Ada beberapa hal yang sebagian orang menganggapnya najis. Namun sebenarnya jika kita merujuk pada dalil, maka hal ini perlu ditinjau ulang. Semoga pembahasan berikut bermanfaat bagi kita sekalian.
Kaedah Yang Mesti Dipahami
Untuk mengawali pembahasan ini ada dua kaedah yang mesti diperhatikan.
Pertama: Hukum asal segala sesuatu adalah suci. Sesuatu bisa dikatakan najis jika dikatakan oleh syari’at melalui dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi, menghukumik sesuatu itu najis ini berarti memberikan pembebanan (taklif) pada hamba. Hukum asalnya, lepas dari kewajiban. Lebih-lebih dalam perkara yang sudah diketahui secara pasti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kita petunjuk untuk diam (tidak mempersoalkan) perkara yang Allah diamkan dan ini berarti Allah memaafkannya.”[1]
Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang hamba untuk menghukumi sesuatu itu najis hanya berdasar pemikirannya semata yang jelas rusaknya atau kelirunya dalam berdalil sebagaimana yang diklaim oleh sebagian ulama bahwa sesuatu yang Allah haramkan pastilah najis. Ini sungguh klaim yang betul-betul rusak. Perlu diketahui bahwa diharamkannya sesuatu tidaklah menunjukkan bahwa ia itu najis baik itu ditunjukkan dengan dalil muthobaqoh (tekstual), tadhommun (pendalaman dalil) dan iltizam (konsekuensi dari dalil).”
Asy Syaukani lalu menjelaskan, “Seandainya sekedar Allah haramkan sesuatu menjadikan sesuatu tersebut najis, maka seharusnya mengenai firman Allah Ta’ala,“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu …” (QS. An Nisa’: 23), wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat ini harus dikatakan najis. Namun tentu kita tidak berani mengatakan seperti ini karena seorang muslim tidaklah najis baik ketika hidup maupun mati sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]
Berikut kita tinjau beberapa hal yang dianggap najis dan kita bandingkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal tersebut.
Mani
Mani atau cairan semen adalah cairan yang keluar ketika mimpi basah atau berhubungan intim. Ciri-ciri mani adalah warnanya keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas. Bedanya madzi dan mani, madzi adalah cairan tipis dan putih, keluar tanpa syahwat, tanpa memancar, tidak membuat lemas dan keluar ketika muqoddimah hubungan intim. Madzi itu najis, sedangkan mengenai status mani apakah najis ataukah suci terdapat perselisihan di kalangan ulama.
Ada yang mengatakan bahwa mani itu najis seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.[3]
Dalil ulama yang menyatakan bahwa mani itu najis adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencuci bekas mani (pada pakaiannya) kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat dengan pakaian tersebut. Aku pun melihat pada pakaian beliau bekas dari mani yang dicuci tadi.”[4]
Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa mani itu suci. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah para pakar hadits, Imam Asy Syafi’i, Daud Azh Zhohiri, dan salah satu pendapat Imam Ahmad.[5] Dalil yang mendukung pendapat kedua ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah pernah mengerik pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkena mani. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,“Aku pernah mengerik mani tersebut dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[6]
Dalam lafazh lainnya, dari ‘Alqomah dan Al Aswad, mereka mengatakan,“Ada seorang pria menemui ‘Aisyah dan di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya (yang terkena mani). Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikilah daerah di sekitar bagian tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”[7]
Penulis Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr Ad Dimaysqi rahimahullah mengatakan, “Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah (haidh) dan lainnya. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, maka ini hanya menunjukkan anjuran dan pilihan dalam mensucikan mani tersebut. Inilah cara mengkompromikan dua dalil di atas. Dan menurut ulama Syafi’iyah, hal ini berlaku untuk mani yang ada pada pria maupun wanita, tidak ada beda antara keduanya.”[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Sudah maklum bahwa para sahabat pasti pernah mengalami mimpi basah di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasti pula mani tersebut mengenai badan dan pakaian salah seorang di antara mereka. Ini semua sudah diketahui secara pasti. Seandainya mani itu najis, maka tentu wajib bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menghilangkan mani tersebut dari badan dan pakaian mereka sebagaimana halnya perintah beliau untuk beristinja’ (membersihkan diri selepas buang air), begitu pula sebagaimana beliau memerintahkan untuk mencuci darah haidh dari pakaian, bahkan terkena mani lebih sering terjadi daripada haidh. Sudah maklum pula bahwa tidak ada seorang pun yang menukil kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan salah seorang sahabat untuk mencuci mani yang mengenai badan atau pakaiannya. Dari sini, diketahui dengan yakin bahwa mencuci mani tersebut tidaklah wajib bagi para sahabat. Inilah penjelasan yang gamblang bagi yang ingin merenungkannya.”[9]
Yang dimaksud dengan mengerik di sini adalah menggosok dengan menggunakan kuku atau pengerik lainnya.[10] Seseorang bisa membersihkan badan atau pakaian yang terkena mani dengan cara mengerik jika mani tersebut dalam keadaan kering. Dan jika hanya dikerik masih banyak tersisa, maka lebih baik dengan dicuci.[11]
Ringkasnya, mani itu suci. Inilah pendapat yang lebih kuat. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 5 Rabi’ul Awwal 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 28, Darul ‘Aqidah.
[2] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, hal. 29.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, 1/74, Al Maktabah At Taufiqiyah; Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Al Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Ad Dimasyqi, 1/ 69, Darul Fikr, cetakan pertama, tahun 1424 H; dan Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/604, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[4] HR. Muslim no. 289, dari Sulaiman bin Yasar.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/75, Kifayatul Akhyar, 1/69-70 dan Majmu’ Al Fatawa, 21/604.
[6] HR. Muslim no. 288.
[7] HR. Muslim no. 288.
[8] Kifayatul Akhyar, 1/70.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 21/604-605.
[10] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/208, Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H
[11] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/211.
baca seterusnya ....
Kaedah Yang Mesti Dipahami
Untuk mengawali pembahasan ini ada dua kaedah yang mesti diperhatikan.
Pertama: Hukum asal segala sesuatu adalah suci. Sesuatu bisa dikatakan najis jika dikatakan oleh syari’at melalui dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi, menghukumik sesuatu itu najis ini berarti memberikan pembebanan (taklif) pada hamba. Hukum asalnya, lepas dari kewajiban. Lebih-lebih dalam perkara yang sudah diketahui secara pasti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kita petunjuk untuk diam (tidak mempersoalkan) perkara yang Allah diamkan dan ini berarti Allah memaafkannya.”[1]
Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang hamba untuk menghukumi sesuatu itu najis hanya berdasar pemikirannya semata yang jelas rusaknya atau kelirunya dalam berdalil sebagaimana yang diklaim oleh sebagian ulama bahwa sesuatu yang Allah haramkan pastilah najis. Ini sungguh klaim yang betul-betul rusak. Perlu diketahui bahwa diharamkannya sesuatu tidaklah menunjukkan bahwa ia itu najis baik itu ditunjukkan dengan dalil muthobaqoh (tekstual), tadhommun (pendalaman dalil) dan iltizam (konsekuensi dari dalil).”
Asy Syaukani lalu menjelaskan, “Seandainya sekedar Allah haramkan sesuatu menjadikan sesuatu tersebut najis, maka seharusnya mengenai firman Allah Ta’ala,“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu …” (QS. An Nisa’: 23), wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat ini harus dikatakan najis. Namun tentu kita tidak berani mengatakan seperti ini karena seorang muslim tidaklah najis baik ketika hidup maupun mati sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]
Berikut kita tinjau beberapa hal yang dianggap najis dan kita bandingkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal tersebut.
Mani
Mani atau cairan semen adalah cairan yang keluar ketika mimpi basah atau berhubungan intim. Ciri-ciri mani adalah warnanya keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas. Bedanya madzi dan mani, madzi adalah cairan tipis dan putih, keluar tanpa syahwat, tanpa memancar, tidak membuat lemas dan keluar ketika muqoddimah hubungan intim. Madzi itu najis, sedangkan mengenai status mani apakah najis ataukah suci terdapat perselisihan di kalangan ulama.
Ada yang mengatakan bahwa mani itu najis seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.[3]
Dalil ulama yang menyatakan bahwa mani itu najis adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencuci bekas mani (pada pakaiannya) kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat dengan pakaian tersebut. Aku pun melihat pada pakaian beliau bekas dari mani yang dicuci tadi.”[4]
Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa mani itu suci. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah para pakar hadits, Imam Asy Syafi’i, Daud Azh Zhohiri, dan salah satu pendapat Imam Ahmad.[5] Dalil yang mendukung pendapat kedua ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah pernah mengerik pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkena mani. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,“Aku pernah mengerik mani tersebut dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[6]
Dalam lafazh lainnya, dari ‘Alqomah dan Al Aswad, mereka mengatakan,“Ada seorang pria menemui ‘Aisyah dan di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya (yang terkena mani). Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikilah daerah di sekitar bagian tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”[7]
Penulis Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr Ad Dimaysqi rahimahullah mengatakan, “Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah (haidh) dan lainnya. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, maka ini hanya menunjukkan anjuran dan pilihan dalam mensucikan mani tersebut. Inilah cara mengkompromikan dua dalil di atas. Dan menurut ulama Syafi’iyah, hal ini berlaku untuk mani yang ada pada pria maupun wanita, tidak ada beda antara keduanya.”[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Sudah maklum bahwa para sahabat pasti pernah mengalami mimpi basah di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasti pula mani tersebut mengenai badan dan pakaian salah seorang di antara mereka. Ini semua sudah diketahui secara pasti. Seandainya mani itu najis, maka tentu wajib bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menghilangkan mani tersebut dari badan dan pakaian mereka sebagaimana halnya perintah beliau untuk beristinja’ (membersihkan diri selepas buang air), begitu pula sebagaimana beliau memerintahkan untuk mencuci darah haidh dari pakaian, bahkan terkena mani lebih sering terjadi daripada haidh. Sudah maklum pula bahwa tidak ada seorang pun yang menukil kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan salah seorang sahabat untuk mencuci mani yang mengenai badan atau pakaiannya. Dari sini, diketahui dengan yakin bahwa mencuci mani tersebut tidaklah wajib bagi para sahabat. Inilah penjelasan yang gamblang bagi yang ingin merenungkannya.”[9]
Yang dimaksud dengan mengerik di sini adalah menggosok dengan menggunakan kuku atau pengerik lainnya.[10] Seseorang bisa membersihkan badan atau pakaian yang terkena mani dengan cara mengerik jika mani tersebut dalam keadaan kering. Dan jika hanya dikerik masih banyak tersisa, maka lebih baik dengan dicuci.[11]
Ringkasnya, mani itu suci. Inilah pendapat yang lebih kuat. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 5 Rabi’ul Awwal 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 28, Darul ‘Aqidah.
[2] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, hal. 29.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, 1/74, Al Maktabah At Taufiqiyah; Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Al Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Ad Dimasyqi, 1/ 69, Darul Fikr, cetakan pertama, tahun 1424 H; dan Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/604, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[4] HR. Muslim no. 289, dari Sulaiman bin Yasar.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/75, Kifayatul Akhyar, 1/69-70 dan Majmu’ Al Fatawa, 21/604.
[6] HR. Muslim no. 288.
[7] HR. Muslim no. 288.
[8] Kifayatul Akhyar, 1/70.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 21/604-605.
[10] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/208, Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H
[11] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/211.