Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Minggu, 11 Juli 2010

Memahami Tuhan dengan Akal


Tak terhitung ayat Al Quran yg memerintahkan manusia berpikir. Al Quran memerintahkan manusia memikirkan peristiwa2 alam semesta, keunikan2 dan keteraturannya, maka dari sana mereka akan mengetahui keagungan tuhan. Alloh memerintahkan hamba-Nya memikirkan alam raya untuk memahami keberadaan, keesaan, dan keagungan-Nya sebagaimana firman-Nya:



"sesungguhnya dlm penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yg berlayar di laut membawa apa yg berguna bagi manusia, dan apa yg Alloh turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yg dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Alloh) bagi kaum yg memikirkan" (Q.S. Al Baqarah: 164)

Alam semesta merupakan wilayah kerja akal untuk memahami tuhan. Al Ghazali menjelaskan manusia tidak mungkin dapat mengetahui hakikat dzat dan sifat tuhan serta "teknis pelakasanaan" sifat2 Nya itu. Jika manusia memaksakan diri mengungkap hakikat aspek-aspek itu, maka akan menyebabkan manusia masuk ke dalam jurang kesesatan bahkan kekafiran.
Orang2 ateis yg tdk mempercayai adanya tuhan beranggapan, bagaimana mungkin kita dapat percaya bahwa sesuatu yg tdk dapat kita lihat menciptakan sesuatu yg tampak oleh kita? Dan mengapa pula seseorang harus percaya bahwa alam raya atau dunia materi ini menjadi bukti akan adanya yg menciptakannya? Karena mungkin saja materi itu akan ada tanpa adanya pencipta (menurut teori evolusi, alam semesta ini terjadi secara kebetulan).Pertanyaan pertama di jwb oleh Al ghozali. Manusia, katanya, tidak mungkin dapat mengetahui hakikat dzat dan sifat tuhan karena begitu agung nya Dia. Al ghozali mengibaratkan kelemahan manusia memikirkan dzat tuhan dengan ketidakmampuan manusia memandang scara lngsung sinar matahari. Kita dapat mengetahui keberadaan matahari karena pengaruh sinarnya yg menerpa bumi. Begitu pula dgn tuhan, kita dapat mengetahui keberadaan dan keesaan tuhan melalui ciptaan-Nya berupa alam raya ini.
Bukti lainnya, secara akal sesuatu yg tak terlihat bukan berarti menunjukkan bhwa sesuatu itu tidak ada. Kita percaya akan adanya daya listrik walaupun kita tak dapat melihatnya. Kita percaya karena produk yg dihasilkan dpt kita lihat dan mengerti, seperti chaya lampu. Bila hal yg"kecil" ini saja sudah dapat membuat kita percaya akan adanya listrik, maka adanya jagat raya ini sudah seharus nya membuat kita percya akan adanya Tuhan.
Logika sebuah timbangan bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan kedua. Ketika kita melihat sebuah wadah timbangan terangkat sementara wadah yg sebuah lagi ke bawah, maka kita yakin pasti ada yg menyebabkan terangkat. Boleh jadi karna ada benda yg berada di wadah yg kedua atau karena angin kencang yg menerpanya. Segala ssuatu trjadi pasti ada sebabnya. Demikian pula alam ini terjadi karena ada yg menciptakan nya. Dari sini semuanya sudah jelas, kecuali satu. Bila semua ada yg memulai, maka dari mana tuhan itu menjadi ada. Tentu, tuhan tidak dapat diciptakan oleh sesuatu yg semula tidak ada. Bila demikian adanya, maka tuhan akan diadakan, dan begitu seterusnya takkan pernah habis (tasalsul).
Al Quran sendiri telah memberikan contoh yg baik mengenai penggunaan nalar logis untuk membantah keyakinan yg menyimpang seperti kisah nabi ibrahim a.s. yg menghancurkan berhala2 raja namrudz. Tatkala kecurigaan mengarah kepadanya mengenai siapa yg menghancurkan berhala2 di kuil, ibrahim a.s. Menjawab, "sebenarnya patung yg besar itulah yg melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu jika mereka dapat berbicara".
Kaumnya menyangkal, tdk mungkin berhala2 itu yg melakukannya dan lbih mustahil lagi menanyakan kepada berhala yg paling besar itu. "sesungguh nya engkau(ibrahim) tlah mengetahui bhwa berhala2 itu tdk dapat bicara," sangkal mereka.
Jawaban ini menjadi senjata empuk ibrahim a.s. Untuk membongkar kesesatan kaumnya. "kalau bgitu, mengapa kalian sembah sesuatu yg tdk dapat memberi manfaat dan tdk pula memberi madharat kpada kalian sdikit pun? Apakah kalian tdk berpikir?"
Logika2 yg diberikan ibrahim a.s. Tlah menyadarkan sebagian kaumnya dari kebodohannya slama ini yg menganggap patung2 yg mereka sembah sjak dahulu tuhan2 mereka.
Penggunaan nalar juga dicontohkan Al Quran untuk membantah keyakinan penganut agama politeis (penyembah bnyak tuhan) sperti ayat ini:

"sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan2 selain Alloh, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka, Mahasuci Alloh yg mempunyai 'Arsy daripada apa yg mereka sifatkan." (Q.S. Al Anbiyaa' :22)

Dorongan Al Quran inilah yg menggerakkan pemuka2 ulama kalam seperti abu hasan al asy'ary, abu bakar al-bâqilâni, ibnu al arabi, serta as-sanusi sendiri berpendapat takid tidak sah. Untuk menemukan tuhan, menurut mereka manusia harus berpikir. Seseorang belum disebut beriman bila ia tdk memikirkan sendiri masalah2 ketuhanan. Lebih jauh ibnu al arabi berpendapat, Al Quran dan hadis tdk boleh menjadi jalan untuk mengetahui tuhan. Cara untuk mengetahui tuhan menurutnya hanyalah berpikir( nadhar).
Al ghozali tlah menjelaskan bhwa akal tdk mampu menyingkap hakikat dzat tuhan dan hakikat sifat2 Nya. Pertanyaan nya, apa bukti akal tdk mampu menyingkap hakikat dzat dan sifat2 Alloh yg maha agung? Apa bukti akal tdk mampu menentukan hakikat baik dan buruk dan kebenaran sejati?.
Jawaban untuk pertanyaan pertama tlah diberikan al ghozali di muka. Jawabn untuk prtanyaan kedua, perbedaan yg terjadi di kalangan manusia kala menentukan baik dan buruk serta benar dan salah cukup menjadi bukti. Sekedar contoh, suku2 pedalaman papua menganggap menggunakan koteka adalah suatu kebaikan dan kesopanan, sedang kita menganggap kebaikan dan kesopanan adlah menutup aurat. Hal ini membuktikan bhwa akal tdk mampu menentukan hakikat baik dan buruk. Kalau mampu, tentu semua sepakat tentang nilai2 moral yg harus depegang. Kalau akal manusia mampu menemukan kebenaran yg sejati, mengapa pendapat dalam ilmu pengetahuan berbeda2?
Bila kemampuan akal manusia terbatas, maka mau tdk mau memerlukan wahyu. Wahyu berfungsi membimbing akal manusia agar tdk menyimpang dari jalan yg bnr. Kebutuhan manusia akan wahyu kelanjutannya juga membutuhkan figur yg menyampaikan wahyu itu. Seorang penyampai wahyu itu mestilah seorang yg memiliki sifat2 sempurna ( sidiq, amanah,fatonah, tabligh) agar apa yg disampaikannya itu bnar2 dari tuhannya dan bukanlah buatannya. Premis itu juga meniscayakan bhwa sang penyampai harus seorang yg memilki sfat trjaga dari kesalahan (ma'sum).
Sebab, bila seorang rosul itu melakukan kesalahan, maka umat nya pun akan trjerumus pda kesalahan.
Pembicaraan tentang tuhan dan sifat2nya dan pembicaraan tntang kenabian merupakan objek study ilmu akidah. Pembahasan terahir kita dlm dalam masalah ini menghasilkan kesimpulan bhwa akidah islam bersumber dari 3 hal, yakni al quran, sunnah, dan akal yg di gunakan scara berurutan, maksud nya mendahulukan pemahan nash dari pada pemahaman akal. Jika manusia mendahulukan akal dri pada nash, inilah yg menyebabkan manusia tersesat. Namun, perlu juga ditekankan, bila hanya bertumpu pada pemahaman nash dan mengesampingkan peranan akal, maka akan menghasilkan manusia2 yg buta dlm menjalankan perintah agama. 

penulis : Abal Fatum

Tidak ada komentar: