Jalan terjal dilalui Salman dalam meruntut jejak Tuhannya. Terpisah dari orang yang dicintai, dirampok, dan menjadi budak. Lalu turunlah rahmat Allah sebagai hadiah atas kesabarannya.
Salman al-Farisi adalah sahabat Rasul yang mahir mengatur strategi perang. Ia terkenal cerdas, seperti sahabat Nabi lain yang berasal dari Persia. Ini dibuktikan saat terjadi Perang Khandaq. Menghadapi pasukan musuh yang berkoalisi, umat Islam berhasil meraih kemenangan. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak-poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman disertai pertolongan Allah yang mendatangkan angin topan. Musuh-musuh agama Allah itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa karena kalah. Sejak itu nama Salman makin bersinar di kalangan sahabat. Pemuda dengan rambut panjang dan tubuh kekar itu memiliki kecerdasan akal.
Salman berasal dari Isfahan, tepatnya sebuah tempat yang bernama Jai di Persia. Ia dibesarkan dari lingkungan keluarga berkecukupan. Seluruh keperluan hidupnya terpenuhi. Ia anak kesayangan orang tuanya. Bapaknya adalah tokoh berpengaruh dalam kabilahnya, yaitu sebuah masyarakat yang menyembah dan menjadikan api sebagai Tuhan alias Majusi atau Zoroaster. Salman termasuk penyembah api yang setia. Sebagian hidupnya ia sedekahkan bagi kemuliaan agama leluhur. Merelakan dan menyerahkan dirinya menjaga api untuk tetap menyala.
Sebagai orang kaya dan terhormat, orang tua Salman memiliki banyak tanah. Bahkan karena banyak lahan yang dimiliki, ayah Salman tidak mungkin memeriksa tanahnya satu per satu. Kerap ia meminta Salman melakukan pekerjaan mengontrol sawah dan perkebunan itu.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju kebun, Salman melewati sebuah gereja yang padat dengan
jamaah. Mereka tengah khusyuk melakukan ibadah. Heran dan kagum tumbuh dalam hati Salman begitu menyaksikan cara sembahyang yang belum pernah dilihatnya. Cara beribadah lain yang membuat hati Salman penasaran. Ia mengikuti kemauan kakinya melangkah untuk masuk ke dalam gereja tersebut. Makin dalam ia melangkah ke dalam gereja, tiba-tiba hatinya berbisik, menyatakan, cara sembahyang yang dilihatnya jauh lebih baik dari cara masyarakatnya selama ini.
Sehari lamanya Salman memperhatikan prosesi ibadah di gereja itu hingga lupa akan tugas yang diberikan sang bapak. Ia bahkan lupa pulang ke rumah sehingga orang tuanya mengutus pesuruh untuk menjemput. Ketika kembali ke rumah gundah hatinya makin kuat terutama keraguan yang muncul dari lubuk hatinya setelah ia menyaksikan cara beribadah agama yang berasal dari Syuriah itu. Sesampainya di rumah, bukan keadaan kebun yang dilaporkan Salman kepada sang bapak. Ia malah bercerita tentang pengalaman yang dijumpainya di gereja. Mendiskusikan dengan bapaknya, bahkan memuji agama baru itu di depan orang tuanya sehingga tak tahan. Ia lantas merantai dan mengurung Salman di sebuah gudang.
Perlakuan yang diterima membuat Salman meyakini kebenaran agama Nasrani terutama setelah sang bapak berbuat kasar karena kalah dalam diskusi. Salman lantas mengirim berita kepada jemaah pemeluk agama dari Syuriah itu. Ia menyatakan, dirinya telah menyembah Allah, seperti mereka. Ia juga meminta agar memberitahukan kepadanya bila ada rombongan Nasrani dari Syuriah yang datang agar bisa turut serta dengan mereka bila hendak kembali ke Syuriah suatu hari nanti. Di luar dugaan, permintaan itu dipenuhi. Suatu hari datang kabar dari seorang pembantu Salman yang masih setia. Ia mengatakan, serombongan orang Syuriah akan kembali ke negara mereka. Berita itu sontak membuat hati Salman berbunga-bunga. Ia sangat gembira menerima berita itu. Angannya menerawang, membayangkan betapa ia bakal menjalani perjalanan yang menyenangkan. Dengan sekuat tenaga diputusnya rantai yang membelenggu. Ia mendobrak gudang tempat ia dipasung. Lantas melarikan diri ke Syuriah bersama rombongan yang hendak menuju ke negara asal agama Nasrani itu. Selama menempuh perjalanan, semua hal yang terkait dengan agama Nasrani ia tanyakan kepada rombongan, satu per satu, dengan perasaan yang bahagia.
Sampai di sana, Salman menanyakan orang yang ahli dan tekun menjalankan agama mereka. “Orang itu adalah uskup dan pemimpin gereja,” kata mereka memberi jawab. Salman lalu datang kepadanya dan menceritakan kisah yang sudah dijalani, lantas menyerahkan diri dan mengabdi kepada uskup, sang pemimpin agama itu. Setelah beberapa saat, Salman sadar akan perilaku buruk uskup itu. Meski sering berkhotbah, ia selalu menipu umatnya. Uskup itu mengumpulkan harta dengan alasan untuk amal buat dibagikan kepada orang miskin. Tetapi setelah harta itu terkumpul, sang uskup malah menyimpan untuk kepentingan diri sendiri. Hal itu terjadi berulang kali dan diketahui Salman secara pasti. Penipuan tersebut terjadi berkali-kali, terus-menerus, hingga sang uskup meninggal.
Sepeninggal uskup, masyarakat mengangkat pemimpin gereja yang baru. Ia orang yang baik dalam berperilaku. Saleh menjalankan perintah agama. Selalu tepat waktu melaksanakan peribadatan. Perilaku ini membuat Salman kagum. Secara pelan tumbuh rasa cinta dan keikhlasan membantu uskup itu mengembangkan agama Nasrani. Terutama karena yang dilakukan dan yang dikatakan uskup sama benar dan baiknya. Sehingga ia rela melayani kebutuhan uskup itu setiap hari dengan ikhlas. Bertahun-tahun Salman melayaninya hingga datang waktu uskup itu menjelang ajalnya.
Sebelum datang kematiannya, Salman menemuinya, “Ke mana sebaiknya saya pergi, untuk mengabdi sekaligus belajar agama kepada orang seperti Anda?” tanya Salman dengan suara parau. Uskup itu menjawab, “Aku tidak mengerti ke mana seharusnya kamu pergi, anakku. Tetapi sepengetahuanku, tidak ada orang yang berperilaku sepertiku, kecuali seorang yang hidup dan tinggal di Mosul.”
Salman akhirnya berangkat ke Mosul, wilayah Irak. Sesampainya di sana ia ceritakan kisah perjalanan hidupnya. Ia mengabdi kepada orang yang ditunjukkan uskup sebelumnya sampai datang saat ajal hendak menjemput orang itu. Sebelum uskup itu meninggal Salman telah bertanya, ke mana ia harus pergi sepeninggalnya nanti. Orang itu berkata agar Salman pergi ke Amurian di Byzantium. Sesampainya di sana, Salman segera menemui orang yang ditujunya. Hingga ia tinggal, mengabdi, sembari beternak lembu dan domba.
Ketika dia harus meninggalkan Byzantium karena ajal telah mendekati bapak angkatnya, Salman gundah. Ia tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya, ayah angkat itu pun berkata, “Hai anakku, aku tidak tahu siapa orang yang sejalan denganku sehingga aku tidak tahu ke mana kau harus pergi. Tetapi kau sudah dekat dengan masa di mana akan datang nabi pengikut Nabi Ibrahim. Ia akan hijrah ke tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Ikutilah dia. Karena dia mudah dikenali. Ia tidak makan sedekah, tetapi ia mau menerima hadiah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda-tanda kenabian.”
Pada hari berikutnya, secara kebetulan lewat serombongan orang yang menuju ke Jariah Arab. “Aku berikan domba dan lembu ini pada kalian jika kalian mau membawaku ke negeri asal kalian,” kata Salman kepada pemimpin rombongan. Mereka setuju membawa Salman turut serta. Sehingga sampailah Salman di Wadi Al-Quro.
Tetapi hati Salman sedih. Ia merasa telah ditipu. Sebab, ternyata mereka telah menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak belian. Begitupun Salman masih berharap. Ia yakin, pesan yang disampaikan bapak angkat yang terakhir bakal menjadi kenyataan. Karena dia melihat banyak pohon kurma tumbuh di sekitarnya. Tetapi impian itu ternyata masih jauh dari kenyataan. Karena ia tetap tinggal di Wadi Al-Quro, bersama orang Yahudi yang membelinya. Setiap hari ia harus bekerja sebagai budak. Berbagai pekerjaan berat harus dia lakukan. Sekali saja membantah majikan, tangan, cambuk, atau caci maki, pasti akan diterimanya. Itu berjalan terus-menerus.
Seperti sudah digariskan, beberapa lama setelah itu, Salman dijual pemiliknya. Kali ini ia dibeli orang dari Bani Quraidhah yang tinggal di Medinah. Suatu hari, ketika dia sedang memetik kurma, datang sepupu tuannya sambil terbirit-birit. Ia mengabarkan, “Aku lihat dengan mataku sendiri, banyak orang berkerumun mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.” Secara tidak sadar tubuh Salman bergetar setelah mendengar berita itu. Ia bahkan nyaris terjatuh menimpa tuannya yang ada di bawah. Pada malam harinya, Salman segera mengumpulkan barang-barang yang ia punya. Lantas pergi ke Quba, pinggiran kota Yastrib, untuk menemui laki-laki yang disebut nabi itu.
“Saudara-saudara adalah pendatang. Saya yakin, Tuan-tuan memerlukan makanan. Terima dan makanlah sedekah saya ini,” kata Salman. Seseorang dari mereka lantas menerima makanan itu.
Lalu ia menyerahkan makanan sedekah itu kepada para sahabat. Sementara Nabi sendiri tidak ikut menikmatinya. Keesokan harinya Salman kembali menemui rombongan itu. “Saudaraku, semalam saya melihat Anda tidak mau makan sedekah yang aku berikan, terimalah ini makanan dariku sebagai hadiah buat Anda,” kata Salman dengan hati-hati. Tak lama berselang, orang yang semalam menerima itu kembali menerima bingkisan yang dibawa Salman. “Atas nama Allah makanlah hadiah ini,” kata sipenerima sembari ikut menikmati makanan yang diterimanya.
Pada hari yang lain Salman kembali datang. Dillihatnya, orang yang sudah dua kali menerima makanannya mengenakan dua lembar kain dipundak. Sembari membungkuk, Salman mengucap salam kepadanya. Tanpa dinyana, orang itu malah menyingkapkan kain penutup itu, sehingga terlihat tanda-tanda kenabian, seperti yang disampaikan pendeta Nasrani itu. Lutut Salman lantas bergetar hebat. Ia lantas semakin mendekat ke arah Rasulullah, menangis, seraya mencium tangannya. Menceritakan semua kisah dan kejadian yang telah dia alami. Seketika itu ia menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Salman al-Farisi adalah sahabat Rasul yang mahir mengatur strategi perang. Ia terkenal cerdas, seperti sahabat Nabi lain yang berasal dari Persia. Ini dibuktikan saat terjadi Perang Khandaq. Menghadapi pasukan musuh yang berkoalisi, umat Islam berhasil meraih kemenangan. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak-poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman disertai pertolongan Allah yang mendatangkan angin topan. Musuh-musuh agama Allah itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa karena kalah. Sejak itu nama Salman makin bersinar di kalangan sahabat. Pemuda dengan rambut panjang dan tubuh kekar itu memiliki kecerdasan akal.
Salman berasal dari Isfahan, tepatnya sebuah tempat yang bernama Jai di Persia. Ia dibesarkan dari lingkungan keluarga berkecukupan. Seluruh keperluan hidupnya terpenuhi. Ia anak kesayangan orang tuanya. Bapaknya adalah tokoh berpengaruh dalam kabilahnya, yaitu sebuah masyarakat yang menyembah dan menjadikan api sebagai Tuhan alias Majusi atau Zoroaster. Salman termasuk penyembah api yang setia. Sebagian hidupnya ia sedekahkan bagi kemuliaan agama leluhur. Merelakan dan menyerahkan dirinya menjaga api untuk tetap menyala.
Sebagai orang kaya dan terhormat, orang tua Salman memiliki banyak tanah. Bahkan karena banyak lahan yang dimiliki, ayah Salman tidak mungkin memeriksa tanahnya satu per satu. Kerap ia meminta Salman melakukan pekerjaan mengontrol sawah dan perkebunan itu.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju kebun, Salman melewati sebuah gereja yang padat dengan
jamaah. Mereka tengah khusyuk melakukan ibadah. Heran dan kagum tumbuh dalam hati Salman begitu menyaksikan cara sembahyang yang belum pernah dilihatnya. Cara beribadah lain yang membuat hati Salman penasaran. Ia mengikuti kemauan kakinya melangkah untuk masuk ke dalam gereja tersebut. Makin dalam ia melangkah ke dalam gereja, tiba-tiba hatinya berbisik, menyatakan, cara sembahyang yang dilihatnya jauh lebih baik dari cara masyarakatnya selama ini.
Sehari lamanya Salman memperhatikan prosesi ibadah di gereja itu hingga lupa akan tugas yang diberikan sang bapak. Ia bahkan lupa pulang ke rumah sehingga orang tuanya mengutus pesuruh untuk menjemput. Ketika kembali ke rumah gundah hatinya makin kuat terutama keraguan yang muncul dari lubuk hatinya setelah ia menyaksikan cara beribadah agama yang berasal dari Syuriah itu. Sesampainya di rumah, bukan keadaan kebun yang dilaporkan Salman kepada sang bapak. Ia malah bercerita tentang pengalaman yang dijumpainya di gereja. Mendiskusikan dengan bapaknya, bahkan memuji agama baru itu di depan orang tuanya sehingga tak tahan. Ia lantas merantai dan mengurung Salman di sebuah gudang.
Perlakuan yang diterima membuat Salman meyakini kebenaran agama Nasrani terutama setelah sang bapak berbuat kasar karena kalah dalam diskusi. Salman lantas mengirim berita kepada jemaah pemeluk agama dari Syuriah itu. Ia menyatakan, dirinya telah menyembah Allah, seperti mereka. Ia juga meminta agar memberitahukan kepadanya bila ada rombongan Nasrani dari Syuriah yang datang agar bisa turut serta dengan mereka bila hendak kembali ke Syuriah suatu hari nanti. Di luar dugaan, permintaan itu dipenuhi. Suatu hari datang kabar dari seorang pembantu Salman yang masih setia. Ia mengatakan, serombongan orang Syuriah akan kembali ke negara mereka. Berita itu sontak membuat hati Salman berbunga-bunga. Ia sangat gembira menerima berita itu. Angannya menerawang, membayangkan betapa ia bakal menjalani perjalanan yang menyenangkan. Dengan sekuat tenaga diputusnya rantai yang membelenggu. Ia mendobrak gudang tempat ia dipasung. Lantas melarikan diri ke Syuriah bersama rombongan yang hendak menuju ke negara asal agama Nasrani itu. Selama menempuh perjalanan, semua hal yang terkait dengan agama Nasrani ia tanyakan kepada rombongan, satu per satu, dengan perasaan yang bahagia.
Sampai di sana, Salman menanyakan orang yang ahli dan tekun menjalankan agama mereka. “Orang itu adalah uskup dan pemimpin gereja,” kata mereka memberi jawab. Salman lalu datang kepadanya dan menceritakan kisah yang sudah dijalani, lantas menyerahkan diri dan mengabdi kepada uskup, sang pemimpin agama itu. Setelah beberapa saat, Salman sadar akan perilaku buruk uskup itu. Meski sering berkhotbah, ia selalu menipu umatnya. Uskup itu mengumpulkan harta dengan alasan untuk amal buat dibagikan kepada orang miskin. Tetapi setelah harta itu terkumpul, sang uskup malah menyimpan untuk kepentingan diri sendiri. Hal itu terjadi berulang kali dan diketahui Salman secara pasti. Penipuan tersebut terjadi berkali-kali, terus-menerus, hingga sang uskup meninggal.
Sepeninggal uskup, masyarakat mengangkat pemimpin gereja yang baru. Ia orang yang baik dalam berperilaku. Saleh menjalankan perintah agama. Selalu tepat waktu melaksanakan peribadatan. Perilaku ini membuat Salman kagum. Secara pelan tumbuh rasa cinta dan keikhlasan membantu uskup itu mengembangkan agama Nasrani. Terutama karena yang dilakukan dan yang dikatakan uskup sama benar dan baiknya. Sehingga ia rela melayani kebutuhan uskup itu setiap hari dengan ikhlas. Bertahun-tahun Salman melayaninya hingga datang waktu uskup itu menjelang ajalnya.
Sebelum datang kematiannya, Salman menemuinya, “Ke mana sebaiknya saya pergi, untuk mengabdi sekaligus belajar agama kepada orang seperti Anda?” tanya Salman dengan suara parau. Uskup itu menjawab, “Aku tidak mengerti ke mana seharusnya kamu pergi, anakku. Tetapi sepengetahuanku, tidak ada orang yang berperilaku sepertiku, kecuali seorang yang hidup dan tinggal di Mosul.”
Salman akhirnya berangkat ke Mosul, wilayah Irak. Sesampainya di sana ia ceritakan kisah perjalanan hidupnya. Ia mengabdi kepada orang yang ditunjukkan uskup sebelumnya sampai datang saat ajal hendak menjemput orang itu. Sebelum uskup itu meninggal Salman telah bertanya, ke mana ia harus pergi sepeninggalnya nanti. Orang itu berkata agar Salman pergi ke Amurian di Byzantium. Sesampainya di sana, Salman segera menemui orang yang ditujunya. Hingga ia tinggal, mengabdi, sembari beternak lembu dan domba.
Ketika dia harus meninggalkan Byzantium karena ajal telah mendekati bapak angkatnya, Salman gundah. Ia tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya, ayah angkat itu pun berkata, “Hai anakku, aku tidak tahu siapa orang yang sejalan denganku sehingga aku tidak tahu ke mana kau harus pergi. Tetapi kau sudah dekat dengan masa di mana akan datang nabi pengikut Nabi Ibrahim. Ia akan hijrah ke tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Ikutilah dia. Karena dia mudah dikenali. Ia tidak makan sedekah, tetapi ia mau menerima hadiah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda-tanda kenabian.”
Pada hari berikutnya, secara kebetulan lewat serombongan orang yang menuju ke Jariah Arab. “Aku berikan domba dan lembu ini pada kalian jika kalian mau membawaku ke negeri asal kalian,” kata Salman kepada pemimpin rombongan. Mereka setuju membawa Salman turut serta. Sehingga sampailah Salman di Wadi Al-Quro.
Tetapi hati Salman sedih. Ia merasa telah ditipu. Sebab, ternyata mereka telah menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak belian. Begitupun Salman masih berharap. Ia yakin, pesan yang disampaikan bapak angkat yang terakhir bakal menjadi kenyataan. Karena dia melihat banyak pohon kurma tumbuh di sekitarnya. Tetapi impian itu ternyata masih jauh dari kenyataan. Karena ia tetap tinggal di Wadi Al-Quro, bersama orang Yahudi yang membelinya. Setiap hari ia harus bekerja sebagai budak. Berbagai pekerjaan berat harus dia lakukan. Sekali saja membantah majikan, tangan, cambuk, atau caci maki, pasti akan diterimanya. Itu berjalan terus-menerus.
Seperti sudah digariskan, beberapa lama setelah itu, Salman dijual pemiliknya. Kali ini ia dibeli orang dari Bani Quraidhah yang tinggal di Medinah. Suatu hari, ketika dia sedang memetik kurma, datang sepupu tuannya sambil terbirit-birit. Ia mengabarkan, “Aku lihat dengan mataku sendiri, banyak orang berkerumun mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.” Secara tidak sadar tubuh Salman bergetar setelah mendengar berita itu. Ia bahkan nyaris terjatuh menimpa tuannya yang ada di bawah. Pada malam harinya, Salman segera mengumpulkan barang-barang yang ia punya. Lantas pergi ke Quba, pinggiran kota Yastrib, untuk menemui laki-laki yang disebut nabi itu.
“Saudara-saudara adalah pendatang. Saya yakin, Tuan-tuan memerlukan makanan. Terima dan makanlah sedekah saya ini,” kata Salman. Seseorang dari mereka lantas menerima makanan itu.
Lalu ia menyerahkan makanan sedekah itu kepada para sahabat. Sementara Nabi sendiri tidak ikut menikmatinya. Keesokan harinya Salman kembali menemui rombongan itu. “Saudaraku, semalam saya melihat Anda tidak mau makan sedekah yang aku berikan, terimalah ini makanan dariku sebagai hadiah buat Anda,” kata Salman dengan hati-hati. Tak lama berselang, orang yang semalam menerima itu kembali menerima bingkisan yang dibawa Salman. “Atas nama Allah makanlah hadiah ini,” kata sipenerima sembari ikut menikmati makanan yang diterimanya.
Pada hari yang lain Salman kembali datang. Dillihatnya, orang yang sudah dua kali menerima makanannya mengenakan dua lembar kain dipundak. Sembari membungkuk, Salman mengucap salam kepadanya. Tanpa dinyana, orang itu malah menyingkapkan kain penutup itu, sehingga terlihat tanda-tanda kenabian, seperti yang disampaikan pendeta Nasrani itu. Lutut Salman lantas bergetar hebat. Ia lantas semakin mendekat ke arah Rasulullah, menangis, seraya mencium tangannya. Menceritakan semua kisah dan kejadian yang telah dia alami. Seketika itu ia menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar