober 2008

Menggerakkah Lidah (melafadzkan) pada bacaan Shalat

Ada sebagian orang yang ketika membaca doa-doa di dalam shalatnya hanya membaca di dalam hati yaitu tidak menggerakkan lidah (melafadzkan), sehingga shalat seakan hanyalah gerakan tanpa ada doa-doa. Hal ini termasuk kesalahan di dalam shalat.

Mereka beralasan:
  1. Firman Allah taala: Dan dirikanlah oleh kalian shalat (QS. Al-Baqarah : 43)
  2. Hadits Nabi saw : Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud)
Berdasarkan 2 nash di atas mereka memahami bahwasanya yang menjadi cermin adalah gerakan nabi bukan perkataannya, oleh karena itu yang dimaksud shalat adalah gerakannya, orang yang tidak melakukan gerakan-gerakan shalat dianggap shalatnya gugur, sekalipun dia bisa mengucapkan doa-doa dalam shalatnya.

Bantahan terhadap syubhat di atas

Pendapat di atas tidaklah benar dan bertentangan dengan nash-nash syar`i:

Allah berfirman:
Karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur`an (QS. Muzammil : 20).

Ayat ini membantah yang mengatakan shalat hanyalah gerakan tanpa perkataan, dan juga adanya hadits yang menyatakan: Tidak sah shalat kecuali dengan membaca surat pembuka Al-Kitab (Al-Fatihah) (HR. Bukhari, Muslim).

Adapun sabda Rasulullah saw :
"Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat", maka fokusnya adalah diri Rasulullah yang mengerjakan tata-cara shalat, bukan berarti shalat itu hanya gerakan tanpa ucapan. Dengan demikian, tidak ada pertentangan dengan dalil yang mengatakan bahwa di dalam shalat juga membaca doa-doa tertentu yang sudah ditentukan. Membaca Al-Fatihah adalah hal yang fardhu di dalam shalat seperti pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama dan mayoritas shahabat nabi ra.

Seandainya membaca ayat berulang kali namun hanya di dalam hati sudah dianggap cukup di dalam shalat dan itu tidak akan pernah terjadi, Rasulullah saw tidak akan menjawab pertanyaan orang yang minta diajari shalat dengan : “Kemudian bacalah olehmu ayat Al-Qur`an yang kamu anggap mudah” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud), karena yang dimaksud dengan membaca itu bukan hanya terlintas di dalam hati, akan tetapi yang dimaksud dengan membaca -baik dalam pengertian bahasa maupun syariat- adalah menggerakkan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah ta`ala : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur`an karena hendak cepat-cepat (menguasainya).” (QS. Al-Qiyamah : 16)

Oleh karena itulah para ulama yang melarang orang junub membaca ayat Al-Qur`an memperbolehkan melintaskan bacaan ayat hanya di dalam hati, sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat dalam hati, tidak digolongkan membaca.

An-Nawawi rahimahullah berkata: Orang yang sedang junub, haidh, dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat Al-Qur`an di dalam hati tanpa melafadzkannya, begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya di dalam hati (Al-Adzkar halaman 10)

Muhammad Ibnu Rusyd berkata: Adapun seseorang yang membaca di dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca, karena yang disebut membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah azza wa jalla berfirman: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan (QS. Al-Baqarah : 286)

Rasulullah saw bersabda: Allah mengampuni dari umatku terhadap apa yang masih terlintas di dalam hati mereka (Hadits Shahih, Irwaa`al Ghalil VII/139 nomor 2026)

Sebagaimana telah diketahui bahwa keburukan yang masih berada di dalam hati manusia tidak diberi hukuman dan tidak membahayakan bagi dirinya di sisi Allah, maka sama halnya dengan bacaan atau kebaikan yang masih berada di dalam hati juga tidak akan dibalas ataupun dianggap ada. Yang dianggap adalah bacaan yang disertai dengan menggerakkan mulut dan kebaikan yang telah direalisasikan dalam perbuatan (Al-Bayan wa Al-Tahshiil I/491)

Seberapa keras bacaan di dalam shalat diucapkan?

Al-Nawawi berkata: Adapun selain imam, maka disunahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik dia menjadi makmum atau ketika shalat sendiri (munfarid). Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, takbir, membaca tasbih ketika ruku`, tasyahud, salam dan doa-doa dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syafi`i dan disepakati oleh pengikutnya.

Sedangkan rekan-rekan kami berkata: Disunnahkan agar tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri.

As-Syafi`i berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu (Al-Majmuu` III/295)

Para ulama madzhab Syafi`i berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -mengalami kecelakaan di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya, karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan (Fatwa al Ramli I/140 dan Hasyiyah Qulyubiy I/143)

Kebayakan ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh pembacanya sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat (Ad Diin al Khalish II/143)

Catatan:
Bacaan-bacaan yang dilafadzkan di dalam pembahasan ini adalah bacaan di dalam shalat yaitu dari takbir sampai dengan salam. Adapun niat adalah tempatnya di hati, melafadzkannya [misalnya dengan usholli...dst] merupakan bid`ah.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, dia berkata: Aku telah menyaksikan Rasulullah saw membuka (memulai) shalatnya dengan takbir, kemudian mengangkat tangannya (HR.Bukhari)


sumber bacaan (diolah) :
Artikel ini diambil dari Qoulul Mubin fii Akhthail Mushalin karya Syaikh Mashur Hasan Salman
baca seterusnya ....

Rabu, 01 Oktober 2008

Munculnya Syirik Setelah Tauhid Uluhiyah

Sesudah mengetahui tauhid, setiap orang Islam harus pula memahami apa saja yang berlawanan dengan tauhid itu, agar bisa menjauhinya.

Ini sebagaimana yang dilakukan Hudzaifah Bin Yaman :
"Adalah manusia bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena takut terjerumus kepadanya.”

Umar Bin Khattab ra berkata :
"Untaian Islam akan terlepas selembar-selembar, yaitu ketika di dalam umat Islam tumbuh generasi yang tidak mengetahui jahiliyyah. "

Demikian pula Nabi Ibrahim as berdo'a kepada Allah Ta'ala :
"Ya Allah jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala" (QS. Ibrahim : 35)

"Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ibrahim : 36)

Memahami Syirik dan Tauhid

Adapun syirik adalah menujukan salah satu macam ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a, menyembelih qurban, nadzar, istighotsah kepada selain Allah. Sedangkan Tauhid yakni beribadah hanya kepada Allah saja. Tauhid ini merupakan unsur yang asli berada di dalam umat manusia, sedangkan syirik baru akan menyusul kemudian setelah tauhid tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 213 :

"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi peringatan dan bersama mereka Allah menurunkan kitab yang benar untuk mengambil keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (QS. Al Baqarah : 213)

Ibnu Abbas ra mengatakan : "Adalah antara Adam as dan Nuh as, sepuluh generasi, semuanya atas islam."

Ibnu Qoyyim dan Ibnu Katsir rh di dalam tafsirnya mengatakan : "Apa yang dikatakan Ibnu Abbas itu benar dan mulai ada keyakinan syirik di muka bumi ini adalah kaumnya Nabi Nuh as, karena mereka berlebihan mengagungkan orang-orang shaleh yang telah meninggal"

Hal ini diberitakan Allah dalam Surat Nuh ayat 23 :

"Dan mereka berkata : janganlah sekali-kali kau meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan juangan pula suwwa, ya'uq, dan nasr" (QS. Nuh : 23)

Imam Bukhari dalam shahehnya mengatakan :
"Ini adalah nama-nama orang shaleh (suwwa, ya'uq, nasr), setelah mereka meninggal, membisikan kepada kaumnya agar mendirikan patung peringatan di tempat mereka mengadakan pengajian dan diberi nama dengan nama-nama mereka, maka kaumnya melakukannya. Pada waktu itu belum disembah, setelah generasi ini meninggal dan ilmu Tauhid dilupakan, maka patung-patung tersebut disembah"

Dari atsar Riwayat Imam Bukhari dapat diambil keterangan bahwa pertama kali munculnya syirik di bumi ini adalah dari kaum Nabi Nuh as. Ini disebabkan karena mereka berlebihan dalam menghormati orang-orang shaleh, sehingga ketika mereka meninggal, kaumnya mendirikan tugu peringatan yang di atasnya diukir patung dan diberi nama dengan nama-nama mereka.
Setelah alih generasi, sedikit demi sedikit ilmu tauhid dilupakan, dan tempat tersebut dijadikan tempat ritual upacara dan diibadahi. Misalnya ritual minta hujan, permohonan agar hasil tanaman yang melimpah dijauhkan dari bencana, agar lepas dari wabah penyakit dan lain sebagainya.

Kembalinya Syirik Setelah Musnah

Hampir seribu tahun Nabi Nuh as mengajak umatnya beribadah kepada Allah dan meninggalkan beribadah kepada berhala-berhala. Tetapi mereka menolak, mengejek, bahkan mengancam akan mengusirnya. Maka Allah menurunkan bencana banjir besar yang menenggelamkan seluruh daratan yang dihuni oleh manusia. Hanyalah orang-orang mukmin bersama nabi Nuh as dalam kapal yang telah mereka buat selama bertahun-tahun yang mampu selamat dari bahaya banjir tersebut. Sedangkan seluruh manusia yang lain mati tenggelam tanpa satu pun tersisa. (lihat kisah nabi Nuh as)

Alhasil, hanyalah orang tauhid saja yang akhirnya tinggal di bumi Allah ini, sebagaimana do'a Nabi Nuh dalam surat Nuh ayat 26-27:

"Nuh berkata: Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi" (QS. Nuh : 26)

"Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir" (QS. Nuh : 27)

Beberapa generasi sepeninggal Nabi Nuh as, tumbuh lagi keyakinan syirik dan yang dominan adalah penyembahan kepada orang-orang shaleh yang telah meninggal dan dipatungkan. Oleh karena itu Islam datang dengan mengharamkan patung, melaknat orang-orang yang membuat patung, mengancam mereka dengan siksa yang paling berat di hari qiyamat. Ini bertujuan untuk menutup jalan ke arah syirik akbar yang akan merobohkan tauhid.

Dendam Iblis Pada Manusia

Ketika iblis diusir dari syurga, ia bersumpah akan menyesatkan semua keturunan Nabi Adam as, kecuali orang-orang yang ikhlas beribadah kepada Allah saja. Ia akan mengerahkan bala tentaranya mendatangi manusia dari kanan, kiri, muka, belakang untuk merayu manusia supaya menyekutukan Allah. Dengan lihainya syetan menyesatkan manusia. Ia merayu seolah-olah melaksanakan kebaikan, ia mengajak menghormati orang-orang shaleh dan mencintainya.
Setelah mereka meninggal, syetan kemudian mempengaruhi umatnya agar mendirikan tugu peringatan yang diberi nama dengan nama-nama mereka untuk mengenang jasa-jasanya dan meneladani kebaikannya. Setelah alih generasi, tugu peringatan yang atasnya diukir patung tersebut kemudian dimintai berkah, minta hujan, lepas dari bencana, panen yang melimpah dan lain sebagainya.

Sampai pada abad teknologi ini, mayoritas manusia menyembah selain Allah, ada yang menyembah dewa-dewa, itulah orang-orang yang beragama hindu, orang-orang budha menyembah sidharta, orang kristen menyembah nabi Isa as, orang-orang konghucu menyembah leluhur mereka dan sebagian orang-orang Islam menyembah para wali dan orang-orang shaleh yang di atas kuburannya didirikan tugu peringatan dan dibangun rumah ibadah.

Untuk memperingatkan kesalahan dan kesesatan syirik akbar ini, Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 39-40:

"Manakah yang lebih baik, Tuhan-tuhan yang bermacam0-macam itu, ataukah Allah yang maha Esa lagi Maha Perkasa" (QS. Yusuf : 39)

"Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Inilah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya" (QS. Yusuf : 40)

Sumber bacaan : majalah Furqon (KH Abdul Wahid Hasyim)
baca seterusnya ....