Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Senin, 01 Maret 2010

Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah [5]

Prinsip Kedua

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.

“Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)

“ ……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)

“Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)

Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).

Prinsip Ketiga

Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).

Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.

Prinsip Keempat

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).

Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya,

“Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).

Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

Prinsip Keenam

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).

Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).

Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.

Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

Prinsip Ketujuh

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.

“Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).

Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.

“ Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)

Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)

Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).

Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).

Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.

“Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).

“Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)

Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.

Prinsip Kedelapan

Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.

Prinsip Kesembilan

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya,

“Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).

Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman,

“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.

Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Tidak ada komentar: