Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Kamis, 18 Maret 2010

Membuka Pintu Sorga


Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu :

Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga. (HR. Muslim).

Ketiga : Al-Qobulu (menerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):

“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “ (QS. As-Shoffat : 35-36).

Keempat
: Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya. “ (QS. Az-Zumar : 54).

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “
(QS. Luqman : 22).

Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).

Kelima
: Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Keenam
: Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165).

Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).

Kedelapan
: Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya), maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya):

“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….” (QS. Al-Baqoroh : 256).

Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.

oleh : Al-Ustadz Agus Su’aidi As-Sidawy
sumber : www.darussalaf.or.id

baca seterusnya ....

W U D H U [3-terakhir]

Muwalah

Muwalah [Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal [Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I].


Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat ini-pent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.] Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnya-pent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhu-pent.) perbaguslah wudhumu”.[HR. Mulsim no. 243.]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau [Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I].

Sunnah Wudhu

Bersiwak [Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu” [HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi].

Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman-pent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah-pent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini” [HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah [Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama [lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.].

Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa [Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi].

Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.].

Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[HR. Bukhori 158.]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman-pent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah-pent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,

“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[HR. Bukhori 186].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali [Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

Beliau (Utsman bin Affan pent.) menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.].

Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[ihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,

“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud].

Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[HR. Muslim no. 234.].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

"Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.].

Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya [An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab..


Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
baca seterusnya ....

Jumat, 12 Maret 2010

Prinsip Kerja dan Etika Usaha dalam Islam

Seorang pekerja atau pengusaha muslim dalam melakukan berbagai aktivitas usaha harus selalu bersandar dan berpegang teguh pada dasar dan prinsip berikut ini:

Pertama,
Seorang muslim harus bekerja dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kacamata syariat, bekerja hanyalah untuk menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan dalam rangka memelihara diri dari sifat-sifat yang tidak baik, seperti meminta-minta atau menjadi beban orang lain. Bekerja juga bisa menjadi sarana untuk berbuat baik kepada orang lain dengan cara ikut andil membangun ummat di masa sekarang dan masa yang akan datang, serta melepaskan ummat dari belenggu ketergantungan kepada ummat lain dan jeratan transaksi haram.

Kedua,
Seorang muslim dalam usaha harus berhias diri dengan akhlak mulia, seperti: sikap jujur, amanah, menepati janji, menunaikan hutang dan membayar hutang dengan baik, memberi kelonggaran orang yang sedang mengalami kesulitan membayar hutang, menghindari sikap menangguhkan pembayaran hutang, tamak, menipu, kolusi, melakukan pungli (pungutan liar), menyuap dan memanipulasi atau yang sejenisnya.

Ketiga,
Seorang muslim harus bekerja dalam hal-hal yang baik dan usaha yang halal. Sehingga dalam pandangan seorang pekerja dan pengusaha muslim, tidak akan sama antara proyek dunia dengan proyek akherat. Baginya tidak akan sama antara yang baik dan yang buruk atau antara yang halal dan haram, meskipun hal yang buruk itu menarik hati dan menggiurkan karena besarnya keuntungan materi yang didapat. Ia akan selalu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, bahkan hanya berusaha mencari rizki sebatas yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Keempat,
Seorang muslim dalam bekerja harus menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, baik yang terkait dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala (seperti zakat) atau yang terkait dengan hak-hak manusia (seperti memenuhi pembayaran hutang atau memelihara perjanjian usaha dan sejenisnya). Karena menunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu merupakan suatu bentuk kedzaliman. Menyia-nyiakan amanah dan melanggar perjanjian bukanlah akhlak seorang muslim, hal itu merupakan kebiasaan orang-orang munafik.

Kelima,
Seorang muslim harus menghindari transaksi riba atau berbagai bentuk usaha haram lainnya yang menggiring ke arahnya. Karena dosa riba sangat berat dan harta riba tidak berkah, bahkan hanya akan mendatangkan kutukan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, baik di dunia maupun akherat.

Keenam,
Seorang pekerja muslim tidak memakan harta orang lain dengan cara haram dan bathil, karena kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya. Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya dan adanya sebab syar’i untuk mengambilnya, seperti upah kerja, laba usaha, jual beli, hibbah, warisan, hadiah dan yang semisalnya.

Ketujuh,
Seorang pengusaha atau pekerja muslim harus menghindari segala bentuk sikap maupun tindakan yang bisa merugikan orang lain. Ia juga harus bisa menjadi mitra yang handal sekaligus kompetitor yang bermoral, yang selalu mengedepankan kaidah “Segala bahaya dan yang membahayakan adalah haram hukumnya”.

Kedelapan,
Seorang pengusaha dan pekerja muslim harus berpegang teguh pada aturan syari’at dan bimbingan Islam agar terhindar dari pelanggaran dan penyimpangan yang mendatangkan saksi hukum dan cacat moral.

Kesembilan,
Seorang muslim dalam bekerja dan berusaha harus bersikap loyal kepada kaum mukminin dan menjadikan ukhuwah di atas kepentingan bisnis, sehingga bisnis tidak menjadi sarana untuk menciptakan ketegangan dan permusuhan sesama kaum muslimin.

Oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin, Pembina Yayasan Bina Pengusaha Muslim (KPMI)
Diketik ulang oleh herr dari buku ‘Mencari Kuci Rizki yang Hilang’ hal. 21-24 karya Ustadz Zainal Abidin Syamsudin, Lc. hafidzahullahu
baca seterusnya ....

Jual-beli secara KREDIT


Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba. Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:
… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab.

Penulis: Al Ustadz Lukman Baabduh
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=74
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=141
baca seterusnya ....

Penjelasan Hadits 1

Taqwa dan Akhlak yang Baik

Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih. Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi di dalam [Al Bir Wash Shilah/1987] dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Al Misykat [5083])

Penjelasan:

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bertakwalah kepada Allah” adalah fi’il ‘amr (kata perintah) dari kata at taqwa. Takwa adalah membuat perlindungan dari siksa Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya. Inilah yang disebut takwa. Dan ini adalah batasan yang terbaik untuk mengartikan kata “takwa”.
(Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada), yakni di tempat di mana pun engkau berada. Engkau tidak hanya bertakwa kepada Allah di tempat yang di sana orang-orang melihatmu saja. Dan tidak hanya bertakwa kepadaNya di tempat-tempat yang engkau tidak dilihat oleh seorang pun, karena Allah senantiasa melihatmu, di tempat manapun engkau berada. Oleh karena itu, bertakwalah di mana pun engkau berada.

(Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya), yakni jadikanlah kebaikan itu mengiringi kejelekan. Jadi, jika engkau melakukan kejelekan, maka iringilah dengan kebaikan. Dan termasuk dalam hal itu –yakni mengiringi kejelekan dengan kebaikan-, adalah engkau bertaubat kepada Allah dari kejelekan tersebut, karena taubat adalah suatu kebaikan.

Dan sabdanya, “Niscaya akan menghapuskan”, yakni kebaikan itu jika dilakukan setelah kejelekan, maka ia akan menghapuskannya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)

Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya adalah:
  1. Perhatian yang besar dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
  2. Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
  3. Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang sedikit pun. Dan jika( amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa’:47)

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik.” Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya.
baca seterusnya ....

Kamis, 11 Maret 2010

W U D H U [2]

Wajib Wudhu

Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.]

Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar [Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*] [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[Lihat Fathul Baari hal. 78/X]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh [Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[[HR. Muslim no. 237.]]

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.]

Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[Lihat tanda [*] dalam tulisan ini].

Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226].

Menyapu kepala dengan air [Perbedaan antara menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan disapu namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.] , kedua telinga termasuk dalam bagian kepala [Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala [Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut [Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,

“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[[HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”. [HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


baca seterusnya ....

Perselisihan Umatku adalah Rahmat ?


Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.

Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih "... walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin." Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.

Mereka tak sadar – bahwa dengan sikap seperti itu - justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.

Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.

Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai “rahmat”?

Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.

Ahlul Hadits adalah para ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang shohih dari yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”.

Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.

Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)

Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.

Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.

Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.

Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
  1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
  2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
  3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas

Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.

Penutup
Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan Rasulullah. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)

Alhamdulillah dari penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits “Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)

Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah berkata : “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)

Sesungguhnya tidak terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan. Adapun yang ridho dengan perselisihan tersebut, tidaklah mereka memiliki sandaran dalil melainkan berpegang pada “hadits” yang maudhu’ ini. Wallahul muwafiq ila sabilish showab.

Penulis: Al Ustadz Abu Abdurahman Abdul Aziz
(Sumber : Buletin Jum’at Al Jihad, diterbitkan Yayasan As Salaf Samarinda. Telpon (0541) 7010648. Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy. Judul asli "Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”. )

baca seterusnya ....

Selasa, 09 Maret 2010

Telanjang

Wanita penghuni Neraka
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Dua golongan dari penghuni Neraka yang tidak pernah aku lihat:…dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak lenggok, kepala-kepala mereka (bersanggul.pent) seperti pundak unta, mereka itu tidak masuk Surga dan tidak akan mencium harumnya, dan sesungguhnya bau harumnya Surga itu dapat tercium sejak sekian dan sekian perjalanan.” (HR. Muslim)
Keterangan: Wanita yang berpakaian tapi telanjang bisa terjadi karena: 1. mengunakan pakaian yang tidak menutup seluruh aurat, atau 2. menggunakan pakian yang tembus pandang, atau 3. berpakaian yang membentuk bagian anggota-anggota tubuh.

Akan telanjang di Akhirat
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Betapa banyak wanita yang berpakaian di dunia, namun telanjang di Akhirat.” (HR. Bukhari).

Manusia yang paling dimurkai oleh Allah Azza Wa Jalla
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga: ....dan orang yang mencari kebiasaan Jahiliyyah di dalam Islam.” (HR. Bukhari)
Dan di antara kebiasaan Jahiliyyah adalah bertabarruj dan berpenampilan gaul. Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kalian (wahai kaum wanita) bersolek seperti orang-orang jahiliyyah yang pertama.” (QS. Al-Ahzab 33)

Berdosa sebanyak orang yang mengikutinya atau terfitnah dengannya
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Barang siapa menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun juga.” (HR. Muslim)

Dia adalah wanita terkutuk
Diriwayatkan: “Wanita-wanita mereka berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala-kepala mereka bagaikan pundak-pundak unta…mereka itu adalah wanita-wanita terkutuk…” (HR. Ahmad).

Dia adalah wanita pelacur
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Wanita mana saja yang menggunakan wangi-wangian, kemudian ia melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka wanita itu wanita pelacur.” (HR. Abu Dawud).

Shalatnya tidak akan diterima
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Wanita mana saja yang menggunakan wangi-wangian, kemudian ia keluar menuju Mesjid, shalatnya tidak akan diterima sehingga ia mandi.” (HR. Ibnu Majah).

Dia adalah wanita yang tercampakkan tabir keimanannya
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Wanita mana saja yang meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka sungguh ia telah mencampakkan tabir (keimanan) antara dia dengan Allah.” (HR. Al-Hakim).

Wanita yang durhaka kepada Tuhannya
Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Dan hendaklah mereka tinggal di dalam rumah dan janganlah bertabarruj seperti tabarruj orang-orang jahiliyyah yang pertama.” (QS. Al-Ahzab 33)
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita hamba-hamba Allah untuk pergi ke mesjid-mesjid Allah, dan hendaklah mereka keluar dalam keadaan tertutup, dan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud).

Senjata Setan
Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam: “Wanita itu aurat, maka apabila ia keluar setan mendapinginya. Dan keadaan terdekat seorang wanita dengan Tuhannya adalah ketika ia ada di dalam rumahnya.”

Penyusun: Dr. Shaleh Bin Abdullah Ash-Shiyah
Terjemah: Abu Qudamah
baca seterusnya ....