Budaya prasangka adalah orang-orang yang pendapatnya hanya berdasarkan prasangka, bukan berdasarkan dalil-dalil yang shahih yaitu Al qur’an dan Hadits.
Sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa dengan mengikuti banyak orang, dengan mendasarkan penilaian kebenaran kepada ukuran banyaknya orang yang datang, dengan menganggap bahwa semakin banyak yang mengikuti berarti semakin benar, maka kita lalu merasa tenang dan yakin bahwa inilah jalan yang benar.
Budaya prasangka menciptakan ilusi semata bagi pengikutnya. Jumlah yang banyak bukanlah ukuran suatu kebenaran. Misalnya, bila dihitung jumlah penduduk di bumi ini antara yang Islam dan yang non-Islam, sudah pasti lebih banyak yang non-Islam. Lantas apa itu bisa dijadikan ukuran kebenaran bahwa non-Islamlah yang benar karena mereka lebih banyak ? Sungguh mendasarkan ukuran kebenaran pada jumlah itu sangat jauh dari kebenaran.
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (QS. Al An’aam: 116)
Adapula golongan yang menyangka bahwa setiap perbuatan ibadah sepanjang ditujukan kepada Allah dan bertujuan baik, pasti Allah menerima karena Allah Maha Bijaksana. Mereka tidak peduli lagi apakah itu berdasarkan suatu dalil ataukah tidak, mereka tidak peduli apakah ada tuntunannya atau tidak.
Mereka menyangka sepanjang baik dan ditujukan kepada Allah, pasti diterima. Persangkaan yang seperti ini sebenarnya hanyalah angan-angan kosong yang dihembus-hembuskan oleh setan untuk orang-orang yang putus asa. Bagaimana mungkin bisa menyangka seperti ini sedangkan ibadah itu hanyalah Allah yang berhak menentukan yang dituangkan melalui lisan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa menyangka akan diterima Allah sedangkan ibadahnya bukan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan bagaimana mungkin bisa menyangka Allah menerima sedangkan Nabi saw saja bersabda tidak diterima?
"Barang siap beramal suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dari kami (apapun tujuannya) maka ia tertolak." (Muslim)
Diantara kita ada pula yang menyangka bahwa agama islam itu bisa berbeda-beda sesuai dengan budaya dan keadaan masyarakat sekitarnya. Ada Islam yang pas untuk bangsa arab karena sesuai dengan daerahnya. Ada Islam Indonesia yang sesuai dengan lingkungan dan alam Indonesia, ada Islam Jawa yang disesuaikan dengan adat dan budaya Jawa, dan sebagainya.
Maka dikembangkanlah dan dikreasikanlah Islam menjadi banyak bagian dan banyak campurannya.
Padahal persangkaan ini hanyalah persangkaan yang kosong tanpa landasan dan asal kira-kira saja. Padahal pula yang sesungguhnya hanyalah keengganannya untuk tunduk kepada aturan Allah secara pasrah dan menyeluruh. Lalu menyangka-nyangka yang menurutnya benar dan bisa diterima, agar diakui sebagai Islam sementara budaya dan adat yang disenanginya bisa diterima dan berjalan pula.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqarah : 170)
Bukankah Nabi SAW diutus tidak hanya untuk bangsa Arab saja ? atau untuk membedakan islam Arab, Indonesia, Amerika dan Jawa?
"Dan tidaklah Kami utus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat seluruh alam."(QS. Al Anbyaa : 107)
Diantara kita ada yang menyangka bahwa dengan mengikut saja panutannya maka ia akan ikut selamat, karena tidak mungkin panutannya akan mengajari sesuatu yang buruk, tidak mungkin seorang guru mengajari kesesatan. Kalau ia mengajari sesat berarti ia masuk neraka, masak orang mau masuk neraka ? Lalu merekapun menyangka bahwa jika ia sesat maka dosanya ditanggung yang menyesatkan.
Padahal masih segar diingatan kita betapa banyak Islam-islam sempalan, aliran-aliran sesat dan kelompok-kelompok menyimpang. Ada yang menganggap syekhnya seorang Nabi, ada yang sholatnya berbahasa Indonesia, ada yang sukanya menyembah dan meminta-minta kuburan, dan masih banyak lagi. Lalu siapakah yang mengajari mereka begitu ? Apakah belajar dengan sendirinya ataukah ada guru yang mengajarinya dan mencontohinya ?
Setiap manusia itu (kecuali Nabi) pasti pada suatu saat mengalami kebodohan dan kekhilafan. Jika pada suatu ketika para guru dan panutan kita mengalami hal demikian dan kita tidak mengadakan chek dan rechek, bahkan kita masih menyangka tidak mungkin mereka mengajari yang salah, dan masih menyangka pula nanti jika salah yang bertanggung jawab gurunya atau panutannya. Maka sungguh kita tertipu oleh persangkaan kita, karena bagi Allah baik yang menyesatkan maupun yang disesatkan hukumnya sama, sama-sama sesat.
“Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dari kanan". Pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak beriman. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu). Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat.” Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab.” (QS. Ash Shaaffaat : 28-33)
Kebenaran itu tidak bisa diraih berdasar prasangka atau perkiraan, kebenaran itu ada burhannya, ada dalil dan penjelasannya yang sangat gamblang, yang semuanya tertuang dalam Qur'an yang agung, sunah Nabi yang sahih, dan aplikasi para sahabat dalam menjalaninya.
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 36)
"Barang siapa diberi umur panjang, maka kelak ia akan melihat perpecahan yang banyak. Maka pada saat itu wajib bagimu hidup dengan cara sunahku (contohku) dan yang dicontohkan oleh para sahabat yang diberi petunjuk." (Abu Daud)
Sumber bacaan (diolah) : M. Bogi Santoso, Budaya Salah Sangka, Qonsis
Sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa dengan mengikuti banyak orang, dengan mendasarkan penilaian kebenaran kepada ukuran banyaknya orang yang datang, dengan menganggap bahwa semakin banyak yang mengikuti berarti semakin benar, maka kita lalu merasa tenang dan yakin bahwa inilah jalan yang benar.
Budaya prasangka menciptakan ilusi semata bagi pengikutnya. Jumlah yang banyak bukanlah ukuran suatu kebenaran. Misalnya, bila dihitung jumlah penduduk di bumi ini antara yang Islam dan yang non-Islam, sudah pasti lebih banyak yang non-Islam. Lantas apa itu bisa dijadikan ukuran kebenaran bahwa non-Islamlah yang benar karena mereka lebih banyak ? Sungguh mendasarkan ukuran kebenaran pada jumlah itu sangat jauh dari kebenaran.
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (QS. Al An’aam: 116)
Adapula golongan yang menyangka bahwa setiap perbuatan ibadah sepanjang ditujukan kepada Allah dan bertujuan baik, pasti Allah menerima karena Allah Maha Bijaksana. Mereka tidak peduli lagi apakah itu berdasarkan suatu dalil ataukah tidak, mereka tidak peduli apakah ada tuntunannya atau tidak.
Mereka menyangka sepanjang baik dan ditujukan kepada Allah, pasti diterima. Persangkaan yang seperti ini sebenarnya hanyalah angan-angan kosong yang dihembus-hembuskan oleh setan untuk orang-orang yang putus asa. Bagaimana mungkin bisa menyangka seperti ini sedangkan ibadah itu hanyalah Allah yang berhak menentukan yang dituangkan melalui lisan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa menyangka akan diterima Allah sedangkan ibadahnya bukan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan bagaimana mungkin bisa menyangka Allah menerima sedangkan Nabi saw saja bersabda tidak diterima?
"Barang siap beramal suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dari kami (apapun tujuannya) maka ia tertolak." (Muslim)
Diantara kita ada pula yang menyangka bahwa agama islam itu bisa berbeda-beda sesuai dengan budaya dan keadaan masyarakat sekitarnya. Ada Islam yang pas untuk bangsa arab karena sesuai dengan daerahnya. Ada Islam Indonesia yang sesuai dengan lingkungan dan alam Indonesia, ada Islam Jawa yang disesuaikan dengan adat dan budaya Jawa, dan sebagainya.
Maka dikembangkanlah dan dikreasikanlah Islam menjadi banyak bagian dan banyak campurannya.
Padahal persangkaan ini hanyalah persangkaan yang kosong tanpa landasan dan asal kira-kira saja. Padahal pula yang sesungguhnya hanyalah keengganannya untuk tunduk kepada aturan Allah secara pasrah dan menyeluruh. Lalu menyangka-nyangka yang menurutnya benar dan bisa diterima, agar diakui sebagai Islam sementara budaya dan adat yang disenanginya bisa diterima dan berjalan pula.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqarah : 170)
Bukankah Nabi SAW diutus tidak hanya untuk bangsa Arab saja ? atau untuk membedakan islam Arab, Indonesia, Amerika dan Jawa?
"Dan tidaklah Kami utus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat seluruh alam."(QS. Al Anbyaa : 107)
Diantara kita ada yang menyangka bahwa dengan mengikut saja panutannya maka ia akan ikut selamat, karena tidak mungkin panutannya akan mengajari sesuatu yang buruk, tidak mungkin seorang guru mengajari kesesatan. Kalau ia mengajari sesat berarti ia masuk neraka, masak orang mau masuk neraka ? Lalu merekapun menyangka bahwa jika ia sesat maka dosanya ditanggung yang menyesatkan.
Padahal masih segar diingatan kita betapa banyak Islam-islam sempalan, aliran-aliran sesat dan kelompok-kelompok menyimpang. Ada yang menganggap syekhnya seorang Nabi, ada yang sholatnya berbahasa Indonesia, ada yang sukanya menyembah dan meminta-minta kuburan, dan masih banyak lagi. Lalu siapakah yang mengajari mereka begitu ? Apakah belajar dengan sendirinya ataukah ada guru yang mengajarinya dan mencontohinya ?
Setiap manusia itu (kecuali Nabi) pasti pada suatu saat mengalami kebodohan dan kekhilafan. Jika pada suatu ketika para guru dan panutan kita mengalami hal demikian dan kita tidak mengadakan chek dan rechek, bahkan kita masih menyangka tidak mungkin mereka mengajari yang salah, dan masih menyangka pula nanti jika salah yang bertanggung jawab gurunya atau panutannya. Maka sungguh kita tertipu oleh persangkaan kita, karena bagi Allah baik yang menyesatkan maupun yang disesatkan hukumnya sama, sama-sama sesat.
“Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dari kanan". Pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak beriman. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu). Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat.” Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab.” (QS. Ash Shaaffaat : 28-33)
Kebenaran itu tidak bisa diraih berdasar prasangka atau perkiraan, kebenaran itu ada burhannya, ada dalil dan penjelasannya yang sangat gamblang, yang semuanya tertuang dalam Qur'an yang agung, sunah Nabi yang sahih, dan aplikasi para sahabat dalam menjalaninya.
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 36)
"Barang siapa diberi umur panjang, maka kelak ia akan melihat perpecahan yang banyak. Maka pada saat itu wajib bagimu hidup dengan cara sunahku (contohku) dan yang dicontohkan oleh para sahabat yang diberi petunjuk." (Abu Daud)
Sumber bacaan (diolah) : M. Bogi Santoso, Budaya Salah Sangka, Qonsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar