Zakat Barang Dagangan
Definisi
Barang dagangan adalah semua produk yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dalam rangka memperoleh laba. Zakat atas jenis ini adalah setelah berlalunya waktu selama 1 tahun (1 putaran haul) dengan ukuran 2,5 %.
Penjelasan
Barang dagangan adalah semua yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan, baik besar maupun kecil, banyak maupun sedikit, uang maupun properti. Maka, semua itu, intinya adalah untuk mendapatkan laba, maka harus ditunaikan zakatnya jika sudah melalui masa 1 tahun dengan besar zakat 2,5 %-nya.
Termasuk dalam kategori ini adalah properti. Maka, orang yang membeli sebidang tanah, misalnya, kemudian menjualnya setelah beberapa hari atau beberapa bulan atau lebih, atau membeli perkebunan, dimana semua itu ditujukan untuk memperoleh keuntungan dengan dijual kembali, maka ada kewajiban zakatnya.
Termasuk dalam kategori ini pula adalah barang bergerak walaupun barang berat, seperti mobil dan equipments. Jika seseorang membeli hal ini kemudian ia menjualnya kembali untuk tujuan mencari laba, maka ia harus menghitung semua omsetnya setiap tahun lalu ia keluarkan zakatnya.
Bentuk zakatnya diberikan dalam bentuk sesuatu yang paling bermanfaat untuk fakir-miskin, seperti dirham (perak/rupiah) atau dinar (emas). Dalam konversi sekarang, maka yang termudah adalah dalam bentuk uang, baik logam maupun kertas.
Cara Menghitung Zakat Perdagangan
Dan yang sudah kita maklumi adalah bahwa produk jika kita beli lalu kita jual kembali, maka terkadang harganya naik atau malah turun. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menentukan zakat atas hal ini?
Jawabannya adalah sebagai berikut: Misalnya, seseorang membeli sebuah barang seharga Rp. 100 juta, kemudian ia menyimpannya selama 6 bulan, lalu berlalu hingga 1 tahun penuh. Bagaimana menghitung zakatnya? Maka, caranya adalah dengan cara kita mencari informasi harga barang tersebut saat ini. Kemudian, jika kita tahu harganya turun atau naik maka tentukanlah nilai zakat (2,5%-nya) dari harga saat ini.
Perdagangan ada Zakatnya ataukah Tidak?
Tidak diragukan lagi, bahwasannya perdagangan hari ini adalah mayoritas harta kekayaan manusia saat ini yang dengannya seharusnya terkumpul zakat dalam jumlah yang banyak. Mayoritas pedagang adalah berdagang dalam jenis perdagangan barang. Seperti: bisnis properti, bisnis kendaraan, bisnis sparepart kendaraan, bisnis peralatan listrik, bisnis perabotan rumah tangga danfashion, bisnis sembako, bisnis buku, dan yang lainnya.
Jika kita menyatakan tidak ada zakat atas hal ini, maka side effect manfaatnya akan sangat kecil dan kecil juga dana zakat yang bisa tersalur kepada fakir-miskin, sehingga mereka tidak memperoleh zakat kecuali zakat dari uang, hewan ternak, pertanian. Dan ini sangat kecil. Jikademikian, maka terjadilah kemadharatan, pembiaran terhadap keadaan fakir-miskin. Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bahwa barang dagangan ada kewajiban zakatnya.
Para ulama ummat ini telah ijma' (bersepakat) bahwasannya barang dagangan ada kewajiban zakatnya. Akan tetapi Syaikh Al-Albany telah menyelisihi ijma ulama ini, semoga Allah memaafkannya. Dan saya (ibn Jibrin -pent) tidak mengetahui ada ulama lain zaman dahulu yang sependirian dengan Al-Albany. Beliau sudah menjelaskan dalam sebagian ta'liq (komentar)-nya dengan mengatakan: Sesungguhnya barang dagangan tidak ada kewajiban zakatnya. Pedagang tidak memiliki kewajiban zakat apapun kecuali shadaqah, jika mau.
Maka, ungkapan Al-Albany ini menyelisihi ijma ulama. Yang menjadi sebab munculnya pandangan beliau demikian adalah karena beliau mengomentari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hasan dari Samurah: Kami mengeluarkan zakat dari segala sesuatu yang diperjualbelikan. Maka, tatkala diketahui bahwa hadits ini tidak shahih menurut persyaratan beliau, maka beliau menafikan adanya kewajiban zakat perdagangan. Seakan-akan beliau tidak menelaah hadits lain yang juga menjadi dalil wajibnya zakat perdagangan. Al-Albany berkata: Jika hadits ini ternyata tidak tsabit, maka tidak tsabit pula menetapkan hadits ini dalam masalah perdagangan, oleh karena itu tidak ada kewajiban zakat di dalamnya; maka siapa yang ingin bershadaqah maka silakan ia bershadaqah secara sunnah, namun jika tidak maka tidak mengapa. Inilah yang menjadikan Al-Albany menyelisihi ijma' ulama
Kemudian, Al-Albany pun akhirnya menyelisihi ayat Al-Qur'an yang sangat gamblang.
Allah berfirman:
Ambillah dari sebagian harta mereka zakat yang dengannya kalian membersihkan dan mensucikan mereka. Q.S. Al-Taubah: 103.
Bukankah barang dagangan adalah salah satu dari jeni harta yang paling banyak? Tidak diragukan lagi bahwa barang dagangan adalah salah satu jenis harta manusia yang paling banyak, saat ini ataupun dahulu kala. Dan Allah telah menyuruh kita untuk mengambil zakat darinya.
Demikian juga firman Allah:
Dan orang-orang yang di dalam hartanya ada haq yang sudah maklum, baik untuk peminta-minta maupun yang tidak meminta-minta. Q.S. Al-Dzariyat: 19.
Bukankah harta-harta mereka ini termasuk di dalamnya barang dagangan? Tidak disanksikan lagibahwa barang dagangan lebih utama untuk dimasukkan dalam kategori jenis harta kekayaan manusia. Dan jika kita menafikan kewajiban zakat atas barang dagangan, maka apa yang masih tersisa dari harta manusia?
Demikian juga Rasulullah ketika mengirim utusan untuk mengambil zakat dari para orang kaya.
Misalnya hadits dalam shahih Bukhari dari Abu Hurairah: Rasulullah mengirim Umar untukmengambil zakat penduduk Madinah. Maka tersebut di dalam hadits ini ada orang-orang yang menolak membayarnya, yaitu Ibn Jamil, Khalid ibn Walid, dan Al-Abbas ibn Abdil Muththalib. Mereka bertiga bukanlah pemilik pertanian. Maka, Rasulullah mengatakan: Tiada yang menghalangi ibn Jamil kecuali dahulunya ia adalah orang yang miskin lalu Allah jadikan ia kaya (Dan pada umumnya, sebab seseorang menjadi kaya adalah karena ia ikut berdagang), adapun Khalid maka kalian akan mendhaliminya, sungguh ia sudah menyingsingkan lengan bajunya dan mendarmabaktikan dirinya untuk jihad fii sabilillah, adapun Abbas (paman Rasululah sendiri -pent), maka ia adalah atas tanggunganku. Ketiga sahabat ini tidak memiliki kekayaan selain dari perdagangan, kecuali Khalid ibn Walid yang diamanahi harta waqaf untuk kebutuhan jihad melawan orang musyrik sehingga tidak memiliki apa-apa untuk dizakati. Maka Khalid pun menolak dari membayar zakat.
Adapun Abbas, ia adalah seorang pedagang, dan ketika ia ikut hijrah ke Madinah ia tidak memiliki apa-apa kecuali barang dagangan. Ia tinggalkan hewan ternaknya, perkebunannya, dan tidak ada di sisinya kecuali barang dagangan. Oleh karena itu, ini menjadi dalil bahwa Rasulullah pun mengutus Umar untuk mengambil zakat dari para pedagang. Bukankah ini juga dalil wajibnya zakat perdagangan? Akan tetapi, hal ini terlewat dari penelaahan Syaikh Al-Albany --semoga Allah memaafkannya—karena ia menyatakan dengan yakin bahwa tidak ada zakat atas barang dagangan. Pernyataan Al-Albany ini muncul ketika beliau mentakhrij hadits yang ada dalam kitab Fiqh Sunnah Karangan Syaikh Sayyid Sabiq. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ibn Umar dimana Ibnu Umar berkata: Tidak ada zakat atas barang kecuali apa-apa yang diperdagangkan.
Kesimpulan
Walhasil, sesungguhnya ijma (kesepakatan ulama) ummat ini dari berbagai madzhab adalah yang sudah tetap/kokoh yang menyatakan bahwa barang dagangan ada kewajiban zakatnya, yaitu untuk segala sesuatu yang diperjualbelikan. Andaipun hadits Samurah tidak shahih, maka ada hadits lainnya yang shahih, yaitu dari praktik sahabat, hatta Umar ketika menjadi khalifah dan lewat orang di depannya membawa beberapa lembar kulit. Maka Umar menberhentikannya dan berkata: Sudahkah kau tunaikan zakat atas kulit ini? Maka ia berkata: Aku tidak punya apa-apa kecuali kulit-kulit ini dan ini pun tidak mencapai nishab. Kulit-kulit tersebut adalah barang yang sedianya ia pergi untuk menjualnya dan seandainya sudah mencapai nishab maka tentu Umar sudah mengambil zakat atasnya. Ini juga menjadi dalil atas sesungguhnya mereka (para sahabat) mengambil zakat dari segala sesuatu yang diperjualbelikan.***
Penerjemah:
Abu Valech Yanhouth
Catatan:
Selain Al-Albany, ada ulama lain yang menyatakan tidak ada zakat perdagangan yaitu Imam Al-Syaukany. Beliau menyatakan demikian karena semua hadits yang berkaitan dengan hal ini beliau nilai tidak shahih. Lihat Kitab Al-Darary Al-Madhiyah, Imam Syaukany.
Syaikh Fauzan pun dalam fatwanya menyatakan bahwa semua hadits tentang topik ini adalah tidak shahih, namun beliau tetap menyatakan ada kewajiban zakat atas barang dagangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar