"Siapa yang membuatnya sedih, berarti juga membuat aku sedih, dan barang siapa menyenangkannya, berarti menyenangkanku pula."
Ungkapan itu diucapkan Rasulullah saw pada satu kesempatan bersama para sahabat. Ungkapan Rasul saw itu menunjukkan betapa besar kasih sayang sang Nabi saw kepada putrinya, Fatimah Az Zahra. Dalam kesempatan lain, bahkan Nabi saw pernah berucap, "O... Fatimah, Allah tidak suka orang yang membuat kamu tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi."
Soal rasa sayang dan perlakuan agak istimewa Rasul saw kepada puteri yang kelak menjadi isteri dari sahabat sekaligus khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib ra, ini tak diragukan lagi. Hal ini pun diakui istri Nabi, Aisyah. Satu saat, Aisyah pernah berujar, "Fatimahlah yang paling disayang oleh Nabi."
Sosok Fatimah yang diakui para sahabat sebagai mirip ayahnya, khususnya wajahnya ini, terlahir delapan tahun sebelum Hijriyah di Mekkah, sebagai anak pertama dari isteri pertama Nabi, Siti Khadijah. Sedang puteri Nabi lainnya adalah Zainab, Ruqaiyah, dan Ummu Kalsum.
Bagi Rasulullah saw, kelahiran Fatimah merupakan rahmat dan berkah tersendiri. Ketika mendapat kabar gembira dengan kelahiran puterinya, tampak di wajah Rasul kebahagiaan yang tiada tara. Itu pula yang menyebabkan Rasul memberinya julukan dengan "Az Zahra" (bunga). Dalam maknanya, bunga berarti simbol kesegaran, keceriaan dan kebahagiaan. Kelak julukan itu mengilhami penamaan institusi pendidikan Islam tertua dan terbesar, Al Azhar, Mesir.
Fatimah tumbuh dan berkembang dalam rumah tangga Nabawi dengan sifat yang baik, lemah lembut, dan terpuji. Dengan sifat-sifat inilah Az Zahra kecil tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan, dan akhlak yang baik dengan mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah SAW dalam seluruh tindak-tanduknya.
Ketika usianya menginjak lima tahun, terlihat suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada Nabi SAW. Sejak itu, Fatimah merasakan betul bagaimana awal mula ujian dakwah. Ia misalnya menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap bahaya. Fatimah juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap Rasulullah, sehingga dirinya sampai pernah berangan-angan seandainya saja dia mampu, akan ditebusnya dengan nyawanya untuk menjaga Rasul dari gangguan orang-orang musyrik.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum Muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Akibat aksi pemboikotan, banyak terjadi kelaparan. Hal ini pula yang berpengaruh kepada kesehatan Nabi. Oleh karena itu, sisa umurnya yang panjang dilaluinya dengan fisik yang lemah.
Belum lagi Az Zahra kecil lepas dari ujian pemboikotan, tiba-tiba (ibunya) Khadijah wafat yang menyebabkan jiwa Rasul penuh dengan kesedihan, penderitaan, dan kesusahan. Pasca-wafatnya sang ibunda, Az Zahra merasakan tanggung jawab dan pengorbanan yang besar untuk membantu ayahnya yang sedang meniti jalan dakwah, menyeru perintah Allah pada masyarakat Arab Jahiliyah, ketika itu. Dalam kondisi demikian, Allah kembali memberi ujian kepada Rasul-Nya, yakni wafatnya paman yang tercinta, Abu Thalib. Fatimah praktis mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya. Dengan sebab itulah Fatimah diberi gelar "Ibu dari ayahnya."
Bagai baja, Fatimah tak kenal lelah mendampingi Rasul. Ketika Rasulullah saw mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, ia menjaga rumah yang agung. Tinggal di dalamnya Ali bin Abu Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah saw. Ali ra kemudian tidur di tempat Rasulullah biasa tidur untuk mengelabui orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka, Nabi belum keluar). Selanjutnya, Ali ra menangguhkan hijrahnya selama tiga hari di Mekkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasullah saw yang telah berhijrah.
Setelah hijrahnya Ali, hanya Fatimah dan saudara wanitanya, Ummu Kulsum, yang masih tinggal di Mekkah, sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya pada tahun ketiga sebelum hijrah. Ketika itu, umur Fatimah 18 tahun. Fatimah melihat di Madinah para Muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah saw kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sementara Rasul saw mengambil Ali ra sebagai saudara.
Setelah menikahnya Rasulullah saw dengan sayyidah 'Aisyah Ra, sebenarnya banyak orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar Az Zahra', tak terkecuali sahabat Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Semula, mereka yang mencoba melamar ini malu-malu, menahan diri disebabkan keberadaan dan tugas mulia Fatimah di sisi Rasulullah. Sayang, lamaran para sahabat itu dengan halus ditolak Rasulullah.
Kemudian Ali bin Abu Thalib mendatangi Nabi untuk meminang Fatimah. Ali bercerita: "Aku ingin mendatangi Rasulullah untuk meminang putri beliau, yaitu Fatimah. Aku berkata, 'Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku ingat kebaikan Rasulullah, maka aku beranikan diri untuk meminangnya.' Nabi saw bersabda kepadaku, "Apakah kamu memiliki sesuatu?" Aku berkata, "Tidak, ya Rasulullah." Nabi saw bertanya lagi, "Lalu, di manakah baju besi Al Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?'' "Masih aku bawa, ya Rasulullah," jawabku. Selanjutnya Nabi saw bersabda, "Berikanlah baju tersebut kepada Fatimah sebagai mahar''.
Dari pernikahannya dengan Ali ra, Fatimah dianugerahi tiga orang putera: Hasan, Husein, dan Muhsin, serta dua puteri Zainab dan Ummu Kulsum.
Fatimah, Ratu Surga
Satu hari, isteri Rasul, Aisyah, bercerita tentang perlakuan Nabi kepada Fatimah di depan para isterinya. Ketika isteri-isteri Nabi saw berkumpul di tempat Nabi saw, lalu datang Fatimah ra sambil berjalan, mirip jalannya Rasulullah saw.
Ketika melihat puterinya itu, Rasulullah saw menyambutnya seraya berkata: "Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi saw berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum.
Ketika Nabi saw pergi, Aisyah bertanya kepadanya: "Apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu?" Fatimah menjawab: "Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasulullah saw." Aisyah berkata: "Ketika Rasulullah asw wafat, aku berkata kepadanya: "Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu itu?" Fatimah pun menjawab: "Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Quran sekali dalam setahun, dan sekarang dia memeriksa bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu."
Fatimah berkata: "Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata: 'Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mukmin atau umat ini?' Fatimah berkata: 'Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat.”
Seperti halnya sang ibu, kemana pun Fatimah setia merawat Rasul saw. Termasuk ketika Nabi saw sakit sepulang dari Perang Uhud. Ketika dalam perjalanan haji terakhir tahun 11 Hijriyah, Nabi saw jatuh sakit. Saat itulah Nabi saw membisikkan sesuatu ke telinga puterinya. Bisikan pertama membuatnya sedih, dan kedua berupa kabar gembira. Kabar tak sedap yang diterimanya, yakni Rasul membisikkan kepada puterinya ihwal kematian sang Rasul saw yang tak akan lama lagi. Tapi saat Nabi membisikkan kabar bahwa Fatimahlah orang pertama yang akan berkumpul dengan Rasul saw di alam baka, sontak Fatimah bahagia. Soal dua kali bisikan ini, ia ceritakan kepada ibu kandungnya.
Tak lama setelah wafatnya Nabi asw, Fatimah meninggal dunia, pada tahun itu juga, persis enam bulan pasca-wafatnya Nabi saw. Saat itu, usia Fatimah 28 tahun, dan dimakamkan oleh Ali bin Abi Thalib di Janat Al Baqih (Madinah). Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dari kaum hawa, juga pada konsepsi manusia yang paling mulia. Karenanya, Nabi pernah menyatakan bahwa Fatimah akan menjadi "Ratu segenap wanita yang berada di surga."
Sumber bacaan : Republika
baca seterusnya ....
Ungkapan itu diucapkan Rasulullah saw pada satu kesempatan bersama para sahabat. Ungkapan Rasul saw itu menunjukkan betapa besar kasih sayang sang Nabi saw kepada putrinya, Fatimah Az Zahra. Dalam kesempatan lain, bahkan Nabi saw pernah berucap, "O... Fatimah, Allah tidak suka orang yang membuat kamu tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi."
Soal rasa sayang dan perlakuan agak istimewa Rasul saw kepada puteri yang kelak menjadi isteri dari sahabat sekaligus khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib ra, ini tak diragukan lagi. Hal ini pun diakui istri Nabi, Aisyah. Satu saat, Aisyah pernah berujar, "Fatimahlah yang paling disayang oleh Nabi."
Sosok Fatimah yang diakui para sahabat sebagai mirip ayahnya, khususnya wajahnya ini, terlahir delapan tahun sebelum Hijriyah di Mekkah, sebagai anak pertama dari isteri pertama Nabi, Siti Khadijah. Sedang puteri Nabi lainnya adalah Zainab, Ruqaiyah, dan Ummu Kalsum.
Bagi Rasulullah saw, kelahiran Fatimah merupakan rahmat dan berkah tersendiri. Ketika mendapat kabar gembira dengan kelahiran puterinya, tampak di wajah Rasul kebahagiaan yang tiada tara. Itu pula yang menyebabkan Rasul memberinya julukan dengan "Az Zahra" (bunga). Dalam maknanya, bunga berarti simbol kesegaran, keceriaan dan kebahagiaan. Kelak julukan itu mengilhami penamaan institusi pendidikan Islam tertua dan terbesar, Al Azhar, Mesir.
Fatimah tumbuh dan berkembang dalam rumah tangga Nabawi dengan sifat yang baik, lemah lembut, dan terpuji. Dengan sifat-sifat inilah Az Zahra kecil tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan, dan akhlak yang baik dengan mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah SAW dalam seluruh tindak-tanduknya.
Ketika usianya menginjak lima tahun, terlihat suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada Nabi SAW. Sejak itu, Fatimah merasakan betul bagaimana awal mula ujian dakwah. Ia misalnya menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap bahaya. Fatimah juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap Rasulullah, sehingga dirinya sampai pernah berangan-angan seandainya saja dia mampu, akan ditebusnya dengan nyawanya untuk menjaga Rasul dari gangguan orang-orang musyrik.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum Muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Akibat aksi pemboikotan, banyak terjadi kelaparan. Hal ini pula yang berpengaruh kepada kesehatan Nabi. Oleh karena itu, sisa umurnya yang panjang dilaluinya dengan fisik yang lemah.
Belum lagi Az Zahra kecil lepas dari ujian pemboikotan, tiba-tiba (ibunya) Khadijah wafat yang menyebabkan jiwa Rasul penuh dengan kesedihan, penderitaan, dan kesusahan. Pasca-wafatnya sang ibunda, Az Zahra merasakan tanggung jawab dan pengorbanan yang besar untuk membantu ayahnya yang sedang meniti jalan dakwah, menyeru perintah Allah pada masyarakat Arab Jahiliyah, ketika itu. Dalam kondisi demikian, Allah kembali memberi ujian kepada Rasul-Nya, yakni wafatnya paman yang tercinta, Abu Thalib. Fatimah praktis mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya. Dengan sebab itulah Fatimah diberi gelar "Ibu dari ayahnya."
Bagai baja, Fatimah tak kenal lelah mendampingi Rasul. Ketika Rasulullah saw mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, ia menjaga rumah yang agung. Tinggal di dalamnya Ali bin Abu Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah saw. Ali ra kemudian tidur di tempat Rasulullah biasa tidur untuk mengelabui orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka, Nabi belum keluar). Selanjutnya, Ali ra menangguhkan hijrahnya selama tiga hari di Mekkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasullah saw yang telah berhijrah.
Setelah hijrahnya Ali, hanya Fatimah dan saudara wanitanya, Ummu Kulsum, yang masih tinggal di Mekkah, sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya pada tahun ketiga sebelum hijrah. Ketika itu, umur Fatimah 18 tahun. Fatimah melihat di Madinah para Muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah saw kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sementara Rasul saw mengambil Ali ra sebagai saudara.
Setelah menikahnya Rasulullah saw dengan sayyidah 'Aisyah Ra, sebenarnya banyak orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar Az Zahra', tak terkecuali sahabat Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Semula, mereka yang mencoba melamar ini malu-malu, menahan diri disebabkan keberadaan dan tugas mulia Fatimah di sisi Rasulullah. Sayang, lamaran para sahabat itu dengan halus ditolak Rasulullah.
Kemudian Ali bin Abu Thalib mendatangi Nabi untuk meminang Fatimah. Ali bercerita: "Aku ingin mendatangi Rasulullah untuk meminang putri beliau, yaitu Fatimah. Aku berkata, 'Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku ingat kebaikan Rasulullah, maka aku beranikan diri untuk meminangnya.' Nabi saw bersabda kepadaku, "Apakah kamu memiliki sesuatu?" Aku berkata, "Tidak, ya Rasulullah." Nabi saw bertanya lagi, "Lalu, di manakah baju besi Al Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?'' "Masih aku bawa, ya Rasulullah," jawabku. Selanjutnya Nabi saw bersabda, "Berikanlah baju tersebut kepada Fatimah sebagai mahar''.
Dari pernikahannya dengan Ali ra, Fatimah dianugerahi tiga orang putera: Hasan, Husein, dan Muhsin, serta dua puteri Zainab dan Ummu Kulsum.
Fatimah, Ratu Surga
Satu hari, isteri Rasul, Aisyah, bercerita tentang perlakuan Nabi kepada Fatimah di depan para isterinya. Ketika isteri-isteri Nabi saw berkumpul di tempat Nabi saw, lalu datang Fatimah ra sambil berjalan, mirip jalannya Rasulullah saw.
Ketika melihat puterinya itu, Rasulullah saw menyambutnya seraya berkata: "Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi saw berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum.
Ketika Nabi saw pergi, Aisyah bertanya kepadanya: "Apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu?" Fatimah menjawab: "Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasulullah saw." Aisyah berkata: "Ketika Rasulullah asw wafat, aku berkata kepadanya: "Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu itu?" Fatimah pun menjawab: "Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Quran sekali dalam setahun, dan sekarang dia memeriksa bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu."
Fatimah berkata: "Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata: 'Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mukmin atau umat ini?' Fatimah berkata: 'Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat.”
Seperti halnya sang ibu, kemana pun Fatimah setia merawat Rasul saw. Termasuk ketika Nabi saw sakit sepulang dari Perang Uhud. Ketika dalam perjalanan haji terakhir tahun 11 Hijriyah, Nabi saw jatuh sakit. Saat itulah Nabi saw membisikkan sesuatu ke telinga puterinya. Bisikan pertama membuatnya sedih, dan kedua berupa kabar gembira. Kabar tak sedap yang diterimanya, yakni Rasul membisikkan kepada puterinya ihwal kematian sang Rasul saw yang tak akan lama lagi. Tapi saat Nabi membisikkan kabar bahwa Fatimahlah orang pertama yang akan berkumpul dengan Rasul saw di alam baka, sontak Fatimah bahagia. Soal dua kali bisikan ini, ia ceritakan kepada ibu kandungnya.
Tak lama setelah wafatnya Nabi asw, Fatimah meninggal dunia, pada tahun itu juga, persis enam bulan pasca-wafatnya Nabi saw. Saat itu, usia Fatimah 28 tahun, dan dimakamkan oleh Ali bin Abi Thalib di Janat Al Baqih (Madinah). Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dari kaum hawa, juga pada konsepsi manusia yang paling mulia. Karenanya, Nabi pernah menyatakan bahwa Fatimah akan menjadi "Ratu segenap wanita yang berada di surga."
Sumber bacaan : Republika