Ada sebagian orang yang ketika membaca doa-doa di dalam shalatnya hanya membaca di dalam hati yaitu tidak menggerakkan lidah (melafadzkan), sehingga shalat seakan hanyalah gerakan tanpa ada doa-doa. Hal ini termasuk kesalahan di dalam shalat.
Mereka beralasan:
Bantahan terhadap syubhat di atas
Pendapat di atas tidaklah benar dan bertentangan dengan nash-nash syar`i:
Allah berfirman:
Karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur`an (QS. Muzammil : 20).
Ayat ini membantah yang mengatakan shalat hanyalah gerakan tanpa perkataan, dan juga adanya hadits yang menyatakan: Tidak sah shalat kecuali dengan membaca surat pembuka Al-Kitab (Al-Fatihah) (HR. Bukhari, Muslim).
Adapun sabda Rasulullah saw :
"Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat", maka fokusnya adalah diri Rasulullah yang mengerjakan tata-cara shalat, bukan berarti shalat itu hanya gerakan tanpa ucapan. Dengan demikian, tidak ada pertentangan dengan dalil yang mengatakan bahwa di dalam shalat juga membaca doa-doa tertentu yang sudah ditentukan. Membaca Al-Fatihah adalah hal yang fardhu di dalam shalat seperti pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama dan mayoritas shahabat nabi ra.
Seandainya membaca ayat berulang kali namun hanya di dalam hati sudah dianggap cukup di dalam shalat dan itu tidak akan pernah terjadi, Rasulullah saw tidak akan menjawab pertanyaan orang yang minta diajari shalat dengan : “Kemudian bacalah olehmu ayat Al-Qur`an yang kamu anggap mudah” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud), karena yang dimaksud dengan membaca itu bukan hanya terlintas di dalam hati, akan tetapi yang dimaksud dengan membaca -baik dalam pengertian bahasa maupun syariat- adalah menggerakkan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah ta`ala : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur`an karena hendak cepat-cepat (menguasainya).” (QS. Al-Qiyamah : 16)
Oleh karena itulah para ulama yang melarang orang junub membaca ayat Al-Qur`an memperbolehkan melintaskan bacaan ayat hanya di dalam hati, sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat dalam hati, tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata: Orang yang sedang junub, haidh, dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat Al-Qur`an di dalam hati tanpa melafadzkannya, begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya di dalam hati (Al-Adzkar halaman 10)
Muhammad Ibnu Rusyd berkata: Adapun seseorang yang membaca di dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca, karena yang disebut membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah azza wa jalla berfirman: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan (QS. Al-Baqarah : 286)
Rasulullah saw bersabda: Allah mengampuni dari umatku terhadap apa yang masih terlintas di dalam hati mereka (Hadits Shahih, Irwaa`al Ghalil VII/139 nomor 2026)
Sebagaimana telah diketahui bahwa keburukan yang masih berada di dalam hati manusia tidak diberi hukuman dan tidak membahayakan bagi dirinya di sisi Allah, maka sama halnya dengan bacaan atau kebaikan yang masih berada di dalam hati juga tidak akan dibalas ataupun dianggap ada. Yang dianggap adalah bacaan yang disertai dengan menggerakkan mulut dan kebaikan yang telah direalisasikan dalam perbuatan (Al-Bayan wa Al-Tahshiil I/491)
Seberapa keras bacaan di dalam shalat diucapkan?
Al-Nawawi berkata: Adapun selain imam, maka disunahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik dia menjadi makmum atau ketika shalat sendiri (munfarid). Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, takbir, membaca tasbih ketika ruku`, tasyahud, salam dan doa-doa dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syafi`i dan disepakati oleh pengikutnya.
Sedangkan rekan-rekan kami berkata: Disunnahkan agar tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri.
As-Syafi`i berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu (Al-Majmuu` III/295)
Para ulama madzhab Syafi`i berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -mengalami kecelakaan di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya, karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan (Fatwa al Ramli I/140 dan Hasyiyah Qulyubiy I/143)
Kebayakan ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh pembacanya sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat (Ad Diin al Khalish II/143)
Catatan:
Bacaan-bacaan yang dilafadzkan di dalam pembahasan ini adalah bacaan di dalam shalat yaitu dari takbir sampai dengan salam. Adapun niat adalah tempatnya di hati, melafadzkannya [misalnya dengan usholli...dst] merupakan bid`ah.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, dia berkata: Aku telah menyaksikan Rasulullah saw membuka (memulai) shalatnya dengan takbir, kemudian mengangkat tangannya (HR.Bukhari)
sumber bacaan (diolah) :
Artikel ini diambil dari Qoulul Mubin fii Akhthail Mushalin karya Syaikh Mashur Hasan Salman
Mereka beralasan:
- Firman Allah taala: Dan dirikanlah oleh kalian shalat (QS. Al-Baqarah : 43)
- Hadits Nabi saw : Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud)
Bantahan terhadap syubhat di atas
Pendapat di atas tidaklah benar dan bertentangan dengan nash-nash syar`i:
Allah berfirman:
Karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur`an (QS. Muzammil : 20).
Ayat ini membantah yang mengatakan shalat hanyalah gerakan tanpa perkataan, dan juga adanya hadits yang menyatakan: Tidak sah shalat kecuali dengan membaca surat pembuka Al-Kitab (Al-Fatihah) (HR. Bukhari, Muslim).
Adapun sabda Rasulullah saw :
"Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat", maka fokusnya adalah diri Rasulullah yang mengerjakan tata-cara shalat, bukan berarti shalat itu hanya gerakan tanpa ucapan. Dengan demikian, tidak ada pertentangan dengan dalil yang mengatakan bahwa di dalam shalat juga membaca doa-doa tertentu yang sudah ditentukan. Membaca Al-Fatihah adalah hal yang fardhu di dalam shalat seperti pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama dan mayoritas shahabat nabi ra.
Seandainya membaca ayat berulang kali namun hanya di dalam hati sudah dianggap cukup di dalam shalat dan itu tidak akan pernah terjadi, Rasulullah saw tidak akan menjawab pertanyaan orang yang minta diajari shalat dengan : “Kemudian bacalah olehmu ayat Al-Qur`an yang kamu anggap mudah” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud), karena yang dimaksud dengan membaca itu bukan hanya terlintas di dalam hati, akan tetapi yang dimaksud dengan membaca -baik dalam pengertian bahasa maupun syariat- adalah menggerakkan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah ta`ala : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur`an karena hendak cepat-cepat (menguasainya).” (QS. Al-Qiyamah : 16)
Oleh karena itulah para ulama yang melarang orang junub membaca ayat Al-Qur`an memperbolehkan melintaskan bacaan ayat hanya di dalam hati, sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat dalam hati, tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata: Orang yang sedang junub, haidh, dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat Al-Qur`an di dalam hati tanpa melafadzkannya, begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya di dalam hati (Al-Adzkar halaman 10)
Muhammad Ibnu Rusyd berkata: Adapun seseorang yang membaca di dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca, karena yang disebut membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah azza wa jalla berfirman: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan (QS. Al-Baqarah : 286)
Rasulullah saw bersabda: Allah mengampuni dari umatku terhadap apa yang masih terlintas di dalam hati mereka (Hadits Shahih, Irwaa`al Ghalil VII/139 nomor 2026)
Sebagaimana telah diketahui bahwa keburukan yang masih berada di dalam hati manusia tidak diberi hukuman dan tidak membahayakan bagi dirinya di sisi Allah, maka sama halnya dengan bacaan atau kebaikan yang masih berada di dalam hati juga tidak akan dibalas ataupun dianggap ada. Yang dianggap adalah bacaan yang disertai dengan menggerakkan mulut dan kebaikan yang telah direalisasikan dalam perbuatan (Al-Bayan wa Al-Tahshiil I/491)
Seberapa keras bacaan di dalam shalat diucapkan?
Al-Nawawi berkata: Adapun selain imam, maka disunahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik dia menjadi makmum atau ketika shalat sendiri (munfarid). Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, takbir, membaca tasbih ketika ruku`, tasyahud, salam dan doa-doa dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syafi`i dan disepakati oleh pengikutnya.
Sedangkan rekan-rekan kami berkata: Disunnahkan agar tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri.
As-Syafi`i berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu (Al-Majmuu` III/295)
Para ulama madzhab Syafi`i berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -mengalami kecelakaan di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya, karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan (Fatwa al Ramli I/140 dan Hasyiyah Qulyubiy I/143)
Kebayakan ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh pembacanya sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat (Ad Diin al Khalish II/143)
Catatan:
Bacaan-bacaan yang dilafadzkan di dalam pembahasan ini adalah bacaan di dalam shalat yaitu dari takbir sampai dengan salam. Adapun niat adalah tempatnya di hati, melafadzkannya [misalnya dengan usholli...dst] merupakan bid`ah.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, dia berkata: Aku telah menyaksikan Rasulullah saw membuka (memulai) shalatnya dengan takbir, kemudian mengangkat tangannya (HR.Bukhari)
sumber bacaan (diolah) :
Artikel ini diambil dari Qoulul Mubin fii Akhthail Mushalin karya Syaikh Mashur Hasan Salman
1 komentar:
sangat bermanfaat artikelnya... terima kasih salam..
Posting Komentar