Meluruskan Aqidah Sesuai Al Qur'an dan As Sunnah

Sabtu, 30 Januari 2010

G H U L U W

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan yang selamat. Di dalam segala hal, mereka selalu berada pada sikap yang dilandaskan oleh hujjah dan dalil. Berada di atas manhaj wasathiyyah (pertengahan). Tidak berlebihan, tidak pula menggampangkan.

Merekalah yang dimaksud oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
(perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:143)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am:153)

Mengapa Ahlus Sunnah yang berhak menyandang kemuliaan ini? Karena mereka adalah golongan yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dengan penuh ilmu, bashirah, fiqih, dan hikmah. Oleh karena itu, mereka benar-benar jauh dari sikap ghuluw, dalam rangka mengamalkan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap sederhana di dalam beribadah.

Dalil tentang Wajibnya Beribadah Tanpa Disertai Ghuluw

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu di dalam Shahihnya membuat sebuah bab dengan judul Dibencinya beribadah secara berlebihan. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan juga bahwa ibadah yang paling beliau senangi adalah ibadah yang selalu dijaga oleh pelakunya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang alasan dibencinya beribadah secara berlebihan, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullahu sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Di dalam hadits ini pun terdapat penjelasan bahwa sudah seyogianya seorang hamba tidak memaksakan diri dalam ketaatan dan banyaknya amal. Karena hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat ia meninggalkan ibadah tersebut. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga
amalan walaupun sedikit tentu lebih afdhal.

Telah sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan, “Sungguh aku akan selalu berpuasa setiap hari dan melaksanakan qiyaamullail selama aku masih hidup.” Beliau mengucapkan hal ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah berita ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau ditanya, “Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal tersebut?” Abdullah bin ‘Amr menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Nabi membimbing, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut.” Lantas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengarahkan, “Berpuasalah sehari dan berbukalah pada hari berikutnya.” Abdullah radhiyallahu ‘anhu masih saja mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Pada akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa Nabi Dawud.” Pada masa tuanya, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma merasakan betapa beratnya berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Lalu ia pun berkata, “Duhai kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sehingga, Abdullah pun berpuasa selama lima belas hari secara berturut-turut dan berbuka selama limabelas hari berturut-turut juga.

Di dalam kisah ini terdapat dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara yang sederhana. Tidak ghuluw dan tidak pula memandang remeh. Sehingga dia mampu melaksanakannya secara kontinyu. Dan, amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang pelaksanaannya kontinu walaupun sedikit. Wallahu Al-Muwaffiq.” (Syarah Riyadhus Shalihin)

Dalil berikutnya yang memerintahkan kita untuk beribadah tanpa disertai sikap ghuluw adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

Tiga orang sahabat datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merasa seakan-akan ibadah Nabi sedikit. Mereka menyatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi? Padahal Nabi telah mendapatkan ampunan untuk dosa yang telah lewat dan yang akan terjadi.” Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, saya akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak akan tidur malam).”Yang kedua berkata lain, “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya dan tidak ingin berbuka walau sehari.” Adapun sahabat terakhir bertekad, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak ingin menikah selamanya.”
Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka dan bertanya: “Apakah benar kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah manusia yang paling takut kepada Allah dibandingkan kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan tetap berbuka. Aku shalat malam dan terkadang juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka, barangsiapa membenci sunnahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam syarah hadits menyatakan, “(Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut) karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Seperti amalan beliau di dalam masjid, di pasar, atau yang dilakukan beliau di tengah masyarakat bersama para sahabat. Jenis amalan seperti ini zhahir dan telah diketahui oleh kebanyakan sahabat di kota Madinah. Ada pula amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sifatnya sirr (tersembunyi). Sehingga hanya keluarga beliau yang mengetahuinya. Demikian pula diketahui oleh sebagian sahabat yang melayani kebutuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain-lain g. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di dalam rumah.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dikarenakan para sahabat memiliki semangat tinggi untuk berbuat kebajikan, maka mereka menganggap kecil ibadah yang telah mereka lakukan selama ini. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang dari mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak qiyamul lail sepanjang malam, adapun yang ketiga hendak menjauhi wanita dan tidak akan menikah.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Sederhana di dalam menjalankan ibadah merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya tidak seharusnya engkau, wahai hamba, memberat-beratkan diri. Berjalanlah dengan perlahan sebagaimana pembahasan yang lalu.” (Syarah Riyadhus Shalihin)

Dalil berikutnya tentang wajibnya beribadah tanpa sikap ghuluw adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali.” Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini, hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia tidur.”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang tidak semestinya seorang hamba terlalu berdalam dan berlebihan di dalam ibadah. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan.
Seharusnya ia menegakkan shalat ketika dalam keadaan semangat. Apabila ia merasa lelah hendaknya ia berhenti dan tidur. Karena, seseorang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan buyar, jenuh, dan jemu. Bahkan mungkin saja dia akan membenci ibadah tersebut. Mungkin juga dia ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah ia mendoakan kejelekan untuk dirinya sendiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk beristirahat dan tidur apabila rasa kantuk benar-benar mengganggu. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian merasakan kantuk sementara ia sedang shalat, hendaknya dia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena, mungkin saja ada di antara kalian yang shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak menyadari, inginnya dia memohon maghfirah.
Ternyata malah mendoakan celaka untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikian juga persaksian para sahabat tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat beliau benar-benar sederhana, tidak terlalu dan tidak selalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits di dalam Shahihnya dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita:

“Aku selalu melaksanakan shalat bersama Rasulullah, dan shalat beliau selalu sederhana (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu singkat), khutbah beliau pun demikian.” (HR. Muslim)

Saudaraku, hafizhakallah. Sungguh para pendahulu kita dari generasi salaf telah menuntun kita untuk menjauhi sikap ghuluw di dalam beribadah. Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1968) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman Al-Farisi dengan Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu hari Salman datang berkunjung ke rumah Abu Ad-Darda’. Ketika itu Salman melihat Ummu Ad-Darda’, istri Abu Ad-Darda’, menggunakan pakaian sederhana sekali dan tidak berhias.1 [note] Lalu Salman bertanya, “Ada masalah apa?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Ad-Darda’, dia tidak lagi membutuhkan dunia.” Kemudian datanglah Abu Ad-Darda’ untuk membuatkan makanan dan mempersilakan Salman untuk menyantap hidangan. Sementara Abu Ad-Darda’ tidak menyentuh hidangan tersebut karena sedang berpuasa. Salman berkata, “Saya tidak akan menyantap makanan ini kecuali engkau harus menemaniku makan.” Abu Ad-Darda’ kemudian menyantap makanan tersebut. Di saat tiba malam hari, Abu Ad-Darda’ bangkit untuk melaksanakan qiyamullail. Salman memberikan nasihat agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Abu Ad-Darda’ pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam, Abu Darda ingin melaksanakan qiyamullail. Salman masih memberikan nasihat yang sama, agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Setelah masuk akhir malam, Salman pun membangunkan Abu Ad-Darda’, “Bangunlah sekarang.” Mereka berdua lalu menegakkan qiyamullail. Setelah itu Salman menyampaikan:“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu, dirimu pun memiliki hak juga. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.” Setelah itu, ia menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salman memang benar.” Betapa rahmatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segenap hamba-Nya yang telah menjadikan syariat ini mudah. Jangan nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap-sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu dan mandi karena janabah. Demikian pula bertayammum ketika sakit atau tidak mendapatkan air. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Al-Ma’idah: 6)

Demikian pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hal yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)

Penutup

Kita menutup pembahasan ini dengan menukilkan sebuah wasiat yang telah dititipkan oleh Salafunaa Ash-Shalih agar kita meraih kemuliaan di sisi Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Imam Qatadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullahu berpesan, “Waspadalah dan berhati-hatilah dari sikap memberat-beratkan diri, berlebih-lebihan, dan ghuluw serta merasa ujub sendiri. Hendaknya kalian bersikap tawadhu’, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajat kalian.” (Siyar A’lam An-Nubala’)

1 Hal ini terjadi sebelum turunnya ayat hijab.

oleh : Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
baca seterusnya ....

Hukum FACEBOOK

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Belakangan ini di antara kita pernah mendengar fatwa haramnya Facebook, sebuah layanan pertemanan di dunia maya yang hampir serupa dengan Friendster dan layanan pertemanan lainnya. Banyak yang bingung dalam menyikapi fatwa semacam ini. Namun, bagi orang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah tentu tidak akan bingung mengenai fatwa tersebut.

Dalam tulisan yang singkat ini, dengan izin dan pertolongan Allah kami akan membahas tema yang cukup menarik ini, yang sempat membuat sebagian orang kaget. Tetapi sebelumnya, ada beberapa preface yang akan kami kemukakan.Semoga Allah memudahkannya.


Dua Kaedah yang Mesti Diperhatikan

Saudaraku, yang semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Allah Ta’ala. Dari hasil penelitian dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama membuat dua kaedah ushul fiqih berikut ini:

Hukum asal untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Allah dan Rasul-Nya mensyari’atkan.

Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.

Apa yang dimaksud dua kaedah di atas?

Untuk kaedah pertama yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyariatkannya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang memerintahkan atau menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama (baca: berbuat bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini pun tertolak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Namun, untuk perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan
mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Allah Ta’ala,

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al Baqarah: 29).

Maksudnya, adalah Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 32).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan, minuman, pakaian, dan semacamnya. Jadi, jika ada yang menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan. Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “Coca-cola”? Apa hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan. Begitu pula jika ada yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yang menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non ibadah adalah halal dan diperbolehkan.

Oleh karena itu, jika ada yang menanyakan pada kami bagaimana hukum Facebook? Maka kami jawab bahwa hukum asal Facebook adalah sebagaimana handphone, email, blog, internet, radio, dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.

Hukum Sarana sama dengan Hukum Tujuan

Perkara mubah (yang dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah yang dibolehkan dilihat dari dzatnya dan ada pula perkara mubah yang menjadi wasilah (perantara) kepada sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang dilarang.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan,“Perkara mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara mubah itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yang baik maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan pada hal yang jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang dilarang.
Inilah landasan yang harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”

Maksud perkataan beliau di atas:
Apabila perkara mubah tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan, baik dengan perintah yang wajib atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan mubah seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Misalnya : Tidur adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu dalam melakukan ketaatan pada Allah atau bisa membantu dalam mencari rizki, maka tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan/disunnahkan) dan akan diberi ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah.

Begitu pula jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang dilarang, maka hukumnya pun menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh. Misalnya : Terlarang menjual barang yang sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khomr.
Contoh lainnya adalah makan dan minum dari yang thoyib dan mubah, namun secara berlebihan
sampai merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan (makruh).
Bersenda gurau atau guyon juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama mengatakan, “Canda itu
bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.

Oleh karena itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju tujuan tadi akan memiliki hukum yang sama. Perantara pada sesuatu yang diperintahkan, maka
perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara pada sesuatu yang dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut wajib, maka sarana yang mengantarkan kepada yang wajib ini ikut menjadi wajib.
Contohnya : Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan seterusnya.

Intinya, Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya

Jadi intinya, hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau pemanfaatannya adalah untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan untuk perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum tujuan).” Di bawah kaedah ini terdapat kaedah derivat atau turunan yaitu:
  1. Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
  2. Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
  3. Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram)
  4. Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)Maka lihatlah kaedah derivat yang ketiga di atas. Intinya, jika facebook digunakan untuk yang haram dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.

Kita dapat melihat bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook yang melakukan hubungan gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yang diajak berhubungan bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena kasus semacam ini.
Jika memang facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan seperti ini, maka sungguh kami katakan, “Hukum facebook sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi haram.”

Waktu yang Sia-sia Di Depan Facebook

Saudaraku, inilah yang kami ingatkan untuk para pengguna facebook. Ingatlah waktumu! Kebanyakan orang betah berjam-jam di depan facebook, bisa sampai 5 jam bahkan seharian, namun mereka begitu tidak betah di depan Al Qur’an dan majelis ilmu. Sungguh, ini yang kami sayangkan bagi saudara-saudaraku yang begitu gandrung dengan facebook. Oleh karena itu, sadarlah!!

Beberapa nasehat ulama tentang waktu dan hidupmu


Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,

“Aku pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas,

“Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah
pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Ingatlah … kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.

Ibnul Qayyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)

Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah

Inilah pemanfaatan yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang yang senang dikirimi pesan nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link mereka. Banyak yang sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca nasehat-nasehat tersebut.

Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)

Dari Abu Mas’ud Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta yang paling berharga orang Arab saat itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)


Nasehat bagi Para Pengguna Facebook

Faedah dari perkataan Imam Asy Syafi’i:

“Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil)”.(Al Jawabul Kafi, 109)

Kami hanya bisa berdoa kepada Allah, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah bagi orang yang membaca tulisan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk memanfaatkan waktu dengan baik, dalam hal-hal yang bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:

Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Al Qowa’id wal Ushul Al Jaami’ah, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Darul Wathon Lin Nasyr
Jam’ul Mahshul fi Syarhi Risalah Ibni Sya’di fil Ushul, Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, Dar

Al Muslim
Risalah Lathifah, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
oleh : Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
baca seterusnya ....

Selasa, 26 Januari 2010

Ancaman Bahaya INFORMASI

Dewasa ini banyak tersebar media informasi yang tidak bertanggung jawab, seperti brosur, majalah, koran, radio dan televisi. Mereka sangat gencar menyuguhkan gambar-gambar wanita yang suka pamer perhiasan, bergaul bebas dan buka-bukaan. Haruskah muslimah ikut menjadi korban ?

Memang demikianlah fenomena yang kita saksikan. Kebanyakan remaja, khususnya muslimah termakan oleh berbagai bujuk rayu yang disajikan oleh media-media tersebut. Kalau kita tengok aktivitas para remaja, diantara mereka ada yang betah duduk berjam-jam demi menghabiskan sebuah novel percintaan. Atau diantara mereka ada yang sibuk mengejar gosip-gosip terbaru tentang artis idolanya. Ada juga yang suka menanti koran harian atau majalah untuk melihat ramalan bintang yang katanya bisa meramal nasib seseorang, baik atau buruk. Subhanallah. Bahkan ada yang kecanduan koran atau buku-buku yang berbahaya seperti filsafat dan ilmu kalam. Diantaranya juga ada orang yang betah nongkrong di depan layar televisi, asyik menikmati racun-racun yang ditebarkan oleh tayangan tersebut.

Bahaya yang Mengancam

Bila keadaan remaja muslim atau muslimah seperti ini, maka dapat kita bayangkan dan kita lihat sendiri bahaya yang terjadi. Kenyataan yang dapat kita saksikan adalah kecenderungan mereka untuk mengangkat tokoh idola seperti artis penyanyi atau bintang film. Akibatnya gaya hidup sang idolapun tercermin dalam gaya hidupnya, seperti pergaulan bebas, pakaian terbuka, hura-hura, dan pamer perhiasan. Dan akibat dari pergaulan bebas adalah perzinaan, selanjutnya akan diikuti oleh kerusakan-kerusakan yang lain. Trend mencari popularitaspun ikut merasuki pemikiran sang remaja, akhirnya mereka berlomba-lomba untuk menjadi pemenang cover girl atau cover boy (gambar sampul depan majalah). Menurutnya suatu kebanggaan bila wajahnya jadi bahan tontonan dan pujian. Subhanallah !

Disamping bahaya tersebut, berapa banyak mereka harus menghabiskan waktu dengan sia-sia, sementara itu banyak pula kewajiban-kewajiban yang terbengkalai. Sempatkah mereka memikirkan ibadahnya, padahal mereka mengaku beragama Islam ?!

Sholeh bin Muqbil Al-Ushaimi mengatakan bahwa kecintaan kepada koran dan majalah dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kebaikan. Bila ia berpikir menghafal Al-Qur'an atau membaca kitab, ia tidak memiliki waktu. Kecintaannya membaca koran atau majalah menyita semua waktunya untuk membaca yang lebih bermanfaat. Bahkan hingga ada yang kuat membaca tiga ratus halaman majalah dan koran setiap harinya, tapi tidak mampu membaca satu ayat saja dari Al-Qur'an, apalagi membaca kitab atau risalah kecil.

Demikian sebagian fenomena yang kita lihat, Al-Qur'an seolah-olah jadi barang antik yang dimusiumkan, disimpan ditempat yang paling indah tapi hanya jadi pajangan. Akhirnya kebodohan yang muncul kepermukaan. Subhanallah !

Kewajiban yang Terlalaikan

Para remaja muslim dan muslimah memang harus menyadari akan bahaya yang mengancam tersebut. Bila tidak, ia akan terus terseret dalam kebodohan, kegelapan, dan dapat membawa pada kebinasaan di dunia dan akhirat. Kewajiban yang sering dilalaikan oleh remaja muslim dan muslimah adalah menuntut ilmu syar'i. Kebanyakan mereka phobi bila mendengar kata "agama" penuh aturan ini dan itu. Hal ini karena mereka lebih senang hidup ”semau gue" tanpa ikatan apapun. Jelas ini adalah pikiran yang harus diluruskan, karena dengan tuntunan syariat Islam, seseorang dapat selamat dunia dan akhiratnya.

Ketahuilah wahai para remaja bahwa Islam telah menetapkan tuntunan hidup manusia dalam Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.

Bila kita berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sebagaimana yang dipakai oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dan para shahabatnya maka kita tidak akan tersesat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam:

"Aku tinggalkan untuk kalian, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan sesat yaitu Kitabullah dan Sunnahku ". (HR. Malik dan Hakim)

Setiap diri kita tentu mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Untuk itu kita harus menyadari bahwa segala kesenangan dunia yang melalaikan hanyalah fatamorgana, itulah kesenangan yang memperdayakan. Allah Ta'ala berfirman :

"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imron:185)

Sudah saatnya kita semua mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat. Diantaranya adalah dengan mempelajari ilmu dien ini. Karena dengan ilmulah seseorang dapat mengetahui mana al-haq dan mana al-batil. Dan hanya orang-orang yang berilmulah yang mengetahui bahwa apa yang datang dari Allah itulah al-haq, sebagaiman firman-Nya :

"Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji ". (QS. Saba: 6).

Islam juga telah mewajibkan setiap muslim atau muslimah yang mukallaf (aqil dan baligh) untuk menuntut ilmu dien, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim ".(HR. An-Nasa'i, hadits Hasan)

Dengan ilmu seseorang akan berjalan diatas jalan yang terang. Ia akan mengetahui bagaimana ia harus beribadah kepada Allah, bagaimana syariat Islam, apa yang halal dan yang haram. Dengan ilmu pula dapat tersinari hati seseorang dengan cahaya keimanan, karena ilmu adalah obat kebodohan, cahaya yang menyingkap kegelapan hati dan menghasilkan rasa takut pada Allah. Sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu ". (QS. Faathir : 28)

Setelah kita mengetahui betapa pentingmya ilmu syar'i, maka haruskah kita terus menerus tenggelam dalam bacaan-bacaan atau tontonan sia-sia yang hanya menghabiskan waktu saja ?!. Kini, kita tinggalkan perbuatan sia-sia dan kita mulai raih manfaat dengan mengkaji Al-Qur'an, hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, kitab-kitab para ulama, hadir di majelis-majelis ilmu, atau mendengarkan kaset-kaset ceramah yang membimbing kita pada jalan yang lurus sebagaimana yang ditempuh oleh salafus sholeh. Jelas ini baik untuk kita dan tidak akan membuang-buang waktu !


Perhatikanlah!!!

Bila muslimah terus-menerus ikut-ikutan menjadi korban berbagai media informasi tersebut, maka segala kerusakan yang kini terjadi akan terus terjadi atau bahkan akan bertambah besar.

Sebagian besar produk yang diperdagangkan dalam berbagai media tersebut menggunakan jasa wanita sebagai pelaris. Gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya dan memamerkan kecantikan memenuhi lembaran-lembaran majalah atau koran. Subhanallah, sampai kapan akan kau jual dirimu wahai wanita.

Kini kita buka hati untuk memperhatikan apa yang disabdakan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Dari Usamah bin Zaid , beliau bersabda :

"Tiada kutinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi lelaki dari fitnah perempuan " (Muttafaq'alaih).

Ingatlah hal ini bahwa fitnah yang paling besar bagi laki-laki adalah wanita. Wahai para wanita yang menjual dirinya, yang tenggelam dalam dunianya. Coba tanya pada dirimu, sudahkah engkau dapatkan ketenangan dengan apa yang engkau lakukan ? Hanya dengan tumpukan rupiah dan popularitas, sudahkah dirimu bahagia ? Bila mau jujur, tentu hati kecilmu menyatakan tidak, sebab dunia telah kau letakkan dihatimu, sehingga engkau tidak pernah puas dengan apa yang sudah kau peroleh. Kalaupun engkau dapatkan kesenangan, itu hanyalah kesenangan dunia yang semu, yang akan hilang seiring menghilangnya ruh dari badan. Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:

"Yang mengikuti mayit itu tiga : keluarga, harta kekayaan, dan amal perbuatannya. Maka kembali yang dua yaitu keluarga dan kekayaan hartanya dan tinggal satu yang tetap yaitu amal perbuatannya". (Muttafaq'alaih)

Kini, waspadalah terhadap serangan media informasi tersebut, karena mereka akan merusak dirimu, menyibukkan dirimu dengan amalan sia¬-sia, bahkan menjerumuskanmu pada perbuatan yang Allah haramkan.

Hendaklah kita takut pada Allah karena wanita mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi penghuni neraka. Ibnu Abbas dan Imron bin Hushain Radhiyallahu ‘anhum berkata Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah bersabda:

"Aku melihat ke surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya orang-orang fakir, dan aku melihat ke neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya wanita ". (Muttafaq'alaih)

Demikianlah wahai muslimah, sebelum ruh sampai ditenggorokan, pintu taubat masih terbuka untuk kita dan belum ada kata terlambat untuk mulai memperbaiki diri Oleh karena itu kita harus segera mempersiapkan hidup kita untuk akhirat dan tidak terus menerus tenggelam dalam kehidupan yang fana ini. Allahu a'lam.

oleh : Abu Anisah Al-Humairah
Penulis : Ukhtukunna fillah, Ummu Abdillah binti Mursyid
Sumber : Risalah Dakwah Al Atsari, Cileungsi Edisi 13/1420 H Th. 2
URL -> http://darussalaf.or.id/stories.php?id=199

baca seterusnya ....

Minggu, 24 Januari 2010

Membuka Aib


Kita sering menyaksikan ada sekelompok ibu-ibu yang berkumpul, lalu 'nyerempet-nyerempet' bercerita tentang hal-hal yang amat sensitif dan pribadi dari rahasia rumah tangganya, seperti membeberkan masalah hubungan seksualnya dengan sang suami tanpa sedikitpun rasa malu apalagi canggung. Atau membeberkan 'aib sang suami yang tidak boleh diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya, terkadang ada sekelompok bapak-bapak yang membeberkan hal seperti itu.

Apakah hal seperti ini dibolehkan? atau adakah kondisi yang membolehkannya?


Dari Abu Sa'id al-Khudriy, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukanna di Hari Kiamat, adalah seorang laki-laki (suami) yang bercampur (bersetubuh) dengan isterinya, kemudian membeberkan rahasia (isteri)-nya tersebut." (HR.Muslim)
Al-Hirawiy, al-Kalbiy dan selain keduanya berkata, maknanya adalah perbuatan seorang laki-laki (suami) menyendiri (berduaan) dengan isterinya sekalipun tidak menyetubuhinya. Ibn 'Abbas, Mujahid dan as-Suddiy berkata, maknanya adalah jima' (bersetubuh).

Ada beberapa poin penting yang dapat dipetik dari hadits diatas, diantaranya:
  1. Masing-masing dari kedua pasangan suami-isteri memiliki rahasia yang berkenaan dengan hubungan seksual. Rahasia ini biasanya berupa masalah 'pemanasan' yang terjadi antara keduanya ketika akan memulai hubungan seksual atau berkenaan dengan 'aib yang ada pada anggota-anggota badan yang terkait dengan hubungan seksual. Hal ini semua merupakan hal yang paling rahasia diantara keduanya dan keduanya tentu tidak akan menyukai seorangpun mengetahuinya.
  2. Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan label sebagai manusia yang paling jelek di sisi Allah dan paling rendah martabatnya terhadap salah seorang dari kedua pasangan suami-isteri yang mengkhianati amanah yang seharusnya dipegangnya. Yaitu tindakan membeberkan kepada orang-orang hubungan seksual yang terjadi antara keduanya atau membeberkan a'ib dari salah seorang diantara mereka.
  3. Hadits diatas menunjukkan hukum HARAM terhadap tindakan membeberkan rahasia suami-isteri yang amat khusus, yaitu hubungan seksual yang terjadi diantara keduanya sebab orang yang membeberkannya adalah tipe manusia yang paling jelek di sisi Allah.
  4. Islam menganggap hubungan seksual antara suami-isteri sebagai hal yang terhormat dan memiliki tempatnya tersendiri. Oleh karena itu, wajib menjaganya dan hendaknya salah seorang diantara keduanya tidak melampaui batas terhadap hal tersebut dengan membeberkan rahasia salah seorang diantara mereka karena masing-masing sudah saling membebankan amanah agar menjaganya.
  5. Dari sisi yang lain, 'pemanasan' antara suami-isteri ketika akan melakukan hubungan badan merupakan sesuatu yang bebas dilakukan karena hal itu dapat membuat masing-masing saling merespon dan dapat membangkitkan gairah. Namun bilamana salah seorang dari keduanya mengetahui bahwa rahasia-rahasia tersebut akan disebarluaskan dan mengapung di hadapan orang sehingga menjadi ajang ejekan atau kecaman, maka sebaiknya menahan hal itu dan merahasiakannya. Akibat dari hal seperti ini (tidak ada rasa saling percaya antara satu dengan yang lain karena takut dibocorkan rahasianya), jadilah hubungan seksual tersebut dingin dan kurang bergairah bahkan bisa berujung kepada kegagalan sebuah rumah tangga atau kegagalan di dalam menyelesaikan hubungan seksual tersebut.
  6. Para ulama berkata, "Hanya sekedar menyinggung perihal jima' hukumnya makruh bila tidak ada keperluannya dan dibolehkan bila ada perlunya seperti si suami menyebutkan isterinya sudah berpaling darinya atau sang isteri mengklaim bahwa si suami tidak mampu melakukan hubungan seksual, dan semisalnya."
Ada beberapa kondisi yang dikecualikan di dalam menyimpan rahasia tersebut, yaitu bilamana menyimpan rahasia tersebut akan berakibat fatal dan berbahaya bagi orang yang bersangkutan melebihi bahaya bilamana hal itu dibeberkan. Atau terdapat mashlahat yang lebih kuat di dalam membeberkannya ketimbang bahaya menyimpannya.

Dua kondisi ini adalah:

Pertama, Kondisi wajib dibeberkan. Yaitu bertolak dari kaidah "Melakukan salah satu yang paling ringan dari dua bahaya sehingga dapat menghindarkan yang paling berat bahayanya dari keduanya" dan kaidah "Merealisasikan mashlahat umum yang konsekuensinya harus melakukan bahaya yang berskala khusus guna mencegah adanya bahaya yang berskala umum bila memang menjadi kemestian mencegahnya"

Kondisi ini ada dua macam:
a. Mencegah suatu kerusakan terhadap masyarakat
b. Mencegah suatu kerusakan terhadap individu

Kedua, Kondisi boleh dibeberkan, karena:
a. Mengandung mashlahat bagi masyarakat
b. Dapat mencegah kerusakan yang berskala umum

Di dalam kondisi-kondisi tersebut, wajib berkomitmen dengan prinsip-prinsip syari'at dan prioritasnya dari sisi menjaga dien, jiwa, akal, harta dan keturunan.

Pengecualian-pengecualian terkait dengan kondisi wajib atau boleh dibeberkan tersebut harus dibuat secara tertulis dan legal di dalam kode etik menjalankan profesi terkait, baik kedokteran ataupun lainnya secara jelas dan transparan serta rinci. Wallahu a'lam.

oleh :Rohimin al Asror
Sumber: Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm karya
Syaikh 'Abdullah al-Bassam, Jld. IV, h.449-451


baca seterusnya ....

Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah [3]

Nama-nama Al-Fiqotun Naajiyah dan Artinya

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan diantara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut.

  1. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.(Telah terdahulu keterangannya)
  2. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.(Telah terdahulu keterangannya)
  3. Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
  4. Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”. (Telah terdahulu keterangannya).

Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka yang setia.
baca seterusnya ....

Kamis, 21 Januari 2010

Berhias dengan Al Waqar

Al-Waqar adalah sebagaimana didefinisikan oleh Al-Jahizh : “Al-Waqar adalah menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan, banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan ; sedikit amarahnya, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab, menjaga diri dari ketergesaan, dan bersegera dalam seluruh perkara.” [Tahdzibul Akhlaq ; hal.22]

Rosulullah menyukai umatnya berhias dengan akhlaq ketenangan dan al-waqar, bahkan ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju sholat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam, “Jika kalian telah mendengar iqomat, maka berjalanlah menuju sholat. Dan hendaklah kalian bersikap sakinah dan waqar. Janganlah kalian tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan maka sholatlah, dan apa yang terluput dari kalian sempurnakanlah.” HR. Bukhari dan Muslim

Imam An-Nawawi berkata sebagaimana disebutkan dalam Al-Fath (2/139) : “Perbedaan antara sakinah dan waqar, bahwa sakinah ialah pelan-pelan/tidak tergesa-gesa dalam gerakan dan menjauhi kesia-siaan, sedangkan waqar ialah dalam penampilan, seperti menundukkan pandangan, menjaga suara, dan tidak menoleh.”

Rosulullah juga mengabarkan bahwasanya tiada satu nabi pun yang diutus oleh Allah melainkan pasti menggembala kambing. Hal itu karena akibat yang diperoleh dengan menggembala kambing berupa kasih sayang, simpati, dan memperoleh sakinah dan waqar.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah bersabda , “Kecongkakan dan kesombongan berada pada pemilik onta, sedangkan as-sakinah dan al-waqar berada pada pemilik kambing.” HR. Bukhari dan ini adalah lafadznya Muslim

Hal-hal yang bisa membantu dalam meraih al-waqar diantaranya :

Ilmu dan mengamalkannya
Al-Hasan rahimahullah berkata : “Dahulu seseorang mencari ilmu, lalu tak lama kemudian hal itu terlihat dalam khusyu’nya, hadyu-nya, lisannya, penglihatannya dan kebajikannya.” [Syu'abul Iman 8/427]

Mengagungkan Allah ‘azza wa jalla
Barangsiapa menginginkan al-waqar, maka dia harus mengagungkan Alloh dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang tidak mengagungkan Allah dalam kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya dengan mengilmuinya dan beradab dengan adab keduanya, maka sesungguhnya Allah tidak akan melemparkan waqar maupun kewibawaan untuknya ke dalam hati manusia. Bahkan waqar dan kewibawaannya akan gugur dari hati mereka.

Malu
Waqar merupakan salah satu buah dari rasa malu. Diriwayatkan dari Busyair bin Ka’b, dia berkata : “Tertulis didalam hikmah, ‘Sesungguhnya diantara rasa malu adalah waqar, dan sesungguhnya diantara rasa malu adalah sakinah’.” HR. Bukhari (6117)

Tetap Diam

Tetap diam kecuali dari kebenaran untuk kamu terangkan, atau kebatilan untuk kamu bantah, atau sesuatu yang memang engkau punya kepentingan terhadapnya.Sebagian orang yang fasih mengatakan : “Tetaplah diam, karena hal itu akan membuatmu memperoleh ketulusan cinta, memberimu rasa aman dari akibat yang jelek, memakaikanmu pakaian al-waqar, dan mencukupkanmu dari beban meminta maaf.” [Adabud Dunya wad Din hal.275]

Itulah beberapa perkara yang bisa membantu dalam meraih al-waqar. Pantaslah seorang muslim melatih dirinya dengan perkara-perkara tsb sehingga menjadi tabiat dan karakternya. Diantara orang yang padanya terkumpul sifat-sifat tsb secara keseluruhan adalah Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah, hingga dikatakan tentangnya : Dia tidak menjawab, namun tidak ada yang mengulangi (permintaan untuk menjawab) karena kewibawaan dan para penanya dalam keadaan menundukkan dagu. Cahaya kewibawaan dan kemuliaan kekuatan taqwa maka diapun disegani padahal dia bukanlah raja.

oleh : Aisyah Ummu 'Abdillah Al-Malawiyyah
-diringkas dari kitab At-Tajj al Mafquud karya Faishal bin Abduh Qa’id Al-Hasyidi ; edisi bahasa indonesia “Mahkota yang Hilang”

baca seterusnya ....

Pintu-Pintu Masuknya Setan

Hati manusia bagaikan benteng sedangkan syetan adalah musuh yang senantiasa mengintai untuk menguasai benteng tersebut. Kita tidak bisa menjaga benteng kalau tidak melindungi atau menjaga/menutup pintu-pintu masuknya syetan ke dalam hati. Kalau kita ingin memiliki kemampuan untuk menjaga pintu agar tidak diserbu syetan, kita harus mengetahui pintu-pintu mana saja yang dijadikan syetan sebagai jalan untuk menguasai benteng tsb.

Melindungi hati dari gangguan syetan adalah wajib oleh karena itu mengetahui pintu masuknya syetan itu merupakan syarat untuk melindungi hati kita maka kita diwajibkan untuk mengetahui pintu-pintu mana saja yang dijadikan jalan untuk menguasi hati manusia.

Pintu tempat masuknya syetan adalah semua sifat kemanusiaan manusia yang tidak baik. Berarti pintu yang akan dimasuki syetan sebenarnya sangat banyak, Namun kita akan membahas pintu-pintu utama yang dijadikan prioritas oleh syetan untuk masuk menguasai manusia. Di antara pintu-pintu besar yang akan dimasuki syetan itu adalah:

Rata Penuh Marah
Marah adalah kalahnya tentara akal oleh tentara syetan. Bila manusia marah maka syetan bisa mempermainkannya seperti anak-anak mempermainkan kelereng atau bola. Orang marah adalah orang yang sangat lemah di hadapan syetan.

Hasad
Manusia bila hasud dan tamak menginginkan sesuatu dari orang lain maka ia akan menjadi buta. Rasulullah bersabda:" Cintamu terhadap sesuatu bisa menjadikanmu buta dan tuli" Mata yang bisa mengenali pintu masuknya syetan akan menjadi buta bila ditutupi oleh sifat hasad dan ketamakan sehingga tidak melihat. Saat itulah syetan mendapatkan kesempatan untuk masuk ke hati manusia sehingga orang itu mengejar untuk menuruti syahwatnya walaupun jahat.

Perut kenyang
Rasa kenyang menguatkan syahwat yang menjadi senjata syetan. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Iblis pernah menampakkan diri di hadapan Nabi Yahya bin Zakariyya a.s. Beliau melihat pada syetan beberapa belenggu dan gantungan pemberat untuk segala sesuatu seraya bertanya. Wahai iblis belenggu dan pemberat apa ini? Syetan menjawab: Ini adalah syahwat yang aku gunakan untuk menggoda anak cucu Adam.Yahya bertanya: Apa hubungannya pemberat ini dengan manusia ?
Syaitan menjawab: Bila kamu kenyang maka aku beri pemberat sehingga engkau enggan untuk sholat dan dzikir. Yahya bertanya lagi: Apa lainnya? Tidak ada! Jawab syetan. Kemudian Nabi Yahya berkata: Demi Allah aku tidak akan mengenyangkan perutku dengan makanan selamanya. Iblis berkata, Demi Allah saya tidak akan memberi nasehat pada orang muslim selamanya.

Kebanyakan makan mengakibatkan munculnya enam hal tercela:
  • Menghilangkan rasa takut kepada Allah dari hatinya.
  • Menghilangkan rasa kasih sayang kepada makhluk lain karena ia mengira bahwa semua makhluk sama kenyangnya dengan dirinya.
  • Mengganggu ketaatan kepada Allah
  • Bila mendengarkan ucapan hikmah ia tidak mendapatkan kelembutan
  • Bila ia bicara tentang ilmu maka pembicaraannya tidak bisa menembus hati manusia.
  • Akan terkena banyak penyakit jasmani dan rohani
Cinta perhiasan dan perabotan rumah tangga
Bila syetan melihat hati orang yang sangat mencintai perhiasan dan perabotan rumah tangga maka iblis bertelur dan beranak dan menggodanya untuk terus berusaha melengkapi dan membaguskan semua perabotan rumahnya, menghiasi temboknya, langit-langitnya dst. Akibatnya umurnya habis disibukkan dengan perabotan rumah tangga dan melupakan dzikir kepada Allah.

Tergesa-gesa dan tidak melakukan re-cek
Rasulullah pernah bersabda: Tergesa-gesa termasuk perbuatan syetan dan hati-hati adalah dari Allah SWT. Allah berfirman: "Manusia diciptakan tergesa-gesa" dalam ayat lain dditegaskan: "Sesungguhnya manusia itu sangat tergesa-gesa. Mengapa kita edilarang tergesa-gesa? Semua perbuatan harus dilakukan dengan pengetahuan dan penglihatan mata hati. Penglihatan hata hati membutuhkan perenungan dan ketenangan. Sedangkan tergesa-gesa menghalangi itu semua. Ketika manusia tergesa-gesa dalam melakukan kewajiban maka syetan menebarkan kejahatannya dalam diri manusia tanpa disadari.

Mencintai harta
Kecintaan terhadap uang dan semua bentuk harta akan menjadi alat hebat bagi syetan. Bila orang memiliki kecintaan kuat terhadap harta maka hatinya akan kosong. Kalau dia mendapatkan uang sebanyak satu juta di jalan maka akan muncul dari harta itu sepuluh syahwat dan setiap syahwat membutuhkan satu juta. Demikianlah orang yang punya harta akan merasa kurang dan menginginkan tambahan lebih banyak lagi.

Ta'assub bermadzhab dan meremehkan kelompok lain
Orang yang ta'assub dan memiliki anggapan bahwa kelompok lain salah sangat berbahaya. Orang yang demikian akan banyak mencaci maki orang lain.
Meremehkan dan mencaci maki termasuk sifat binatang buas. Bila syetan menghiasi pada manusia bahwa taassub itu seakan-akan baik dan hak dalam diri orang itu maka ia semakin senang untuk menyalahkan orang lain dan menjelekkannya.

Kikir dan takut miskin
Sifat kikir ini mencegah seseorang untuk memberikan infaq atau sedekah dan selalu menyeru untuk menumpuk harta kekayaan dan siksa yang pedih adalah janji orang yang menumpuk harta kekayaan tanpa memberikan haknya kepada fakir miskin. Khaitsamah bin Abdur Rahman pernah berkata: Sesungguhnya syaitan berkata: Anak cucu Adam tidak akan mengalahkanku dalama tiga hal perintahku: Aku perintahkan untuk mengambil harta dengan tanpa hak, menginfakkannya dengan tanpa hak dan menghalanginya dar hak kewajibannya (zakat).
Sufyan berkata: Syetan tidak mempunyai senjata sehebat senjata rasa takutnya manusia dari kemiskinan. Apabila ia menerima sifat ini maka ia mengambil harta tanpa hak dan menghalanginya dari kewajiban zakatnya.

Memikirkan Dzat Allah
Orang yang memikirkan dzat Allah tidak akan sampai kepada apa yang diinginkannya ia akan tersesat karena akal manusia tidak akan sampai kesana. Ketika memikirkan dzat Allah ia akan terpeleset pada kesyirikan.

Buruk-sangka terhadap orang Islam
Sifat ini mengakibatkan kebencian dan perpecahan persaudaraan umat Islam sehingga akan menghancurkan umat Islam.

oleh : a b i


baca seterusnya ....

Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah [2]


Al Firqotun Najiyah adalah Ahlussunnah wal Jama'ah

Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).

Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.

“Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.

Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :

“Padahal milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).

Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.

“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran : 72).

Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.

Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).

Sampai pada firman Allah,

“Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).

Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).

Dan firman-Nya pula,

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).

Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.

“Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).

Dan sabdanya pula,

“Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).

Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.

“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy).

Perawi hadits ini berkata : “saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali”.

Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.

Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.

Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.

“Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini” (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).

Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.

“Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).

Oleh : Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
baca seterusnya ....

Kamis, 14 Januari 2010

Salman al Farisi


Jalan terjal dilalui Salman dalam meruntut jejak Tuhannya. Terpisah dari orang yang dicintai, dirampok, dan menjadi budak. Lalu turunlah rahmat Allah sebagai hadiah atas kesabarannya.
Salman al-Farisi adalah sahabat Rasul yang mahir mengatur strategi perang. Ia terkenal cerdas, seperti sahabat Nabi lain yang berasal dari Persia. Ini dibuktikan saat terjadi Perang Khandaq. Menghadapi pasukan musuh yang berkoalisi, umat Islam berhasil meraih kemenangan. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak-poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman disertai pertolongan Allah yang mendatangkan angin topan. Musuh-musuh agama Allah itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa karena kalah. Sejak itu nama Salman makin bersinar di kalangan sahabat. Pemuda dengan rambut panjang dan tubuh kekar itu memiliki kecerdasan akal.

Salman berasal dari Isfahan, tepatnya sebuah tempat yang bernama Jai di Persia. Ia dibesarkan dari lingkungan keluarga berkecukupan. Seluruh keperluan hidupnya terpenuhi. Ia anak kesayangan orang tuanya. Bapaknya adalah tokoh berpengaruh dalam kabilahnya, yaitu sebuah masyarakat yang menyembah dan menjadikan api sebagai Tuhan alias Majusi atau Zoroaster. Salman termasuk penyembah api yang setia. Sebagian hidupnya ia sedekahkan bagi kemuliaan agama leluhur. Merelakan dan menyerahkan dirinya menjaga api untuk tetap menyala.
Sebagai orang kaya dan terhormat, orang tua Salman memiliki banyak tanah. Bahkan karena banyak lahan yang dimiliki, ayah Salman tidak mungkin memeriksa tanahnya satu per satu. Kerap ia meminta Salman melakukan pekerjaan mengontrol sawah dan perkebunan itu.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju kebun, Salman melewati sebuah gereja yang padat dengan
jamaah. Mereka tengah khusyuk melakukan ibadah. Heran dan kagum tumbuh dalam hati Salman begitu menyaksikan cara sembahyang yang belum pernah dilihatnya. Cara beribadah lain yang membuat hati Salman penasaran. Ia mengikuti kemauan kakinya melangkah untuk masuk ke dalam gereja tersebut. Makin dalam ia melangkah ke dalam gereja, tiba-tiba hatinya berbisik, menyatakan, cara sembahyang yang dilihatnya jauh lebih baik dari cara masyarakatnya selama ini.
Sehari lamanya Salman memperhatikan prosesi ibadah di gereja itu hingga lupa akan tugas yang diberikan sang bapak. Ia bahkan lupa pulang ke rumah sehingga orang tuanya mengutus pesuruh untuk menjemput. Ketika kembali ke rumah gundah hatinya makin kuat terutama keraguan yang muncul dari lubuk hatinya setelah ia menyaksikan cara beribadah agama yang berasal dari Syuriah itu. Sesampainya di rumah, bukan keadaan kebun yang dilaporkan Salman kepada sang bapak. Ia malah bercerita tentang pengalaman yang dijumpainya di gereja. Mendiskusikan dengan bapaknya, bahkan memuji agama baru itu di depan orang tuanya sehingga tak tahan. Ia lantas merantai dan mengurung Salman di sebuah gudang.

Perlakuan yang diterima membuat Salman meyakini kebenaran agama Nasrani terutama setelah sang bapak berbuat kasar karena kalah dalam diskusi. Salman lantas mengirim berita kepada jemaah pemeluk agama dari Syuriah itu. Ia menyatakan, dirinya telah menyembah Allah, seperti mereka. Ia juga meminta agar memberitahukan kepadanya bila ada rombongan Nasrani dari Syuriah yang datang agar bisa turut serta dengan mereka bila hendak kembali ke Syuriah suatu hari nanti. Di luar dugaan, permintaan itu dipenuhi. Suatu hari datang kabar dari seorang pembantu Salman yang masih setia. Ia mengatakan, serombongan orang Syuriah akan kembali ke negara mereka. Berita itu sontak membuat hati Salman berbunga-bunga. Ia sangat gembira menerima berita itu. Angannya menerawang, membayangkan betapa ia bakal menjalani perjalanan yang menyenangkan. Dengan sekuat tenaga diputusnya rantai yang membelenggu. Ia mendobrak gudang tempat ia dipasung. Lantas melarikan diri ke Syuriah bersama rombongan yang hendak menuju ke negara asal agama Nasrani itu. Selama menempuh perjalanan, semua hal yang terkait dengan agama Nasrani ia tanyakan kepada rombongan, satu per satu, dengan perasaan yang bahagia.
Sampai di sana, Salman menanyakan orang yang ahli dan tekun menjalankan agama mereka. “Orang itu adalah uskup dan pemimpin gereja,” kata mereka memberi jawab. Salman lalu datang kepadanya dan menceritakan kisah yang sudah dijalani, lantas menyerahkan diri dan mengabdi kepada uskup, sang pemimpin agama itu. Setelah beberapa saat, Salman sadar akan perilaku buruk uskup itu. Meski sering berkhotbah, ia selalu menipu umatnya. Uskup itu mengumpulkan harta dengan alasan untuk amal buat dibagikan kepada orang miskin. Tetapi setelah harta itu terkumpul, sang uskup malah menyimpan untuk kepentingan diri sendiri. Hal itu terjadi berulang kali dan diketahui Salman secara pasti. Penipuan tersebut terjadi berkali-kali, terus-menerus, hingga sang uskup meninggal.
Sepeninggal uskup, masyarakat mengangkat pemimpin gereja yang baru. Ia orang yang baik dalam berperilaku. Saleh menjalankan perintah agama. Selalu tepat waktu melaksanakan peribadatan. Perilaku ini membuat Salman kagum. Secara pelan tumbuh rasa cinta dan keikhlasan membantu uskup itu mengembangkan agama Nasrani. Terutama karena yang dilakukan dan yang dikatakan uskup sama benar dan baiknya. Sehingga ia rela melayani kebutuhan uskup itu setiap hari dengan ikhlas. Bertahun-tahun Salman melayaninya hingga datang waktu uskup itu menjelang ajalnya.

Sebelum datang kematiannya, Salman menemuinya, “Ke mana sebaiknya saya pergi, untuk mengabdi sekaligus belajar agama kepada orang seperti Anda?” tanya Salman dengan suara parau. Uskup itu menjawab, “Aku tidak mengerti ke mana seharusnya kamu pergi, anakku. Tetapi sepengetahuanku, tidak ada orang yang berperilaku sepertiku, kecuali seorang yang hidup dan tinggal di Mosul.”
Salman akhirnya berangkat ke Mosul, wilayah Irak. Sesampainya di sana ia ceritakan kisah perjalanan hidupnya. Ia mengabdi kepada orang yang ditunjukkan uskup sebelumnya sampai datang saat ajal hendak menjemput orang itu. Sebelum uskup itu meninggal Salman telah bertanya, ke mana ia harus pergi sepeninggalnya nanti. Orang itu berkata agar Salman pergi ke Amurian di Byzantium. Sesampainya di sana, Salman segera menemui orang yang ditujunya. Hingga ia tinggal, mengabdi, sembari beternak lembu dan domba.
Ketika dia harus meninggalkan Byzantium karena ajal telah mendekati bapak angkatnya, Salman gundah. Ia tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya, ayah angkat itu pun berkata, “Hai anakku, aku tidak tahu siapa orang yang sejalan denganku sehingga aku tidak tahu ke mana kau harus pergi. Tetapi kau sudah dekat dengan masa di mana akan datang nabi pengikut Nabi Ibrahim. Ia akan hijrah ke tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Ikutilah dia. Karena dia mudah dikenali. Ia tidak makan sedekah, tetapi ia mau menerima hadiah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda-tanda kenabian.”

Pada hari berikutnya, secara kebetulan lewat serombongan orang yang menuju ke Jariah Arab. “Aku berikan domba dan lembu ini pada kalian jika kalian mau membawaku ke negeri asal kalian,” kata Salman kepada pemimpin rombongan. Mereka setuju membawa Salman turut serta. Sehingga sampailah Salman di Wadi Al-Quro.

Tetapi hati Salman sedih. Ia merasa telah ditipu. Sebab, ternyata mereka telah menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak belian. Begitupun Salman masih berharap. Ia yakin, pesan yang disampaikan bapak angkat yang terakhir bakal menjadi kenyataan. Karena dia melihat banyak pohon kurma tumbuh di sekitarnya. Tetapi impian itu ternyata masih jauh dari kenyataan. Karena ia tetap tinggal di Wadi Al-Quro, bersama orang Yahudi yang membelinya. Setiap hari ia harus bekerja sebagai budak. Berbagai pekerjaan berat harus dia lakukan. Sekali saja membantah majikan, tangan, cambuk, atau caci maki, pasti akan diterimanya. Itu berjalan terus-menerus.

Seperti sudah digariskan, beberapa lama setelah itu, Salman dijual pemiliknya. Kali ini ia dibeli orang dari Bani Quraidhah yang tinggal di Medinah. Suatu hari, ketika dia sedang memetik kurma, datang sepupu tuannya sambil terbirit-birit. Ia mengabarkan, “Aku lihat dengan mataku sendiri, banyak orang berkerumun mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.” Secara tidak sadar tubuh Salman bergetar setelah mendengar berita itu. Ia bahkan nyaris terjatuh menimpa tuannya yang ada di bawah. Pada malam harinya, Salman segera mengumpulkan barang-barang yang ia punya. Lantas pergi ke Quba, pinggiran kota Yastrib, untuk menemui laki-laki yang disebut nabi itu.

“Saudara-saudara adalah pendatang. Saya yakin, Tuan-tuan memerlukan makanan. Terima dan makanlah sedekah saya ini,” kata Salman. Seseorang dari mereka lantas menerima makanan itu.
Lalu ia menyerahkan makanan sedekah itu kepada para sahabat. Sementara Nabi sendiri tidak ikut menikmatinya. Keesokan harinya Salman kembali menemui rombongan itu. “Saudaraku, semalam saya melihat Anda tidak mau makan sedekah yang aku berikan, terimalah ini makanan dariku sebagai hadiah buat Anda,” kata Salman dengan hati-hati. Tak lama berselang, orang yang semalam menerima itu kembali menerima bingkisan yang dibawa Salman. “Atas nama Allah makanlah hadiah ini,” kata sipenerima sembari ikut menikmati makanan yang diterimanya.

Pada hari yang lain Salman kembali datang. Dillihatnya, orang yang sudah dua kali menerima makanannya mengenakan dua lembar kain dipundak. Sembari membungkuk, Salman mengucap salam kepadanya. Tanpa dinyana, orang itu malah menyingkapkan kain penutup itu, sehingga terlihat tanda-tanda kenabian, seperti yang disampaikan pendeta Nasrani itu. Lutut Salman lantas bergetar hebat. Ia lantas semakin mendekat ke arah Rasulullah, menangis, seraya mencium tangannya. Menceritakan semua kisah dan kejadian yang telah dia alami. Seketika itu ia menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
baca seterusnya ....

L i d a H

Bahaya Lidah

Allah Ta’ala berfirman:

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya ada raqib atid.” (QS.Qaf: 18)

Raqib adalah malaikat yang selalu menyertainya dan atid maknanya yang hadir di sisinya.

Dari Sahl bin Sa’ad As-Saidi -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa yang menjamin untukku bisa menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya (janggut dan kumis) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka aku menjamin surga untuknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)

Yang berada di antara janggut dan kumis adalah lidah, dan yang berada di antara dua kaki adalah kemaluan.

Dan dalam hadits Muadz bin Jabal tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyebutkan masalah Islam, rukun Islam, dan jihad di jalan Allah. Muadz berkata di akhir hadits:“Kemudian beliau bersabda, “Inginkah kuberitahukan kepadamu penegak dari semua amalan itu?” aku (Muadz) menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya seraya bersabda, “Tahanlah ini,” aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami betul-betul akan disiksa akibat ucapan kami?” beliau menjawab, “Kasihan kamu wahai Muadz, apakah ada yang menjerambabkan manusia di dalam neraka di atas wajah-wajah mereka kecuali buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!” (HR. At-Tirmizi no. 2616 dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Penjelasan ringkas:

Allah Ta’ala berfirman mengingatkan nikmat-Nya, “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua mata, satu lidah, dan dua bibir.” Maka lidah termasuk dari nikmat terbesar dari Allah kepada hamba yang dengannya mereka bisa mengungkapkan isi hati dan keinginan mereka. Hanya saja nikmat yang besar ini bisa menjadi sesuatu yang akan membinasakan pemiliknya di dunia dan di akhirat. Dia bisa menjadi sebab terbesar masuknya seseorang ke dalam surga, tapi sebaliknya dia juga bisa menjadi sebab terbesar yang menggelincirkan seseorang ke dalam neraka. Karenanya tidak akan sempurna keislaman seseorang sampai dia meyakini bahwa semua ucapan yang keluar dari mulutnya akan dia pertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan dia tidak akan mendapatkan inti dari ajaran Islam selama dia tidak menjaga lisannya.

Kewajiban Menjaga Lidah

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu bersikap pada apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra`: 36)

Maksudnya: Janganlah kamu berucap pada sesuatu yang kamu tidak punya ilmu padanya. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/39)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kaum muslimin manakah yang paling utama?” maka beliau menjawab:“Siapa yang kaum muslimin lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa dia mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:“Seorang hamba betul-betul mengucapkan sebuah ucapan yang dia belum jelas padanya, maka ucapan tersebut membuat dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR.Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Makna dia belum jelas padanya adalah dia belum berfikir apakah ucapan tersebut merupakan kebaikan atau bukan.

Dari Sufyan bin Abdillah -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku satu perkara yang aku bisa berpegang teguh kepadanya,” beliau menjawab, “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, perkara apa yang paling kamu khawatirkan akan menimpaku?” maka beliau memegang lidahnya sendiri kemudian bersabda, “Ini.” (HR. At-Tirmizi no. 2410 dan asalnya dalam riwayat Muslim)

Dari Uqbah bin Amir -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu keselamatan?” beliau menjawab: “Tahanlah lidahmu, hendaknya rumahmu menjadi luas bagimu, dan tangisilah dosa-dosamu.” (HR.At-Tirmizi no. 2406 dan dia berkata, “Hadits asan.”)

Maksudnya: Hendaknya kalian tetap tinggal di rumah kalian.

Penjelasan ringkas:

Tanda kesempurnaan islam adalah kemampuan untuk menjaga lidah dari mengucapkan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya. Karenanya barangsiapa yang bisa menjaga lidahnya maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itulah Nabi -alaihishshalatu wassalam- senantias mengingatkan para sahabatnya -padahal mereka adalah orang yang dekat dengan beliau- agar selalu memperhatikan lidahnya, jangan sampai lidah tersebut menimbulkan kejelekan bagi dirinya, tatkala pada hari kiamat dia tidak bisa mempertanggung jawabkan semua ucapan yang keluar dari mulutnya. Maka lidah bisa memasukkan seseorang ke dalam surga akan tetapi dia juga bisa menjerumuskan pemiliknya jauh ke dalam neraka, wal’iyadzu billah.

oleh Al-Ustadz Abu Muawiah -hafidzahullah

sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1446
baca seterusnya ....

Tauhid, Hak Allah atas Semua Manusia

Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman :

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Ad-zaariyaat: 56)

Sebagian ulama menafsirkan kalimat: "supaya menyembah-Ku" dengan makna: "supaya mentauhidkan-Ku" (Lihat Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)

Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al-An`aam:88)

"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta`ala.

Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.

Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.

Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan.

Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.

Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.

Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.

Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.

Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (Thoha: 132)

Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.

Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.

Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun." (Al-Maaidah: 72)

Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk." (Al-An`aam: 82)

Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rosulullah shollallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhori)

Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:

"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)
baca seterusnya ....

Selasa, 12 Januari 2010

Z i k i r


Sungguh, manakala pengamalan zikir telah meresap di dalam hati seorang hamba Allah, maka buah zikir itu akan tampak tanda-tandanya dalam setiap perbuatan dan perkataannya. Lidah orang ahli zikir tidak mempercakapkan kecuali nama-Nya. Tubuh mereka tidak bergerak kecuali untuk menjalankan perintah-Nya, dan pikiran mereka tidak berkembang menjadi tindakan kecuali untuk-Nya. Kehidupan batin mereka bersih dari kotoran. Kata-katanya bebas dari kebohongan, kekejian, hasutan dan fitnah. Pikirannya bening, bersinar dan memancarkan kebenaran karena mendapat petunjuk dari Tuhan. Pendeknya, lidah mereka mengutarakan apa yang dikandung hati, dan hati mereka milik rahasia batin, dan rahasia batin adalah milik Allah.

Zikir yang dilakukan secara teratur akan menuntun pelakunya senantiasa mampu mengendalikan hati dan pikirannya, dapat menjernihkan pikiran dan kesadaraanya untuk memahami akan keberadaan dirinya. Memang, melakukan zikir yang khusu’ dengan penuh perasaan dan berkosentrasi pada Allah tidaklah mudah. Tetapi dengan melakaknnya secara teratur dan kesinambungan, tentu dapat melatih pikiran seseorang untuk tertuju kepada satu zikir titik tujuan yaitu Allah SWT. Karena sesungguhnya bermujahadah melalui dzikir akan membikin hati dan pikiran seseorang tidak menyimpang ingatan selain ingat pada Allah semata. Itulah sebabnya, para ahli zikir sangat menyakini akan fadilah-fadilah zikir, yang tak terhingga banyaknya. Diantaranya ialah : Tidak akan disempitkan kehidupannya dan bisa menjauhkan sifat kufur, memperbarui iman, menjadi bukti kecintaan pada Allah, mendekatkan diripadaNya , menjadi benteng iman, menjauhkan sifat sifat kemunafikan, membersihkan hati dari kecintaan terhadap dunia, membukakan keajaiban hati, menjadi pelupur duka dan lara serta menambah khusyu’. Disamping itu masih banyak lagi manfaat dzikir, seperti dijamin bahwa iman dalam hati orang yang kekal dzikirnya menjadi bercahaya, ia mudah menerima Nur (cahaya Allah) dimudahkan dari segala kesukaran, mudah menerima kebaikan dimana ia berada, dimurahkan dan diberkahi rezekinya oleh Allah, dikabulkan do’a-do’anya, dan Allah akan meluluskan segala hajatnya.

Allah telah menyuruh orang-orang beriman untuk selalu berdzikir, mendekatkan diri kepada-Nya dengan rasa cinta, keprasahan dan penuh kedamaian. Allah berfirman :

“Hai orang orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang “ (QS. AL Ahzab: 41-42)

Kemudian ditegaskan pula bahwa apapun yang dibisikkan oleh hati seseorang, Allah mengetahuinya, dan Dia selalu lebih dekat kepada manusia dari pada urat nadinya sendiri.(QS. Qaaf: 16). Tentu saja, kedekatan ini bukan berarti dekatnya jarak, karena sama sekali Allah tidak dibatasi oleh suatu jarak.

Dzkir, meskipun tidak termasuk ibadah fardhu namun sangat dianjurkan dalam Islam. Disebabkan keutamaan yang terkandung didalam dzikir sangat banyak, terutama untuk meningkatkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Apalagi dunia modern dewasa ini sudah menjadi terlalu rasional dan cenderung materialistis, sehingga manusia merasakan penat dan ingin kembali ke hal-hal religius untuk merengguk kesejukan agama melalui dzikir. Karena di dalamnya menjanjikan kedamaian akibat pengaruh psikologis yang dikandungnya. Firman Alloh :

Ingatlah dengan berdzikir kepada Alloh hati akan menjadi tenang. ( QS. Ar Ra’ad: 28)

Pendek kata, masyarakat modern memang haus dengan perilaku kerohanian. Setelah kepuasan dunia terpenuhi, mereka membutuhkan kepuasan lain, yaitu kenikmatan rohani. Mereka butuh keseimbangan hidup. Karena kehidupan manusia di dunia tidak hanya untuk memberikan kesenangan material semata, tapi perlu keseimbangan dan keserasian, yakni dapat menyerasikan lahir dan bathin serta mencapai kebahagian dan keselamatan dunia akhiratnya.
Manusia akan menemukan tingkat kedeketan pada Allah, selagi ia terus menerus dalam dzikir, dan terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa melupakan Tuhan. Karena dzikir dapat menjadi penghubung antara hamba dan Tuhan, dan merupakan kunci pembuka tabir yang menutupi hubungan hamba dengan Tuhan. Tabir yang disebabkan kekotoran hati manusia dapat disucikan dengan alat pensuci dzikrullah, sehingga terbukalah hijab, dan hati menjadi dekat dengan Allah.

Rasullah SAW. Bersabda :

“Bahwasanya bagi tiap-tiap sesuatu itu ada alat untuk mensucikannya dan alat mensucikan hati itu ialah dzikrullah.”

Dalam hadis lain disebutkan :

‘Janganlah kamu memperbanyak pembicaraan tanpa ingat kepada AllahST. Sesungguhnya banyak pembicaraan tanpa mengingat Allah akan menimbulkan kekerasan hati, dan sesunguhnya sejauh-jauhnya manusia dari Allah adalah hati yang kesat.”

Dzikir merupakan tiang yang kuat untuk menuju Allah, juga sebagai langkah utama menuju jalan cinta kepada Allah. Sebab orang tak dapat mencapai rasa cinta, tanpa mengingat-Nya terus menerus. Orang yang beriman dan cinta kepeda Allah hatinya selalu dihiasi dengan dzikrullah. Karena dzikir telah dijadikan santapan bagi jiwa mereka. Hidup tanpa terus mengingat Allah akan mengakibatkan robohnya bangunan spiritual yang menjadi penyanggah utama stabilitas mental seseorang.

Jadi sebenarnya, manusia itu bisa mencapai mahabbah Ilahiyah dengan menempuh jalan dzikrullah. Allah sendiri telah memberi petunjuk dan menerangkan cara cara berdzikir kepadaNya, dan dianjurkan Nya supaya orang orang mukmin memperbanyak zikir. Dalam kitab Salalimul Fudlola’ disebutkan, salah satu waktu yang tepat untuk berdzikir adalah setelah selesei melaksanakan sholat Shubuh. Waktu tersebut hendaknya diisi dengan pembacaan dzikir, tasbih, doa dan ayat-ayat al Qur’an hingga matahari terbit. I

Rosulullah bersabda :

barang siapa yang sholat Shubuh dengan berjama’ah lalu duduk dengan berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit kemudian ia sholat dua Reka’at, maka ia akan memperoleh pahala sebagaimana pahalanya Haji dah Umaroh.

Dari itulah, maka bila ada hamba Allah yang mulazamah(terus menerus) menjalankan dzikir, janganlah sekali-kali meremahkan. Sebab bagaimanapun orang yang demikian itu sudah tergolong orang-orang yang memperoleh inayah berupa Nur Ilahi didalam dirinya. Betapa tidak? Tatkala hati seseorang tergetar dan lidahnya bergerak karena dzikir berarti Allah telah menganugerahi cahaya iman kepadanya dan menambah kokoh keyakinannya. Maka perbanyaklah dzikrullah dan ber-muraqabatu Hudhurihi (mengintai ngintai kehadiranNya). Umpamanya dengan selalu menjalankan wirid, yaitu segala kegiatan ibadah yang secara teratur dan tekun dilakkan karena Allah, seperti solat solat sunnah, puasa, zikir, do’a dan sebagainya. Sebaiknya jangan sampai diri seorang melupakan dzikir, meskipun disaat zikir belum tentu hatinya ingat kepada Allah. Tetapi itu masih jauh lebih baik dairi pada meninggalkan sama sekali. Sebab kelalaian hati terhadap Allah ketika tidak berzikir. Karena pada saat jiwa seseorang tidak mengingat Tuhannya, maka setan leluasa membisiknya agar melakukan larangan larangan Nya. Sebaliknya, orang yang ingat kepada Allah dengan sebenar benarnya, pasti ia tak akan terjerumus dalam maksiat dan dosa. Sebab, waktu ia mengucapkan nama Allah akan terbukalah hatinya dan bertambalah imannya, sehingga hati pun tertuju pada hal hal yang hak. Itulah sebabnya dalam ilmu tasauf dikatakan, bahwa kalau diringkas, sebenarnya jalan kepada Allah dalam metode suluk itu hanya melalui dua usaha. Pertama, mulazamah, yaitu terus menerus dalam dzikrullah. Kedua, mukhalafa, yaitu terus menerus menghindarkan diri dariu segala sesuatu yang dapat melupakan Allah, dimana jika hati dilalaikan oleh gangguan setan ataupun dorongan nafsu hendaklah dilaan dengan dzikrullah.
Tersebut dalam hadist :

“Diriwayatkan dari Aisyah ra. Sesungguhna dia berkata: “Barang siapa cinta kepada Allah SWT. Niscaya ia banyak zikir kepadaNya. Dan buahnya adalah Allah akan selalu mengingatnya dengan rahmat dan ampunanNya, serta akan memasukkannya kedalam surga bersama para Nabi dan orang orang yang dicintaiNya “

baca seterusnya ....

Peristiwa Karbala dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Urgensi Sanad

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : "Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat Radhiyallahu 'anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen). Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu 'anhum ini ma'dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”

Ahlussunah wal Jama'ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, "Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang" Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal.

'Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, "Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya." Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih beliau rahimahullah.

Di tempat yang sama, Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin, "Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan, "Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya" !

Kronolodi Terbunuhnya Husain Radhiyallahu 'Anhuma

Berkait dengan peristiwa Karbala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain Radhiyallahu 'anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap 'Utsman Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak"

Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.

Riwayat Shahih tentang Peristiwa Karbala

Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :

"Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd[3]. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Diantara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Saat itu, Husain Radhiyallahu 'anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)"

Kisahnya, Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu 'Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhuma. Ketika Muawiyah Radhiyallahu 'anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut 'Ali Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma meminta beliau Radhiyallahu 'anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai'at Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu 'anhuma di Mekah mengajak beliau Radhiyallahu 'anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap kali menasehati Husain Radhiyallahu 'anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain Radhiyallahu 'anhuma, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain Radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana".

Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau Radhiyallahu 'anhuma mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana.

Akhirnya, berangkatlah Husain Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, 'Ubaidullah bi n Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, 'Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu 'anhuma, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain c dan keluarganya berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa kehadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.

Lalu 'Ubaidullah yang durhaka[4] ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami Radhiyallahu 'anhum. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium mulut itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal."

Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu 'anhu dinyatakan :

"Lalu 'Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu 'anhu".

Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu :

"Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain Radhiyallahu 'anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan, "Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu".

Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :

Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, "Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu." Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.

Demikianlah kejadiannya, setelah Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh, kepala beliau Radhiyallahu 'anha dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi beliau Radhiyallahu 'anhu ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada 'Ubaidullah orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu 'aiahi wa sallam, orang kesayangan beliau n dihinakan di depan mata mereka.

Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu 'anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid t saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.

Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu 'anhuma. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan 'Ubaidullah untuk membunuh Husain."

Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu'awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat 'Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas 'Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.

Jadi memang benar, Husain Radhiyallahu 'anhuma dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.

Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556 :

- Ketika Hari pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.
- Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu 'anhuma.
- Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi :

Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat :

"Katakanlah:"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan" [asy Syûrâ/42:23]

Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan, "Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu dan Fathimah Radhiyallahu anha menikah.

Husain Radhiyallahu "Anhuma Terbunuh Sebagai Orang yang Terzhalimi dan Mati Syahid

Ini merupakan keyakinan Ahlussunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Tidak disangsikan lagi bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu 'anhuma berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan".

Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu (bapak Husain Radhiyallahu 'anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap 'Utsman juga Radhiyallahu 'anhu.

Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syi'ah yang meratapi kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi . Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain Radhiyallahu 'anhu.

Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain Radhiyallahu 'anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan, "Hadits ini termasuk di antara riwayat yang berasal dari para pendusta".

Menyikapi Peristiwa KArbala

Menyikapi peristiwa wafatnya Husain Radhiyallahu 'anhuma, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, manusia terbagi menjadi tiga : dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.

Golongan Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu 'anhuma ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah dia" [8]

Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma datang saat urusan kaum muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain Radhiyallahu 'anhuma hendak memecah belah umat.

Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa.. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Inilah kelompok 'Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum 'Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.

Golongan Kedua : Mereka mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama'ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum'at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya.

Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu 'anuhma. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh 'Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.

Golongan Ketiga : Yaitu Ahlussunnah wal Jama'ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama'ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.

Ahlussunnah mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhuma bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau Radhiyallahu 'anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau Radhiyallahu 'anhuma. Karena, saat beliau Radhiyallahu 'anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu 'anhuma seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar.

Jadi Husain Radhiyallahu 'anhuma sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin 'Aqîl dibunuh di Irak, beliau Radhiyallahu 'anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau Radhiyallahu 'anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan 'Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu 'anhuma tewas terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.

Setan Menyebarkan Fitnah

Syaikhul Islam mengatakan, "Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, setan memunculkan dua bid'ah di tengah manusia.

Pertama : Bid'ah kesedihan dan ratapan para hari Asyûra (di negeri kita ini, acara bid'ah ini sudah mulai diadakan-pen) seperi menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain Radhiyallahu 'anhuma dibacakan yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.

Kemudian Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan , "Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain Radhiyallahu 'anhuma yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci 'Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu 'anhum. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak"

Orang Syi'ah yang bernama Mukhtâr bin Abi 'Ubaid itulah sang pendusta . Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bid'ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid'ah kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari 'Asyûra, maka Allah Azza wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu."

Juga hadits, "barangsiapa memakai celak pada hari 'Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu dan lain sebagainya.

Kedua : Bida'ah yang kedua adalah bid'ah kesenangan pada hari Asyura : Karena itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini - karena ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah - , sebenarnya secara tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain Radhiyallahu 'anhuma. Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain c seorang imam yang ma'sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain c itu adalah tindakan yang benar. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma adalah tindakan maksiat kepada Allah dan RasulNya.

Itulah sekilas mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para tentaranya.

Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
baca seterusnya ....