Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawab” (QS. Al Isra’:36).
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan sebagaimana penuturan Al ‘Aufi, “Janganlah engkau menuduh seseorang dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentang kebenarannya”.
Sedangkan Muhammad bin Al Hanafiyah mencontohkan bahwa yang dimaksud adalah larangan melakukan persaksian palsu.
Qotadah berkata, “Janganlah engkau mengatakan ‘Aku melihat demikian’ padahal engkau tidak melihatnya, ‘Aku mendengar demikian’ padahal engkau tidak mendengarnya, ‘Aku tahu demikian’ padahal engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Allah akan menanyaimu tentang semua itu”.
Kesimpulan dari uraian di atas, menurut Ibnu Katsir, adalah sesungguhnya Allah melarang berkata-kata tanpa dasar ilmu namun sekedar praduga tanpa dasar…. Semua hal itu yaitu mendengar, melihat dan hati akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat nanti. Seorang hamba akan ditanya tentang tiga hal tadi dan apa yang dilakukan oleh ketiganya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim hal 285, Syamilah)
Abu ‘Abdillah yaitu Hudzaifah bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Apa yang pernah kau dengar dari
Rasulullah tentang katanya?” Ibnu Mas’ud berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek kendaraan yang ditunggangi seseorang adalah perkataannya, perkataannya.” (HR. Abu Daud no 4972 dan dinilai shahih oleh Al Albani).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya termasuk kedustaan yang paling dusta adalah seorang yang mengaku-aku bermimpi melihat sesuatu padahal tidak” (HR. Buhari no 6636).
Fira adalah bentuk jamak dari firyah yang bermakna kedustaan besar yang menyebabkan orang yang mendengarnya terheran-heran.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengaku-aku bermimpi padahal tidak maka (di akherat nanti) dia akan dipaksa untuk mengikat dua butir gandum dan dia disiksa karena hal itu.” (HR. Ibnu Majah no 3916 dan dinilai shahih oleh Al Albani)
Dari Sahl bin Saad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bisa menjamin untuk menjaga lisan yang ada di antara dua tulang rahangnya dan kemaluan yang ada di antara kedua kakinya, maka aku jamin dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no 6109).
Mengingat hadits di atas maka seorang muslim memiliki kewajiban untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal yang Allah haramkan dalam rangka mencari ridha Allah dan karena ingin mendaptkan pahala. Sungguh itu adalah suatu hal yang mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan.
Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang muslim untuk memberikan perhatian yang tinggi terhadap lisan dengan menjauhi ucapan dusta, menggunjing, adu domba dan ungkapan seronok.
Intinya menjaga lisan dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan rasulNya.
Terkadang ada satu kata-kata yang menyebabkan kehancuran dunia dan akherat seseorang. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan suatu kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata tersebut menyebabkan dia terjerumus (ke dalam neraka) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke bintang kejora” (HR Ahmad no 9209 dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Meski dalam kesempatan lain, kata-kata yang kita ucapkan bisa menjadi sebab kebahagiaan.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah ridhai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab Allah tinggikan kedudukan orang tersebut beberapa derajat. Sebaliknya, sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah murkai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab terjerumus ke dalam neraka” (HR. Bukhari no 6113).
Dari Abu Sa’id Al Khudri secara marfu’ (baca:sabda Nabi), “Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng” (HR. Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).
Dalam hadits ini Nabi menceritakan bahwa seluruh anggota badan itu tunduk dan merasa hina di hadapan lisan serta menegaskan ketaatannya kepada lisan. Jika lisan bersikap lurus maka anggota badan yang lain tentu bersikap lurus. Namun jika lisan menyelisihi aturan dan menyimpang dari jalan yang lurus maka anggota badan yang lain akan ikut-ikutan.
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika dia baik maka seluruh badan akan baik. Jika dia rusak maka seluruh badan akan rusak. Itulah hati."HR. Bukhari no 52 dan Muslim no 1599 dari An Nu’man bin Basyir).
Kedua hadits di atas tidaklah bertentangan sebagaimana penjelasan Ath Thibi. Beliau mengatakan,“Lisan adalah penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahiriah. Maka jika dikatakan bahwa kondisi lisan itu menentukan kondisi anggota badan yang lain maka itu adalah sekedar ungkapan majaz. Sebagaimana kalimat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien’. Al Maidani mengatakan, ‘Seseorang itu ditentukan oleh kedua anggota badannya yang mungil’. Yang dimaksudkan adalah hati dan lisan. Artinya seorang itu akan mulia dan bermartabat dengan hati dan lisannya” (Tuhfah al Ahwadzi 6/197, Syamilah).
oleh : Abdurahmantoyib Fastabikhul Khairat
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawab” (QS. Al Isra’:36).
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan sebagaimana penuturan Al ‘Aufi, “Janganlah engkau menuduh seseorang dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentang kebenarannya”.
Sedangkan Muhammad bin Al Hanafiyah mencontohkan bahwa yang dimaksud adalah larangan melakukan persaksian palsu.
Qotadah berkata, “Janganlah engkau mengatakan ‘Aku melihat demikian’ padahal engkau tidak melihatnya, ‘Aku mendengar demikian’ padahal engkau tidak mendengarnya, ‘Aku tahu demikian’ padahal engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Allah akan menanyaimu tentang semua itu”.
Kesimpulan dari uraian di atas, menurut Ibnu Katsir, adalah sesungguhnya Allah melarang berkata-kata tanpa dasar ilmu namun sekedar praduga tanpa dasar…. Semua hal itu yaitu mendengar, melihat dan hati akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat nanti. Seorang hamba akan ditanya tentang tiga hal tadi dan apa yang dilakukan oleh ketiganya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim hal 285, Syamilah)
Abu ‘Abdillah yaitu Hudzaifah bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Apa yang pernah kau dengar dari
Rasulullah tentang katanya?” Ibnu Mas’ud berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek kendaraan yang ditunggangi seseorang adalah perkataannya, perkataannya.” (HR. Abu Daud no 4972 dan dinilai shahih oleh Al Albani).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya termasuk kedustaan yang paling dusta adalah seorang yang mengaku-aku bermimpi melihat sesuatu padahal tidak” (HR. Buhari no 6636).
Fira adalah bentuk jamak dari firyah yang bermakna kedustaan besar yang menyebabkan orang yang mendengarnya terheran-heran.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengaku-aku bermimpi padahal tidak maka (di akherat nanti) dia akan dipaksa untuk mengikat dua butir gandum dan dia disiksa karena hal itu.” (HR. Ibnu Majah no 3916 dan dinilai shahih oleh Al Albani)
Dari Sahl bin Saad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bisa menjamin untuk menjaga lisan yang ada di antara dua tulang rahangnya dan kemaluan yang ada di antara kedua kakinya, maka aku jamin dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no 6109).
Mengingat hadits di atas maka seorang muslim memiliki kewajiban untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal yang Allah haramkan dalam rangka mencari ridha Allah dan karena ingin mendaptkan pahala. Sungguh itu adalah suatu hal yang mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan.
Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang muslim untuk memberikan perhatian yang tinggi terhadap lisan dengan menjauhi ucapan dusta, menggunjing, adu domba dan ungkapan seronok.
Intinya menjaga lisan dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan rasulNya.
Terkadang ada satu kata-kata yang menyebabkan kehancuran dunia dan akherat seseorang. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan suatu kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata tersebut menyebabkan dia terjerumus (ke dalam neraka) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke bintang kejora” (HR Ahmad no 9209 dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Meski dalam kesempatan lain, kata-kata yang kita ucapkan bisa menjadi sebab kebahagiaan.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah ridhai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab Allah tinggikan kedudukan orang tersebut beberapa derajat. Sebaliknya, sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah murkai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab terjerumus ke dalam neraka” (HR. Bukhari no 6113).
Dari Abu Sa’id Al Khudri secara marfu’ (baca:sabda Nabi), “Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng” (HR. Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).
Dalam hadits ini Nabi menceritakan bahwa seluruh anggota badan itu tunduk dan merasa hina di hadapan lisan serta menegaskan ketaatannya kepada lisan. Jika lisan bersikap lurus maka anggota badan yang lain tentu bersikap lurus. Namun jika lisan menyelisihi aturan dan menyimpang dari jalan yang lurus maka anggota badan yang lain akan ikut-ikutan.
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika dia baik maka seluruh badan akan baik. Jika dia rusak maka seluruh badan akan rusak. Itulah hati."HR. Bukhari no 52 dan Muslim no 1599 dari An Nu’man bin Basyir).
Kedua hadits di atas tidaklah bertentangan sebagaimana penjelasan Ath Thibi. Beliau mengatakan,“Lisan adalah penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahiriah. Maka jika dikatakan bahwa kondisi lisan itu menentukan kondisi anggota badan yang lain maka itu adalah sekedar ungkapan majaz. Sebagaimana kalimat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien’. Al Maidani mengatakan, ‘Seseorang itu ditentukan oleh kedua anggota badannya yang mungil’. Yang dimaksudkan adalah hati dan lisan. Artinya seorang itu akan mulia dan bermartabat dengan hati dan lisannya” (Tuhfah al Ahwadzi 6/197, Syamilah).
oleh : Abdurahmantoyib Fastabikhul Khairat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar